Partisipasi Pemilih di Pilkada 2020 Meningkat 7 Persen
Kekhawatiran rendahnya partisipasi pemilih karena Pilkada 2020 digelar di tengah pandemi Covid-19 terbantahkan. Partisipasi pemilih di Pilkada 2020 justru lebih tinggi dibandingkan pilkada periode sebelumnya.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah 2020 sebesar 76,09 persen atau meningkat 7,03 persen dibandingkan dengan Pilkada 2015. Meski demikian, tingginya suara tidak sah patut dijadikan catatan perbaikan oleh penyelenggara pemilu.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (1/1/2021), mengatakan, KPU telah mengumumkan rata-rata partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020 sebesar 76,09 persen.
Angka tersebut merupakan hasil rekapitulasi partisipasi pemilih rata-rata di 269 dari 270 daerah penyelenggara Pilkada 2020. Adapun data partisipasi pemilih di satu daerah lainnya, yakni Kabupaten Boven Digoel, Papua, yang menggelar pemungutan suara belakangan, yaitu pada 28 Desember, belum masuk ke KPU. Meski demikian, partisipasi pemilih di Pilkada Boven Digoel diyakini tak akan berimbas terlalu banyak pada angka rata-rata partisipasi pemilih Pilkada 2020.
Lebih detailnya, pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur 2020, tingkat partisipasi rata-rata 69,67 persen, pemilihan bupati dan wakil bupati 77,52 persen, serta pemilihan wali kota dan wakil wali kota 69,04 persen.
Tingkat partisipasi tertinggi dalam pemilihan gubernur, bahkan di atas target rata-rata nasional, yakni di Sulawesi Utara (78,72 persen) dan Bengkulu (77,73 persen). Untuk pemilihan wali kota, di Kota Tomohon 91,78 persen, Kota Tidore Kepulauan 89,11 persen, dan Kota Metro 83,05 persen.
Adapun untuk pemilihan bupati, tingkat partisipasi tertinggi mencapai 100 persen berada di Yalimo dan Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Adapun daerah yang masih menggunakan sistem pemilihan noken dengan partisipasi 100 persen berada di Yahukimo.
”Keberhasilan Kabupaten Yalimo dan Kabupaten Pegunungan Bintang mencapai angka partisipasi 100 persen didukung oleh program sosialisasi dan pendidikan pemilih yang intensif oleh penyelenggara serta keterlibatan kepala suku sebagai corong informasi bagi pemilih,” kata Raka.
Jika dibandingkan dengan tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2015, angka partisipasi pilkada kali ini lebih tinggi. Pada 2015, tingkat partisipasi pemilih 69,06 persen sehingga meningkat 7,03 persen. Pada Pilkada 2015, total daerah yang menggelar pilkada 269 daerah atau berselisih satu daerah dengan jumlah daerah yang menggelar pilkada pada Pilkada 2020.
Menurut Raka, tingginya tingkat partisipasi pada Pilkada 2020 meski dilaksanakan pada masa pandemi Covid-19 adalah optimalisasi sosialisasi dan pendidikan pemilih yang dilakukan secara dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring). Sosialisasi dan pendidikan pemilih itu melibatkan sejumlah pemangku kepentingan melalui metode yang beragam, seperti KPU Goes to Campus, Rumah Pintar Pemilu (podcast, siaran radio, dan webinar) serta kegiatan pameran dan festival.
”Sosialisasi melalui media konvensional juga tetap dilakukan seperti pembuatan baliho, spanduk, dan billboard, hingga iklan media massa,” tutur Raka.
Catatan perbaikan
Meskipun tingkat partisipasi cukup tinggi, KPU memiliki catatan perbaikan dalam pelaksanaan Pilkada 2020. Beberapa di antaranya adalah kondisi geografis yang berpengaruh pada lokasi tempat pemungutan suara di daerah pelosok dan akurasi daftar pemilih tetap (DPT).
”Capaian ini patut diapresiasi mengingat penyelenggaraan Pilkada 2020 yang dilakukan di tengah pandemi Covid-19. Kami mengucapkan terima kasih kepada pemilih yang datang dan memberikan suara ke tempat pemungutan suara dengan tetap patuh menerapkan protokol kesehatan,” kata Raka.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) sekaligus anggota KPU 2012-2017, Hadar Nafis Gumay, mengatakan, meskipun tingkat partisipasi tinggi, jumlah suara tidak sah pada Pilkada 2020 cukup tinggi. Bahkan, di Solo, suara tidak sah mencapai 12 persen (33.351 suara) atau hanya berselisih 1.704 suara dibandingkan dengan perolehan suara pasangan calon yang kalah, Bagyo Wahyono-FX Supardjo.
”Penyebabnya harus dipastikan, ada kemungkinan karena pemilih membawa alat tulis masing-masing dari rumah dan menggunakannya untuk alat mencoblos sehingga bekas coblosannya menjadi tidak sah,” kata Hadar.
Dalam catatan Netgrit, ada delapan daerah pemilihan yang jumlah suara tidak sahnya lebih dari 6 persen. Adapun suara tidak sah 4-6 persen ada di 28 daerah pemilihan, 2-4 persen di 101 daerah pemilihan, dan di bawah 2 persen ada 127 daerah pemilihan.