Pelajaran dari Kebijakan yang Tidak Bijak
Setidaknya lima kebijakan pemerintah dinilai kurang mengena dan tepat untuk merespons pandemi. Lima kebijakan itu adalah otoritas yang menangani Covid-19, Kartu Prakerja, gaji ke-13 ASN, UU Cipta Kerja, dan pilkada.
Pemerintah ada untuk membuat kebijakan. Namanya saja kebijakan, maka kebijakan itu haruslah bijak. Namun, tak jarang pemerintah justru memproduksi ketidakbijakan alias kebijakan yang tidak bijak. Sayangnya, di saat bangsa sedang dilanda kesulitan akibat pandemi Covid-19, ketidakbijakan itu masih saja diproduksi.
Fokus kebijakan pemerintah sepanjang 2020 adalah menangani Covid-19, baik di bidang kesehatan maupun di bidang nonkesehatan. Setumpuk kebijakan pun diterbitkan. Sebagian di antaranya efektif meringankan beban persoalan akibat Covid-19 di bidangnya masing-masing. Misalnya adalah pengadaan berbagai peralatan dan fasilitas kesehatan serta obat, tunjangan bagi tenaga kesehatan, subsidi listrik, program bantuan sosial, stimulus dunia usaha, dan pelonggaran defisit fiskal dari ketentuan maksimal 3 persen terhadap produk domestik bruto.
Pemerintah meluncurkan sedikitnya lima kebijakan vital yang tidak bijak selama masa pandemi. Barangkali kebijakan ini lebih sedikit dibandingkan kebijakan yang relatif efektif.
Namun, pemerintah juga meluncurkan sedikitnya lima kebijakan vital yang tidak bijak selama masa pandemi. Barangkali kebijakan yang tidak bijak ini lebih sedikit dibandingkan kebijakan yang relatif efektif. Namun, ini bukan berarti evaluasi demi perbaikan atas kebijakan yang tidak bijak harus ditenggelamkan bukan? Apalagi, lima kebijakan yang tidak bijak ini memiliki dampak besar di tengah upaya menangani Covid-19.
Lima kebijakan yang dimaksud adalah otoritas yang menangani Covid-19, Kartu Prakerja, gaji ke-13 untuk aparatur sipil negara (ASN), Undang-Undang Cipta Kerja, dan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak.
Kelima kebijakan tersebut tidak saja melenceng dari jalur penanganan pandemi yang efektif, tetapi juga membuat alokasi puluhan triliun rupiah uang negara kurang optimal. Kebijakan itu pada akhirnya juga ikut menciptakan komplikasi krisis Covid-19.
Pertama menyangkut otoritas yang menangani Covid-19. Presiden telah membentuk organisasi sebanyak empat kali sejak Maret hingga kini. Otoritas pertama dibentuk pada 13 Maret atau 11 hari sejak kasus perdana di Indonesia diumumkan, yakni Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Seminggu kemudian, Presiden memperbaruinya melalui Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020. Menteri Koordinator Bidang PMK menjadi ketua pengarah. Sebagai wakilnya adalah Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan dan Menteri Kesehatan. Sementara ketua pelaksana adalah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Setelah bekerja selama empat bulan, gugus tugas dirombak besar-besaran menjadi Komite Penanganan Covid-19 dan Percepatan Pemulihan Ekonomi melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2020. Tim yang bekerja mulai 20 Juli ini terdiri dari Komite Kebijakan, Satuan Tugas Penanganan Covid-19, serta Satuan Tugas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional.
Selaku Ketua Komite Kebijakan adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Sementara tujuh wakil ketua Komite Kebijakan adalah menteri-menteri lainnya, termasuk menteri kesehatan sebagai Wakil Ketua V. Sementara dua sekretaris, masing-masing adalah ekonom dan birokrat. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 tetap dipegang Kepala BNPB.
Per 10 November, Presiden lagi-lagi merombak komite melalui Perpres Nomor 108 Tahun 2020. Perubahan paling mencolok adalah penetapan Menteri Badan Usaha Milik Negara sebagai Wakil Ketua IV merangkap Ketua Tim Pelaksana. Selaku Wakil Ketua Tim Pelaksana adalah Kepala Staf TNI Angkatan Darat dan Wakil Kepolisian Negara Republik Indonesia. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 tetap dipercayakan kepada Kepala BNPB.
Dalam proses tambal sulam organisasi sejak Maret hingga kini, pola yang terus berulang adalah bahwa otoritas bidang kesehatan tidak pernah ditempatkan di pucuk pimpinan, baik di komite pengarah maupun tim pelaksana.
Lalu di mana posisi Menteri Kesehatan? Posisinya tetap menjadi Wakil Ketua Komite. Jika pada aturan sebelumnya Menteri Kesehatan menjadi Wakil Ketua Komite V, di aturan terbaru posisinya menjadi Wakil Ketua Komite VI.
Dalam proses tambal sulam organisasi sejak Maret hingga kini, pola yang terus berulang adalah bahwa otoritas bidang kesehatan tidak pernah ditempatkan di pucuk pimpinan, baik di komite pengarah maupun tim pelaksana. Pakar bidang kesehatan juga disebut-sebut kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Sudah begitu, sosok Menteri Kesehatan dari yang sebelumnya berlatar belakang bidang kesehatan pun belakangan diganti oleh Presiden dengan sosok berlatar belakang ekonomi.
Bandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Pucuk pimpinan komite lintas kementerian di Singapura adalah Menteri Kesehatan dan Menteri Pembangunan Nasional. Sementara di Malaysia, Kementerian Kesehatan sangat menentukan pengambilan keputusan.
Pada masa awal penyebaran Covid-19 di Malaysia misalnya, pemerintah melalui kepemimpinan Kementerian Kesehatan melakukan lockdown parsial. Kemudian per 1 Maret, Kementerian Kesehatan membentuk Koalisi Kesehatan Malaysia yang melibatkan 38 profesional di bidang kesehatan untuk memperkuat upaya penanggulangan Covid-19.
Program pelatihan keterampilan sebagaimana ditawarkan Kartu Prakerja tidak tepat di masa pandemi. Sebab, yang dibutuhkan buruh di saat krisis ini adalah bantuan tunai. Toh, pemerintah bergeming.
Berikutnya adalah Kartu Prakerja. Sejak awal, masyarakat dan aktivis buruh menyampaikan kritik dan saran. Intinya, program pelatihan keterampilan sebagaimana ditawarkan Kartu Prakerja tidak tepat di masa pandemi. Sebab, yang dibutuhkan buruh di saat krisis ini adalah bantuan tunai. Toh, pemerintah bergeming.
Baru ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan rekomendasi, pemerintah akhirnya pada 28 Mei menghentikan sementara program dengan anggaran Rp 20 triliun tersebut. Saat itu, program sudah berjalan untuk tiga kali gelombang pendaftaran.
KPK dalam kajiannya menemukan sejumlah persoalan tata kelola yang tersebar mulai dari pendaftaraan, mitra penyedia platform digital, hingga materi pelatihan. Terkait pelaksanaan program, KPK menilai bahwa metode pelaksanaan pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif, dan merugikan keuangan negara karena metode pelatihannya hanya satu arah dan tidak memiliki mekanisme pengendalian terhadap pelaksanaan pelatihan.
Baca juga : Kartu Prakerja, Masalah dan Solusi
Gaji ke-13
Gaji ke-13 ASN yang digelontorkan per Agustus merupakan kebijakan yang tidak bijak ketiga. Dasar hukumnya, Perpres Nomor 44 Tahun 2020 tentang Pemberian Gaji, Pensiun, Tunjangan, atau Penghasilan Ke-13 Tahun 2020 kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS), Prajurit TNI, Anggota Polri, Pegawai Non-PNS, dan Penerima Pensiun atau Tunjangan, ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Jumat (7/8/2020).
Total anggaran gaji, tunjangan, dan pensiun ke-13 mencapai Rp 28,5 triliun. Ini terdiri dari gaji dan tunjangan ke-13 senilai Rp 20,62 triliun serta pensiun ke-13 senilai Rp 7,86 triliun. Untuk gaji dan tunjangan ke-13, Rp 6,73 triliun disalurkan ke ASN pusat dan Rp 13,89 triliun ke ASN daerah.
Gaji ke-13 digelontorkan untuk semua golongan ASN, mulai dari level paling bawah sampai pejabat setingkat eselon 1. Termasuk yang menerima gaji ke-13 adalah ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan khusus di lingkungan kementerian, hakim adhoc, dan pimpinan atau pegawai non-PNS pada Lembaga Penyiaran Publik.
Untuk pensiun ke-13, masyarakat tentu bisa sepakat bahwa para pensiunan layak mendapatkannya di tengah situasi sulit. Untuk ASN level bawah, seperti pegawai puskesmas di pedalaman dan guru honorer, gaji ke-13 atau tunjangan masih masuk akal. Akan tetapi untuk ASN level menegah ke atas, apakah mendesak?
Jika kita membuka situs Kementerian Ketenagakerjaan, masih banyak buruh dengan upah di bawah Rp 5 juta yang mengaku belum menerima program subsidi upah—yang nilainya Rp 600.000 per bulan per orang untuk empat bulan atau total Rp 2,4 juta per orang—sepeser pun sampai Desember 2020.
Mari bandingkan. Untuk sejumlah pekerja atau buruh swasta, pemerintah memberikan program subsidi upah. Nilainya Rp 600.000 per bulan per orang untuk empat bulan atau total Rp 2,4 juta per orang. Kategori penerimanya pun dibatasi, yakni pekerja dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan. Alokasinya Rp 33,12 triliun untuk 13,8 juta orang. Jika kita membuka situs Kementerian Ketenagakerjaan, masih banyak buruh dengan upah di bawah Rp 5 juta yang mengaku belum menerima sepeser pun sampai Desember 2020.
Bandingkan pula dengan bantuan untuk pelaku usaha mikro. Pemerintah untuk tahun ini baru bisa menyalurkan Bantuan Presiden Produktif untuk 12 juta pelaku usaha mikro. Nilainya Rp 2,4 juta per pelaku usaha. Padahal, jumlah pelaku usaha mikro yang tercatat di Kementerian Koperasi dan UKM 28 juta pelaku usaha mikro. Artinya, masih lebih banyak yang tidak kebagian.
Baca juga : Gaji Ke-13, Kemewahan di Tengah Pandemi Covid-19
Pemerintah juga belum bisa menjangkau semua buruh yang menganggur atau dirumahkan. Ini belum bicara rakyat yang bekerja di sektor informal yang benar-benar omzetnya mati suri selama berbulan-bulan dan belum terjaring program bantuan sosial apa pun.
Gaji ke-13 digelontorkan di tengah masih banyaknya masyarakat bawah yang menderita akibat krisis Covid-19, tetapi belum terjaring program bantuan sosial dari pemerintah. Sementara kelas menengah yang bekerja di sektor swasta pun hanya punya satu cerita di tahun ini; gaji tetap atau malah gaji dipotong. Tak ada itu cerita bonus. Apalagi gaji ke-13.
Pada salah satu rapat di Istana Kepresidenan pada pertengahan tahun di Jakarta, Presiden menekankan pentingnya berbagi beban. ”Sharing the pain,” kata Presiden saat itu. Apakah gaji ke-13 untuk ASN adalah bentuk sharing the pain?
Undang-Undang Cipta Kerja
Kebijakan yang tak bijak keempat adalah Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-undang ini mengamendemen berbagai pasal dari sekitar 70 undang-undang sebelumnya. Dengan skala seperti ini, Rancangan UU Cipta Kerja butuh pembahasan yang lebih mendalam dan lebih komprehensif dari pembahasan undang-undang biasa. Dalam kondisi normal saja, butuh waktu lama dan melibatkan berbagai kelompok kepentingan dan pakar.
Kritik yang berulang-ulang dilontarkan masyarakat adalah bahwa pembahasaan RUU Cipta Kerja tidak transparan dan kurang inklusif. Saat disahkan, tentu tidak semua pasalnya buruk. Faktanya, substansi sejumlah pasal bagus, tapi kelemahan yang berceceran di sana-sini pun tak terhindarkan.
Ketika pembahasan kurang transparan dan kurang inklusif, polemik dan kontroversi pasca-pengesahannya adalah konsekuensi logis. Kegaduhan pun timbul di tengah pandemi hingga menyulut gelombang unjuk rasa masyarakat. Belakangan, Presiden Jokowi mengakui bahwa komunikasi publik pemerintahannya pada RUU Cipta Kerja buruk.
Baca juga : Polemik UU Cipta Kerja
Akhirnya, menutup tahun 2020, pemerintah menetapkan pilkada serentak di 270 daerah pada 9 Desember. Sejak awal, berbagai pihak telah mengingatkan agar perhelatan politik itu ditunda karena kasus Covid-19 belum terkendali.
Tidak perlu orang pintar atau ahli kesehatan masyarakat untuk mengatakan bahwa kegiatan pilkada sudah pasti tidak menghambat penyebaran Covid-19, tetapi justru membuka peluang baru penyebaran Covid-19.
Tidak perlu orang pintar atau ahli kesehatan masyarakat untuk mengatakan bahwa kegiatan pilkada sudah pasti tidak menghambat penyebaran Covid-19, tetapi justru membuka peluang baru penyebaran Covid-19. Toh, lagi-lagi pemerintah bergeming.
Sebelum dan selama masa kampanye, penyebaran Covid-19 di kegiatan pilkada serentak sudah terjadi. Kemudian pascapilkada, sejumlah daerah menunjukkan penambahan kasus. Kompas mencatat laporan dari daerah-daerah yang menyebutkan penambahan kasus dari para petugas maupun masyarakat umum. Maka rakyat pun berhak bertanya, semendesak itukah suksesi kekuasaan elite politik sehingga darurat keselamatan jutaan jiwa rakyat dan para petugas sampai dipertaruhkan?
Itulah lima kebijakan pemerintah yang tidak bijak di tahun 2020. Kebijakan bisa saja tidak efektif sehingga kemudian diganti dengan yang baru. Dan, ini banyak terjadi. Hanya saja, jangan sampai kebijakan jatuh pada level tidak bijak. Ini tidak pantas dan tidak elok. Sebab sekali lagi, pemerintah ada untuk membuat kebijakan bukan ketidakbijakan.
Untuk tahun 2021, Covid-19 masih akan menjadi episentrum kebijakan pemerintah. Tidak hanya soal vaksinasi dan pemulihan ekonomi nasional, penguatan aspek kesehatan untuk merawat dan menyembuhkan yang sakit serta disiplin protokol kesehatan masih amat diperlukan. Berbagai bantuan sosial pun juga sangat dibutuhkan karena mobilitas penduduk masih terbatas mengingat Covid-19 belum terkendali. Selamat menyambut Tahun Baru. Salam bijak.