Temuan ”Drone” Bawah Laut dan Tantangan Membangun Pertahanan Kepulauan
Penemuan kapal bawah air nirawak atau ”drone” di perairan Selayar, Sulawesi Selatan, Desember 2020, semakin mengindikasikan adanya eskalasi keamanan di Asia Pasifik. Pertahanan Indonesia harus makin diperkuat.
Oleh
Edna C Pattisina
·5 menit baca
Drone bawah laut berfungsi terutama untuk mengobservasi data salinitas, arus, dan temperatur. Ditambah dengan kontur bawah laut, data ini sangat penting untuk operasi kapal selam. Kapal selam adalah persenjataan strategis angkatan laut karena sifat operasinya yang senyap dan bisa masuk ke belakang garis pertahanan lawan.
Pengetahuan tentang salinitas, arus, dan temperatur di suatu kedalaman akan berpengaruh terutama pada kesenyapan kapal selam tersebut. Kapal selam bisa bersembunyi di sebuah titik karena di kondisi tertentu, sinyal sonar sulit menembus karena dibiaskan salinitas, arus, dan temperatur.
Banyak pihak menduga drone ini berasal dari China. Apalagi, telah dua kali ditemukan benda yang hampir sama dengan identitas aksara, seperti di Pulau Tengge, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, 3 Maret 2019. Di drone itu ditemukan aksara China yang bertuliskan nama China Shenyang Institute of Automation, Chinese Academy of Sciences.
Setelah itu, 20 Januari 2020, nelayan di Masalembu, Madura, juga menemukan benda serupa yang dilengkapi kamera dan beraksara China. Akan tetapi, asal drone ini tentu tidak bisa langsung dipastikan. Dalam kompetisi antarnegara, fitnah bisa saja dilakukan.
Yang pasti, berita tersebut menimbulkan kehebohan di kawasan Asia Pasifik. Malcolm Davis dari Australian Strategic Policy Institute, seperti dikutip dari artikel di ABC News, Kamis (31/12/2020), mengatakan, kehadiran drone itu patut diwaspadai karena ada di rute maritim utama yang menghubungkan Laut China Selatan dan Samudra Hindia ke arah daratan Australia.
Kehadiran China di kawasan Asia Pasifik secara mencolok memang terus diwaspadai. India juga telah beberapa kali menemukan drone bawah laut China di perairannya. Sementara di Timor Leste saat ini tengah dibangun pelabuhan laut dalam oleh perusahaan China. Tidak heran kehadiran drone bawah ini meresahkan.
Meski demikian, drone bawah laut tak hanya digunakan oleh China. Pada 15 Desember 2016, China menemukan drone milik Angkatan Laut Amerika Serikat, LBS-G (littoral battlespace sensing-glider) di Laut China Selatan. Yang menarik, negara-negara besar ini tak menghapus identitasnya dari drone yang bisa dibilang melakukan tugas intelijen itu.
Posisi Indonesia
Berada di tengah medan arena kontestasi kekuatan, Indonesia tak bisa menghindari eskalasi. Walaupun Indonesia terus menyatakan bukan negara pengklaim di Laut China Selatan, kompetisi dan kerja sama China-AS tentu berakibat pada negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia.
Persoalannya, bisa dikatakan pertahanan Indonesia tidak siap. Di sisi lain, geografi negara kepulauan yang terbuka dan kultur strategis yang berorientasi ke darat dihadapkan pada teater ”perang” Asia Pasifik yang didominasi teater laut dan udara.
Belum lagi kemampuan teknologi mandiri Indonesia yang belum canggih. Hal ini ditambah, sejak reformasi 1998, anggaran pertahanan, terutama untuk membangun kekuatan militer, minim. Baru pada 2009 pemerintah mulai mengadakan program Pembangunan Kekuatan Pokok Minimum.
Indonesia sempat mengalami realisasi pembangunan kekuatan alat utama sistem persenjataan hingga 55 persen (2014) ketimbang keadaan awal 42 persen (2010). Per 2019, kekuatan pembangunan alutsista TNI hanya mencapai 63,19 persen dari target 75,54 persen (Kompas, 8/10/2020).
Ini berarti jalan terjal bagi Kementerian Pertahanan yang dipimpin Menhan Prabowo Subianto. Idealnya, anggaran pertahanan setiap tahun, 2019-2024, mencapai Rp 180 triliun-Rp 210 triliun.
Akhmad Hanan, peneliti bidang energi dan pertahanan dari The Purnomo Yusgiantoro Center, mengatakan, agenda pembangunan pertahanan juga terganggu oleh pandemi Covid-19. Setelah dilakukan realokasi berdasarkan Perpres No 54/2020, maka anggaran Kemenhan berkurang menjadi Rp 122 triliun. Anggaran pertahanan untuk 2021 Rp 136,7 triliun. Dari Buku III Himpunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran 2021, alokasi untuk alutsista Rp 9,3 triliun.
”Pembangunan sektor pertahanan adalah hal yang sangat penting. Secara geopolitik, Indonesia terletak di posisi yang sangat strategis akan dinamika peperangan di dunia,” kata Hanan.
Laut China Selatan saat ini menjadi medan laga unjuk kekuatan militer. Karena itu, minimal pertahanan kekuatan di Natuna harus dibangun. Di sisi lain, Indonesia saat ini juga masih menghadapi ancaman dari dalam negeri, yaitu separatisme dan terorisme. Ancaman siber juga terus meningkat.
Hanan mengatakan, Kemenhan perlu menyiapkan langkah khusus. Salah satunya mundurnya pencapaian renstra beberapa tahun. Hal yang lain adalah membuat skala prioritas sesuai dengan ancaman internal dan eksternal. ”Bisa juga dengan mengurangi beban belanja pegawai yang saat ini porsinya lebih dari 50 persen,” kata Hanan.
Sebelumnya, dalam wawancara menjelang HUT TNI pada 5 Oktober 2020, Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan Djoko Purwanto mengatakan, hingga 2024 ada beberapa prioritas pembangunan kekuatan pertahanan. Untuk matra darat, digunakan sistem pertahanan pulau-pulau besar dengan menambah batalyon tempur. Untuk laut, prioritasnya adalah peningkatan kapal fregat dan korvet yang dipersenjatai.
Di pertahanan udara, prioritas ada pada pembelian pesawat tempur, juga pembangunan wilayah pertahanan dengan menempatkan rudal di berbagai pulau. Selain itu juga ada pembangunan depo logistik untuk amunisi yang terdesentralisasi di Komando Daerah Militer, Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut, dan Pangkalan TNI Angkatan Udara tipe A.
Djoko mengatakan, Kementerian Pertahanan telah mendefinisikan ancaman yang kemungkinan besar akan dihadapi saat ini. Ancaman tersebut adalah ancaman aktual, seperti terorisme dan radikalisme, separatisme dan pemberontakan bersenjata, bencana alam, pelanggaran wilayah perbatasan, perompakan dan pencurian kekayaan alam, wabah Covid-19, serangan siber dan spionase, serta peredaran dan penyalahgunaan narkoba.
Sementara itu, ancaman potensial merupakan bentuk ancaman perang konvensional di Laut China Selatan meski masih dalam bentuk perang dingin dan saling ”pamer” kekuatan militer serta upaya AS dan China melakukan penggalangan kekuatan regional.
Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Alman Helvas Ali, mengatakan, terkait dengan keterbatasan anggaran, cara yang paling bisa dilakukan saat ini adalah dengan menggunakan pinjaman luar negeri. Hal ini merupakan solusi agar pengadaan yang ada di depan mata, yaitu pesawat tempur, kapal selam, dan fregat, bisa terpenuhi. ”Pesawat tempur minimal 12, kapal selam dan fregat bisa 5. Semua sesuai permintaan Menhan, full combat system, artinya lengkap senjatanya. Uangnya sudah ada,” kata Alman.
Selain menggunakan pinjaman luar negeri, Alman mengatakan, prioritas saat ini yang penting adalah pembangunan kemampuan pengamatan. Menurut perhitungannya, saat ini ada kebutuhan 34 radar pertahanan udara. Sementara untuk udara, pesawat patroli maritim perlu ditambah. Untuk pengadaan radar bawah air, terutama di selat-selat strategis, menurut Alman, belum ada anggarannya.
”Kalau untuk membangun surveillance ini pasif, tentunya akan lebih mudah,” katanya.