Poin 2d Maklumat Kapolri soal FPI Dinilai Terlalu Luas, Bisa Ancam Kerja Jurnalis dan Peneliti
Poin 2d Maklumat Kapolri menyebut masyarakat dilarang mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI, baik melalui website maupun media sosial. Hal ini dinilai bisa mengancam kerja wartawan dan peneliti.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kelompok masyarakat sipil menilai Maklumat Kapolri Nomor Mak/1/I/2021 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol, dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam dapat mengancam kinerja jurnalis dan peneliti. Hal ini disebabkan adanya poin di maklumat tersebut yang bermakna terlalu luas.
Dalam poin 2d maklumat tersebut disebutkan bahwa masyarakat dilarang untuk mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait Front Pembela Islam (FPI), baik melalui website maupun media sosial.
Terkait hal itu, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (2/1/2021), mengatakan, poin 2d terlalu umum sehingga dapat digunakan untuk memproses siapa saja yang menyebarkan informasi tentang FPI. Menurut Manan, ini bisa dikategorikan sebagai pelarangan penyiaran yang bertentangan dengan Pasal 4 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Manan juga khawatir nantinya jurnalis dapat dikriminalisasi dengan maklumat itu. Padahal, media bertugas mencari berita dengan prinsip jurnalistik berimbang sehingga harus mengonfirmasi berbagai pihak (cover all sides).
”Dalam meliput tentang apa pun yang berhubungan dengan FPI, kerja-kerja jurnalistik pasti akan mengharuskan jurnalis menghubungi orang-orang FPI. Apakah jurnalis akan terkena klausul itu? Maklumat ini mengabaikan UU Pers,” kata Manan.
Manan berpendapat, maklumat itu tidak sejalan dengan semangat demokrasi yang menghormati kebebasan memperoleh informasi. Maklumat itu juga dianggap dapat mengancam jurnalis dan media yang bertugas mencari informasi dan menyebarluaskan kepada publik, termasuk soal FPI.
”Hak wartawan untuk mencari informasi diatur dalam Pasal 4 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di pasal itu dijamin kemerdekaan pers untuk mencari, memperoleh, serta menyebarluaskan gagasan dan informasi,” kata Manan.
Manan menambahkan, sejak awal, Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kapolri, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tentang Pelarangan Kegiatan, Simbol, dan Penggunaan Atribut FPI sudah berlebihan.
Keputusan sepihak itu dianggap subyektif, tidak sejalan dengan semangat negara hukum, dan demokrasi. Menurut dia, organisasi massa hanya bisa dibubarkan melalui keputusan pengadilan. Pembubaran ormas dengan keputusan politik tidak bisa diukur akuntabilitasnya. Lebih lanjut, keputusan politis itu dianggap dapat menjadi preseden buruk di masyarakat. Sebab, organisasi massa apa pun dapat terancam dibubarkan apabila tidak sejalan dengan penguasa.
Setelah SKB enam menteri dan lembaga itu, maklumat Kapolri menyusul diterbitkan. Maklumat itu dianggap tidak sejalan dengan semangat negara demokrasi yang menghargai hak masyarakat untuk memperoleh dan menyebarkan informasi. Hal itu, kata Manan, diatur dan dilindungi oleh konstitusi, khususnya Pasal 28f UUD 1945 yang mengatur kebebasan orang untuk berkomunikasi, memperoleh informasi, mencari, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan saluran yang tersedia.
Oleh karena itu, komunitas pers yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen, Persatuan Wartawan Indonesia, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Pewarta Foto Indonesia, Forum Pemimpin Redaksi, dan Asosiasi Media Siber Indonesia sepakat meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) mencabut poin 2d dari maklumat tersebut.
”Oleh karena itu, kami mendesak Kapolri mencabut Pasal 2d dari maklumat itu karena tidak sejalan dengan prinsip negara demokrasi dan tidak senapas dengan UUD 1945, serta bertentangan dengan UU Pers,” tegas Manan.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menambahkan, poin 2d maklumat Kapolri sangat umum sehingga dapat menyasar siapa saja, termasuk jurnalis dan peneliti. Poin itu, lanjutnya, akan menghalangi orang yang berniat mencari dan menunjukkan rekam jejak FPI. Misalnya, jika ada peneliti yang mau melacak sejarah pendirian FPI, yang berkaitan dengan pam swakarsa bentukan oknum aparat, menjadi kesulitan.
”Poin yang terlalu umum ini bisa mengancam publik secara luas dan bertentangan dengan hak mencari informasi yang diatur konstitusi,” kata Asfin.
Terkait dengan itu, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, maklumat itu tidak melarang kebebasan pers. Maklumat itu hanya mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak menyebarkan konten yang melanggar hukum.
”Kami tidak memberedel yang kaitannya dengan kebebasan pers. Yang dilarang dan tidak boleh disebarkan kembali itu hanya yang melanggar hukum,” kata Argo.
Sebelumnya, dalam Maklumat Kapolri disebutkan ada empat larangan tentang aktivitas, penggunaan simbol, dan atribut serta penghentian kegiatan FPI. Larangan itu, antara lain, adalah keterlibatan langsung dalam mendukung dan memfasilitasi kegiatan dengan simbol dan atribut FPI.
Masyarakat juga diminta aktif melapor apabila menemukan kegiatan, simbol, dan atribut FPI. Penegakan hukum dan penertiban atribut FPI itu akan dilakukan dengan mengedepankan personel satpol PP didukung oleh TNI-Polri. Masyarakat juga diminta untuk tidak mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI, baik melalui website ataupun media sosial.
Apabila ditemukan pelanggaran yang bertentangan dengan maklumat, anggota Polri bisa melakukan tindakan yang sesuai UU, maupun diskresi kepolisian.
Asfinawati berpendapat, diskresi kepolisian dapat menjadi pintu masuk kriminalisasi. Apabila pelanggaran maklumat itu dianggap sebagai tindak pidana, katanya, seharusnya disebutkan secara jelas aturannya. Tanpa ada aturan yang jelas, diskresi kepolisian yang berlebihan dapat berpotensi penyalahgunaan kewenangan.