Hasil kajian KPK terhadap pengelolaan bantuan sosial, terdapat masalah pendataan yang mengakibatkan penyaluran bansos tidak tepat sasaran, tumpang tindih, dan tidak transparan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kualitas data penerima bantuan sosial masih rendah. Hal ini bisa berdampak pada terjadi kecurangan. Karena itu, perbaikan data terpadu kesejahteraan sosial atau DTKS yang digunakan sebagai basis data untuk mendistribusikan bansos perlu segera dilakukan.
Berdasarkan hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap pengelolaan bantuan sosial, terdapat permasalahan pendataan yang mengakibatkan penyaluran bansos tidak tepat sasaran, tumpang tindih, dan tidak transparan.
Kualitas data penerima bansos masih rendah karena DTKS tidak padan dengan data (nomor induk kependudukan (NIK) dan tidak diperbarui sesuai data kependudukan.
Berdasarkan hasil pemadanan DTKS penetapan Januari 2020 dari Kementerian Sosial dengan data NIK pada Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri yang dilakukan pada Juni 2020, dari 97.204.424 data yang dipadankan, masih terdapat 17,28 persen data yang tidak padan atau sebesar 16.796.924 data.
Dari 82,72 persen DTKS yang sudah padan, masih terdapat 1,06 juta data ganda dan 234.000 data yang sudah meninggal. Dari DTKS yang sudah padan dengan NIK, masih teridentifikasi 17.783.885 anggota keluarga inti lainnya, baik kepala keluarga, suami, istri, maupun anak, yang justru tidak termasuk dalam DTKS.
Untuk memperbaiki kualitas data penerima bantuan ini, KPK mendorong agar menjadikan padan NIK dan DTKS sebagai persyaratan penyaluran bansos.
Selain itu, data penerima bantuan regular, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT)/Kartu Sembako, dan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI-JK), tidak merujuk pada DTKS.
Tumpang tindih penerima bansos juga masih terjadi. Berdasarkan pengelolaan data bansos di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih ditemukan penerima bansos reguler menerima bantuan terkait dengan penanganan Covid-19.
”Untuk memperbaiki kualitas data penerima bantuan ini, KPK mendorong agar menjadikan padan NIK dan DTKS sebagai persyaratan penyaluran bansos,” kata Pelaksana Tugas Juru Bicara Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding, Rabu (6/1/2021).
Ia menambahkan, KPK juga merekomendasikan Kemensos agar memperbaiki akurasi DTKS, melakukan perbaikan tata kelola data, termasuk mengintegrasikan semua data penerima bansos pada masa pandemi dalam satu basis data.
KPK berharap perbaikan skema penyelenggaraan bansos akan meningkatkan efektivitas penyaluran yang lebih tepat sasaran dan tepat guna serta menutup potensi terjadi fraud yang dapat mengarah pada tindak pidana korupsi. Untuk mencapai tujuan tersebut, persolan utama dalam penyelenggaraan bansos harus diselesaikan, yakni akurasi data penerima bantuan yang meliputi kualitas data penerima bantuan, transparansi data, ataupun pemutakhiran data.
KPK menghubungi Mensos
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan, pihaknya sudah menghubungi Menteri Sosial Tri Rismaharini untuk mendiskusikan tentang masalah pendataan tersebut, kemarin. Mereka sedang mencari waktu untuk pemaparan hasil kajian KPK dan langkah selanjutnya untuk perbaikan data.
Dorongan untuk perbaikan data penerima bansos juga diungkapkan anggota DPR, Tifatul Sembiring, melalui Twitter. Menurut Tifatul, membenahi data penerima bansos lebih prioritas dilakukan Mensos daripada blusukan sebab banyak keluhan masyarakat soal akurasi data penerima bansos.
KPK sudah berusaha meminta tanggapan dari Risma dan Sekretaris Jenderal Kemensos Hartono Laras terkait dengan perbaikan data DTKS, tetapi tidak direspons.
DTKS memang harus dibenahi paling pertama sebab DTKS sebagai basis data yang digunakan untuk mendistribusikan bansos.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Dewi Anggraeni, menegaskan, DTKS memang harus dibenahi paling pertama sebab DTKS sebagai basis data yang digunakan untuk mendistribusikan bansos.
Berdasarkan hasil pemantauan dan survei ICW, DTKS masih banyak masalah. Permasalahan tersebut di antaranya adalah penerima yang seharusnya masuk sebagai penerima bansos, tetapi tidak masuk daftar penerima dan sebaliknya.
Menurut Dewi, pembenahan DTKS harus dilakukan secara partisipatif. Selama ini, ada pemerintah provinsi yang memperbarui data yang diterima dari kabupaten/kota. Namun, ada pemprov yang tidak memperbarui data, padahal sudah diberi oleh kabupeten/kota. Ada juga kabupaten/kota yang tidak memperbarui data sehingga pemprov memberikan data lama kepada pemerintah pusat.
”Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota harus bersinergi sehingga semua warga yang terdampak pandemi Covid-19 secara ekonomi masuk dalam DTKS,” kata Dewi.