Pelarangan Ormas Seharusnya lewat Proses Peradilan
Sejumlah LSM menilai pelarangan kegiatan FPI perlu dilakukan melalui putusan pengadilan. Pemerintah dinilai tidak dapat secara sepihak melakukan pelarangan
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Walaupun negara harus tegas terhadap kelompok-kelompok yang mengedepankan kekerasan dan intoleransi, pelarangan organisasi kemasyarakatan harus melalui proses hukum yang ditandai dengan keterlibatan pengadilan.
”Pembatasan kebebasan dan berserikat dalam negara demokrasi, misalnya pelarangan ormas, harus lewat proses hukum dengan indikator adanya proses pengadilan,” kata Miftah Fadhli, peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Kamis (31/12/2020).
ELSAM bersama Imparsial, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), PIL-Net Indonesia, dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) menyatakan, penerbitan surat keputusan bersama (SKB) enam menteri tentang pelarangan kegiatan dan penggunaan Front Pembela Islam tidak tepat secara prosedur.
Merujuk SKB yang menyatakan pelarangan didasarkan pada tidak lagi berlakunya surat keterangan terdaftar dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya. Putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 dalam pengujian UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menyebutkan, organisasi yang tidak terdaftar tidak mendapat pelayanan dari pemerintah.
Akan tetapi, negara tidak dapat melarang kegiatan ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau pelanggaran hukum. Pertimbangan itu kemudian diperkuat lagi dalam putusan MK Nomor 3/PUU-XII/2014 yang menyatakan ormas yang tidak terdaftar tetap memiliki hak hidup sepanjang kegiatan-kegiatannya tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, serta melanggar hak kebebasan orang lain.
”Ketiadaan surat keterangan terdaftar (SKT) sebagai dokumen registrasi tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk melakukan pelarangan kegiatan ormas,” kata Miftah.
Negara tidak dapat melarang kegiatan ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau pelanggaran hukum.
Miftah mengatakan, pelarangan dan pembubaran ormas bisa dilakukan sepanjang langkah-langkah lunak (soft measures) sudah dianggap tidak mampu mengatasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh organisasi bersangkutan. Langkah terakhir adalah dalam bentuk pelarangan atau pembubaran. Akan tetapi, dalam proses ini, pengadilan harus memegang peran kunci.
Pengadilan harus digelar secara terbuka dan akuntabel di mana kedua belah pihak, yaitu pemerintah dan ormas, harus didengar keterangannya secara berimbang. Miftah mengakui, prosedur pelarangan atau pembubaran suatu Ormas melalui proses pengadilan tidak lagi diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2017 (Pengesahan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas).
”Namun, untuk memastikan bekerjanya prinsip dan sistem negara hukum, sudah semestinya pelarangan kegiatan FPI juga dilakukan melalui mekanisme pengadilan. Sebelumnya sudah pernah terjadi saat pelarangan JI dan JAD, ada proses pengadilannya,” kata Miftah.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid juga menilai SKB enam menteri terkait FPI berpotensi mendiskriminasi dan melanggar hak berserikat dan berekspresi sehingga semakin menggerus kebebasan sipil di Indonesia. Walaupun dalam UU No 16/2017 tentang Ormas tidak lagi disebutkan tentang prosedur hukum acara pelarangan dan pembubaran ormas, menurut hukum internasional, sebuah organisasi hanya boleh dilarang atau dibubarkan setelah ada keputusan dari pengadilan yang independen dan netral.
Terkait dengan hal tersebut, Usman mengatakan, prosedur yang dipakai seharusnya tidak melalui keputusan sepihak, tetapi lewat jalur hukum dan pengadilan. Para anggota FPI yang diduga terlibat tindak pidana, termasuk ujaran kebencian dan hasutan melakukan kekerasan, harus diproses hukum.
”Kita harus menyadari bahwa hukum yang melindungi suatu organisasi dari tindakan sewenang-wenang negara merupakan hukum yang sama yang melindungi hak asasi manusia,” kata Usman.
Penggunaan UU Ormas untuk membubarkan organisasi secara sepihak jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum yang mengutamakan perlindungan hak-hak warga, dalam hal ini kebebasan berkumpul dan berserikat.
Kontras dan berbagai organisasi masyarakat sipil juga meminta agar negara dan aparat hukum menegakkan hukum. Narasi yang menganjurkan kekerasan dan provokasi kebencian sebagaimana dipertontonkan organisasi seperti FPI selayaknya ditindak tegas tanpa mengabaikan prinsip negara hukum. Negara tidak boleh tunduk pada narasi kebencian. Namun, di sisi lain, negara harus menegakkan prinsip kebebasan berserikat dan berorganisasi di negara hukum berlandaskan rule of law.
Dalam keterangan persnya, Kontras menyatakan, penggunaan UU Ormas untuk membubarkan organisasi secara sepihak jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum yang mengutamakan perlindungan hak-hak warga, dalam hal ini kebebasan berkumpul dan berserikat. Seharusnya, mekanisme penjatuhan sanksi—termasuk berupa pembubaran—terhadap organisasi, dilakukan melalui mekanisme peradilan. Hal ini mengingat bahwa, pada dasarnya, setiap kesalahan subyek hukum harus dibuktikan terlebih dahulu di hadapan pengadilan sebelum subyek hukum tersebut dijatuhi sanksi.