Bebasnya Abu Bakar Ba’asyir dinilai pengamat terorisme tidak perlu ditanggapi berlebihan. Sebab, pengaruh Ba’asyir sudah tak lagi kuat. Ia pun telah ditinggalkan para pengikutnya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemimpin Jamaah Anshorut Tauhid Abu Bakar bin Abud Ba’asyir alias Abu Bakar Ba’asyir akan bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Khusus Kelas II A Gunung Sindur pada 8 Januari nanti. Pengamat terorisme menyebut pengaruh Ba’asyir dalam organisasi terorisme telah meluntur. Ba’asyir diprediksi akan merangkul massa eks ormas Front Pembela Islam (FPI).
Pengamat terorisme, Al Chaidar, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (5/1/2021), mengatakan, bebasnya Abu Bakar Ba’asyir tidak perlu disikapi secara berlebihan. Sebab, Ba’asyir sudah tidak memiliki pengaruh seperti 15 tahun yang lalu. Alasannya, pertama, karena pendiri Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, itu sudah ditinggalkan pengikut setianya. Para pengikut mulai meninggalkan Ba’asyir karena dianggap menyebabkan perpecahan gerakan jihad.
Abu Bakar Ba’asyir sudah tidak memiliki pengaruh seperti 15 tahun yang lalu. Alasannya, pertama, karena pendiri Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, itu sudah ditinggalkan oleh pengikut setianya.
Ba’asyir dianggap mengakibatkan pecahnya gerakan jihad mulai dari Darul Islam berubah menjadi Jamaah Islamiyah. Kemudian dari JI, gerakan jihad pecah menjadi Negara Islam (NI) dan Jamaah Ansharus Syariah (JAS). Kemudian, gerakan pecah lagi menjadi gerakan Jamaah Anshorut Daulah (JAD). Dalam perpecahan gerakan jihad tersebut, dianggap ada peran Ba’asyir.
”Secara bertahap, para pendukung dan pengikut setianya perlahan-lahan dilepaskan dengan kejadian-kejadian itu,” kata Chaidar.
Dosen Universitas Malikussaleh Lhokseumawe itu berpandangan, kemungkinan pengikut Abu Bakar Ba’asyir tinggal tersisa 1 persen saja. Itu pun didominasi oleh orang-orang yang tidak memiliki ilmu keagamaan yang mumpuni. Kondisi ini, menurut Chaidar, akan sedikit menyulitkan untuk menyebarluaskan ideologi radikal.
Apalagi, Ba’asyir dianggap sebagai sosok pemimpin populis yang tidak memiliki ide orisinal. Keterlibatannya dalam jaringan terorisme lebih karena disetir oleh pendapat pengikutnya. Sebagai pemimpin JAD, Ba’asyir pun telah lama ditinggalkan oleh jaringan teroris internasional Al Qaeda. Itu lantaran JAT menyatakan diri berbaiat dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), yang merupakan musuh Al Qaeda. Saat keluar dari tahanan, Ba’asyir diharapkan telah berubah secara ideologi dan pandangan lamanya.
”Saya menyebut posisi ustaz Ba’asyir saat keluar dari penjara nanti adalah sebagai floating leader atau pemimpin yang mengambang karena telah kehilangan banyak pengikut,” kata Chaidar.
Ba’asyir diprediksi akan menambah pengikutnya dari mantan anggota dan pendukung FPI. Ia dapat menjadi sosok panutan baru menggantikan absennya Rizieq Shihab yang kini tengah beperkara dengan kepolisian.
Atas dasar kondisi tersebut, Chaidar memprediksi Ba’asyir akan menambah pengikutnya dari mantan anggota dan pendukung FPI. Ba’asyir kemungkinan tidak akan menyamakan dirinya dengan kelompok sempalannya di JAD. Dia justru akan mengambil peluang dengan menggandeng para anggota eks FPI. Apalagi, saat ini pemimpin FPI yaitu Rizieq Shihab tengah beperkara di kepolisian. Ba’asyir dapat menjadi sosok panutan baru menggantikan absennya Rizieq.
Menolak program deradikalisasi
Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Irfan Idris mengatakan, pada saat berada di lembaga pemasyarakatan, Ba’asyir menolak mengikuti program deradikalisasi dari pemerintah. Ba’asyir termasuk dalam kelompok narapidana ideologis yang menolak aturan itu. Setelah Ba’asyir bebas, BNPT akan mencoba menawarkan kembali program deradikalisasi di luar lapas. Namun, karena faktor usia narapidana teroris yang sudah lanjut, BNPT tidak akan memaksakan.
Meskipun usianya sudah uzur dan kerap sakit selama di tahanan, Ba’asyir masih berpotensi menyebarkan ideologi radikal. Apalagi, pada 2019, saat akan dibebaskan secara bersyarat, Ba’asyir menolak menandatangani surat pernyataan setia kepada Pancasila dan NKRI serta bersedia membantu pemerintah dalam proses penegakan hukum.
”BNPT tidak hanya berfokus pada deradikalisasi napiter (napi terorisme) saja, tetapi juga aspek pencegahan. Untuk mencegah menyebarnya ideologi radikal, kami membuat program kontranarasi, kontrapropaganda, dan kontra-ideologi sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme,” kata Irfan.
Menurut Irfan, keberhasilan dari tiga program kontraradikalisasi itu bergantung pada partisipasi dari seluruh elemen masyarakat, baik tokoh agama, tokoh bangsa, maupun media massa. Di tengah polarisasi dan maraknya ideologi radikal, perlu diperbanyak narasi moderasi agama dan narasi kebangsaan. Kepala BNPT juga sudah mendeklarasikan program kesiapsiagaan nasional.
Irfan menambahkan, ideologi Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara harus digaungkan kembali. Pancasila merupakan falsafah pemersatu dalam keberagaman bangsa yang majemuk. Pancasila juga menjadi dasar bahwa Indonesia adalah negara bangsa yang sudah final. Tidak ada lagi wacana untuk mengganti Indonesia menjadi negara agama, seperti daulah dan khilafah.