Pandangan Hukum Demokratis Almarhum Prof Muladi Layak Diteladani
Muladi adalah sosok yang memiliki kepemimpinan kuat. Namun, Muladi tidak kehilangan kemampuan untuk mendengarkan. Muladi dinilai sebagai seorang demokrat sejati.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun tumbuh besar di era lama, pemikiran begawan hukum Prof Muladi mampu melintasi zaman. Dengan kekayaan pengalaman dan ilmunya, Muladi tidak kehilangan kemampuan mendengarkan. Dia pun dikenal sebagai sosok pembaruan hukum, terutama di bidang hukum pidana dan hak asasi manusia, yang egaliter dan demokratis.
Sikap-sikap inilah yang diharapkan mampu dicontoh oleh pemerintah. Di kalangan masyarakat sipil muncul keprihatinan tentang praktik dan penegakan hukum belakangan ini. Ada kecenderungan sikap diambil secara sepihak, tanpa partisipasi publik dan due process of law yang baik. Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat Indonesia adalah negara hukum yang demokratis.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Jawa Timur, Fachrizal Afandi, dalam diskusi ”Reformasi Hukum dan HAM Versus Otoritarianisme: Pemikiran Muladi dan Agenda 2021” yang diadakan LP3ES, Sabtu (2/1/2021), mengatakan, praktik hukum di Indonesia saat ini dinilai abai terhadap due process of law. Penggunaan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), misalnya, seharusnya digunakan untuk memerangi kejahatan transaksi elektronik.
Misalnya penipuan, peretasan, impersonisasi, scamming, atau pembobolan rekening dan sebagainya. Namun, menurut dia, penggunaan UU ITE untuk kejahatan dalam transaksi elektronik ini justru minim. UU ITE lebih banyak digunakan menindak pihak-pihak yang bersuara kritis terhadap pemerintah.
Selain Fachrizal, narasumber yang dihadirkan dalam diskusi itu adalah Direktur LP3ES Fajar Nursahid, dosen Politik dan Pemerintahan Universitas Diponegoro Semarang, Nur Hidayat Sardini; dan Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto. Diskusi itu untuk mengenang Profesor Muladi, Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro yang berpulang pada Kamis (31/12/2020).
Muladi, kelahiran Solo, 26 Mei 1943, juga pernah menjadi Rektor Undip tahun 1994-1998. Kemudian, ia menjabat Menteri Kehakiman Kabinet Pembangunan VII (Maret-Mei 1998), Menteri Kehakiman Kabinet Reformasi Pembangunan (Mei 1998-Oktober 1999), dan Menteri Sekretaris Negara (Mei-Oktober 1999).
Sebagai generasi tua, Muladi dianggap sebagai begawan hukum yang layak diteladani. Muladi memiliki pandangan bahwa sistem peradilan pidana sebaiknya tidak hanya untuk melindungi korban dan pelaku, tetapi juga kepentingan negara dan masyarakat.
Muladi dinilai masih berpandangan lama soal peran negara yang integralistik. Di mana negara berperan sebagai pengayom ibarat orangtua yang punya hak otoritatif untuk mengatur anaknya.
”Family model yang diidamkan oleh Prof Muladi ini memiliki syarat aparat negara harus punya keahlian dan kemauan untuk merestorasi kerusakan di masyarakat. Dalam perkembangannya, model itu banyak dikritik karena dianggap utopia,” kata Fachrizal.
Fachrizal menambahkan, salah satu contoh praktik hukum dengan teori family model yang berhasil dilakukan oleh negara ialah di Jepang. Jepang dianggap berhasil menerapkan model tersebut. Hal itu karena aparat penegak hukumnya punya kapasitas. Namun, jika pelaksanaannya tidak hati-hati, dia khawatir praktik itu bisa menjadi otoriter.
Sebab, kecenderungan negara untuk melakukan kesewenang-wenangan itu tinggi. Hukum atau pemidanaan dapat digunakan sebagai alat untuk mempertahankan status quo atau mempertahankan political order.
”Kalau dilihat di tahun 2020 itu karena situasi pandemi Covid-19. Kecenderungannya negara mencoba menyeimbangkan antara stabilitas politik dan keamanan,” kata Fachrizal.
Padahal, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan negara di Uni Eropa sejak awal pandemi sudah menekankan bahwa penanganan pandemi seharusnya menggunakan nalar negara hukum. Negara seharusnya tidak hanya menekankan pada nalar menjaga ketertiban semata.
Idealnya, hukum digunakan untuk melindungi warga negara dari ancaman warga lain (rule by law). Namun, dalam implementasinya, meskipun di situasi krisis, warga negara juga harus dilindungi dari ancaman negara itu sendiri.
Nalar keamanan ini, imbuh Fachrizal, ditunjukkan dengan banyaknya maklumat kapolri. Terakhir, ada Maklumat Kapolri terbaru tentang Pelarangan Aktivitas, Simbol, dan Atribut Front Pembela Islam (FPI). Menurut dia, maklumat ini sebenarnya tidak berkedudukan hukum kuat.
Apalagi jika maklumat tidak didasarkan pada payung hukum UU. Itu justru semakin menunjukkan bahwa negara sedang menerapkan model hukum family model. Warga negara dianggap sebagai anak yang bisa diatur secara otoritatif. ”Jika tidak dikendalikan, ini memang bisa jadi otoritarian,” kata Fachrizal.
Menurut Fachrizal, family model hanya dapat berhasil jika standar moral dan kesadaran hukum di negara itu sudah baik. Selain itu, aparat juga tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Hukum harus diterapkan sesuai prinsip yang baik. Pemidanaan dengan UU Karantina Kesehatan, misalnya, bisa diterapkan dengan syarat sebelumnya pemerintah mendeklarasikan karantina kesehatan masyarakat.
Jika tidak ada deklarasi, kemudian UU digunakan untuk menjerat pelanggaran, hal itu mencerminkan sikap kesewenang-wenangan negara. ”Hak dan kewajiban dari negara untuk warga negara harus seimbang. Tidak bisa memaksakan kehendak,” kata Fachrizal.
Teropong 2021
Dengan gejala yang tampak pada 2020, Fachrizal khawatir kualitas demokrasi di Indonesia semakin menurun. Ada pula gejala pemerintah cenderung semakin otoriter. Pembubaran ormas dan parpol, misalnya, pernah terjadi di masa lalu. Ada juga praktik pembungkaman suara kritis dari aktivis dan masyarakat sipil. Kriminalisasi dengan UU ITE dan negara masuk untuk mengurusi ranah privat seseorang dalam kasus video porno artis.
Dari sisi politik juga terjadi konsolidasi elite politik yang membuat posisi negara menjadi sangat kuat. Bergabungnya elite politik dalam kabinet pemerintahan juga dinilai sebagai bentuk konsolidasi oligarki. Dengan kuatnya elite tersebut, agenda-agenda mereka pun bisa dimasukkan di negara demokrasi dengan cara-cara yang konstitusional. Bahkan, dikhawatirkan, akan ada amandemen konstitusi yang rawan disusupi agenda dari penumpang gelap.
Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto sepakat bahwa kualitas demokrasi di Indonesia terus menurun. Bahkan, dia menyebutnya sebagai pola regresi demokrasi. Indikator untuk melihat regresi demokrasi itu adalah tidak adanya kekuatan oposisi yang berkualitas.
Rival politik pada pertarungan pemilihan presiden 2019 justru berkonsolidasi dalam satu kabinet. Ketika oligarki berkonsolidasi, kepentingan masyarakatlah yang terancam. Selain konsolidasi oligarki, regresi demokrasi juga terlihat dari resesi ekonomi dan pengerdilan ruang bagi masyarakat sipil.
”Masyarakat sipil harus kuat. Dengan suara-suara kritis, kami terus mengetuk, terus mengingatkan. Supaya demokrasi di negara ini lebih baik,” kata Wijayanto.
Sementara itu, Direktur Eksekutif LP3ES Fajar Nursahid mengatakan, pemerintah dapat mencontoh sikap dan warisan dari Prof Muladi. Muladi adalah sosok yang memiliki kepemimpinan kuat, terutama saat menjabat Rektor Universitas Diponegoro.
Namun, Muladi tidak kehilangan kemampuan untuk mendengarkan. Muladi dinilai sebagai seorang demokrat sejati meskipun latar belakangnya berasal dari aktivis resimen mahasiswa yang militeristik. Dalam kariernya, Muladi juga pernah menjabat sebagai Gubernur Lemhanas.
Kekayaan pengalamannya, seperti saat menjabat sebagai komisioner Komnas HAM, membuat Muladi memegang teguh bahwa hukum juga memiliki hati nurani. Menurut Fajar, prinsip itu sangat dia terapkan saat menjadi rektor. Ketika ada masalah, dia selalu memanggil mahasiswa untuk klarifikasi. Muladi berpandangan mahasiswa bisa saja salah, tetapi belum tentu bermaksud jahat.
”Prof Muladi adalah orang yang memiliki strong leadership. Selain berani beradu gagasan, beliau juga siap adu fisik karena mantan atlet karate. Namun, beliau tetap mau mendengarkan pihak yang berbeda pandangan,” kata Fajar.