Dalam RUU Otsus Papua, pemerintah dapat memekarkan daerah di Papua tanpa melibatkan Majelis Rakyat Papua dan DPR Papua. Ini dinilai sebagai pelemahan keterlibatan perwakilan masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua seharusnya menjamin penguatan representasi rakyat Papua di dalam pengambilan kebijakan lokal. Isu pelemahan Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua harus dicegah oleh pemerintah sehingga tidak timbul kesan aspirasi warga diabaikan.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Vidhyandika Djati Perkasa saat dihubungi, Rabu (6/1/2021), mengatakan, perhatian terhadap representasi rakyat Papua menjadi penting dalam melanjutkan Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Sebab, hanya dengan mendengarkan aspirasi dari representasi rakyat Papua itulah dapat dikenali secara pasti yang menjadi kebutuhan dan persoalan rakyat di Papua.
”Ada persepsi pelemahan terhadap MRP (Majelis Rakyat Papua) di tengah-tengah pembahasan Otsus Papua jilid dua. Selama ini, MRP memang lembaga kultural dan diakui sulit untuk mencari siapa yang dapat merepresentasikan Papua secara umum karena memang sangat heterogen. Berbeda dengan Aceh yang relatif homogen. Maka, mau tidak mau, MRP dan dewan adat yang perlu diperkuat dan diberi peran lebih besar untuk merepresentasikan orang Papua,” tutur Vidhyandika.
Dalam kondisi itu, pelibatan MRP ataupun Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dalam pengambilan kebijakan terkait otsus adalah hal yang penting. Namun, di dalam revisi UU Otsus Papua yang diusulkan oleh pemerintah, pelibatan MRP dan DPRP itu antara lain terkesan ambigu, terutama dalam pemekaran wilayah.
Setidaknya ada tiga poin penting di dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Otsus Papua yang diusulkan oleh pemerintah.
Pertama, pemerintah menaikkan dana otsus Papua, yakni dari semula 2 persen dari dana alokasi umum (DAU) kini menjadi 2,25 persen. Kedua, pemerintah mengatur pembinaan dan pengawasan dana otsus Papua ke dalam peraturan pemerintah (PP). Ketiga, pemerintah dapat memekarkan wilayah di Papua tanpa melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur di dalam UU Pemda.
Hanya ada tiga pasal yang diubah di dalam RUU Otsus Papua, yakni Pasal 1 tentang definisi umum, Pasal 34 tentang sumber-sumber penerimaan daerah dan dana perimbangan, serta Pasal 76 tentang pemekaran wilayah.
Sebelumnya, Pasal 76 di UU Nomor 21 Tahun 2001 secara tegas mengatakan, pemekaran wilayah itu harus mendapatkan persetujuan MRP dan DPRP. Namun, di dalam RUU Otsus Papua, ketentuan ini menjadi kabur karena, sekalipun persetujuan MRP dan DPRP juga dicantumkan di dalam Pasal 76 Ayat (1), di Ayat (2) pemerintah juga dapat melakukan pemekaran tanpa harus memperoleh persetujuan dari MRP dan DPRP.
Vidhyandika mengatakan, pasal tersebut terlalu ambigu, dikhawatirkan kontradiktif, dan berpotensi menimbulkan kekacauan di lapangan. Sebab, apakah pemekaran wilayah itu harus mendapatkan persetujuan dari MRP dan DPRP menjadi tidak jelas karena ada ketentuan lainnya yang menyatakan pemerintah dapat langsung memekarkan wilayah Papua dengan pertimbangan tertentu, seperti kesatuan sosial budaya dan potensi perkembangan daerah ke depan.
”Yang saat ini dipunyai ialah MRP, atau dewan adat, tidak punya solusi lain, sehingga mereka inilah yang harus dipertegas dan diberikan peran representasi yang lebih baik untuk mewakili orang Papua,” ujarnya.
Pertanyakan pemekaran
Di sisi lain, upaya pemekaran yang dilakukan oleh pemerintah juga harus dikaji lebih mendalam, apakah pemekaran itu merupakan solusi atau bukan.
Pasalnya, menurut Vidhyandika, pemekaran itu pun dapat dilihat multiinterpretasi. Di satu sisi, pemekaran wilayah sering kali hanya menguntungkan elite lokal Papua. Di sisi lain, muncul kecurigaan di tengah-tengah rakyat Papua apakah pemekaran itu sebagai upaya pembelahan ataukah pelemahan kekuatan secara etnisitas atau supaya lebih banyak kantor militer berdiri di sana.
”Wacana yang berkembang seperti itu di Papua sehingga pemekaran itu harus jelas apa yang dijadikan alasannya dan mesti ada kajian yang solid mengenai hal itu,” ucap Vidhyandika.
Ketua Pansus Papua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Filep Wamafma mengatakan, dalam pasal tentang pemekaran wilayah ini, RUU Otsus Papua seolah melemahkan posisi MRP karena pemerintah dapat juga memekarkan wilayah dengan pertimbangan tertentu dan tidak ada keharusan meminta persetujuan MRP.
”Jadi, kalau misalnya tidak mendapatkan persetujuan dari MRP dan DPRP, pemerintah dapat saja tetap memekarkan wilayah dengan pertimbangan kesatuan wilayah, kesiapan SDM, dan sebagainya,” kata Filep.
Hal itu, lanjut Filep, mencerminkan pelemahan keterlibatan perwakilan masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Kondisi ini juga mengesampingkan sifat otonomi khusus yang diberikan kepada Papua lantaran beberapa kewenangan khusus yang diberikan kepada daerah justru seolah dilemahkan, bukan dikuatkan.
Penyelesaian kasus HAM
Selain persoalan pemekaran, Vidhyandika menekankan pentingnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Selama ini, isu itu tidak pernah sungguh-sungguh diselesaikan sehingga terus-menerus menjadi kerikil di dalam penyelesaian persoalan di Papua.
Keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Papua dinilainya sebagai hal yang mendesak. Oleh karenanya, di dalam revisi UU Otsus Papua, sebaiknya persoalan HAM ini juga dibahas dengan serius.
Selama ini, pendekatan yang digunakan pemerintah adalah pendekatan ekonomi atau kesejahteraan. Padahal, di sisi lain, Otsus Papua itu distigma sebagai alat politik untuk meredam permintaan referendum masyarakat Papua. ”Anggapan seperti itu masih ada sehingga tidak bisa hanya didekati dengan pendekatan kesejahteraan. Ada problem HAM dan sejarah Papua sebagai bagian dari Indonesia yang mesti dikuatkan,” ujarnya.
Adanya kenaikan dana Otsus Papua, menurut Vidhyandika, kian menunjukkan perspektif ekonomi yang diperlihatkan oleh pemerintah. Padahal, problemnya bukanlah dana otsus kurang banyak, tetapi bagaimana implementasi dana itu di lapangan. Sebagai contoh, belum tuntasnya perda provinsi (perdasi) dan perda khusus (perdasus) yang mengatur tentang dana otsus itu di Papua.
”Di internal Papua sendiri, tidak semua setuju dengan otonomi khusus karena, bagi yang tidak kebagian dana otsus, mereka menilai otsus ini bukan solusi. Di sisi lain, bagi yang kebagian dana otsus, mereka merasa ini solusi. Jadi, kebijakan otsus ini menjadi sarana polarisasi di lapangan, yang tidak membawa cukup kesejahteraan bagi masyarakat. Ini bukan hanya salah pusat, melainkan juga elite lokal karena potensi korupsi ada di elite-elite lokal itu juga,” katanya.
Rumitnya persoalan Papua, menurut Vidhyandika, harus didekati dari banyak aspek. Tidak melulu dari sisi ekonomi dan kesejahteraan.
Anggota DPR dari Fraksi Gerindra daerah perwakilan Papua, Yan Permenas Mandenas, mengatakan, otsus di Papua bukan hanya soal anggaran. Di dalam UU Otsus perlu diatur pula tentang penegakan HAM. Di sisi lain, perlu dilakukan evaluasi otsus secara menyeluruh untuk melihat seberapa besar dana yang direalisasikan untuk kesejahteraan rakyat.
”Kita ketahui di Papua masih ada konflik. Pembangunan dan Otsus Papua yang utamanya semestinya ialah untuk menyelesaikan masalah kemanusiaan yang turun-temurun terjadi akibat kejahatan elite yang tidak bertanggung jawab, yakni yang mengabaikan hak-hak dasar masyarakat sehingga jatuh korban. Semua aspek itu buntutnya panjang,” tuturnya.