Merindukan Gus Dur
Nilai-nilai yang diperjuangkan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tetap relevan hingga kini. Jika elite politik memiliki komitmen seperti Gus Dur, politik akan membawa bangsa ini bangkit dari keterpurukan.
Bulan Desember, sebelas tahun lalu, tangis anak bangsa pecah ketika KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur kembali ke haribaan Yang Mahakuasa. Pelayat datang menyemut mengantarkan jenazahnya untuk disemayamkan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Bertahun-tahun sejak kepergiannya, setiap akhir tahun, banyak anak negeri yang mengenang dan berdoa di hari kepergian Gus Dur, Presiden ke-4 RI. Haul atau peringatan meninggalnya Gus Dur dilakukan bukan hanya oleh keluarga di Ciganjur, Jakarta, melainkan juga oleh para pencintanya, kaum santri, dan masyarakat umum yang bahkan rutin berziarah ke makamnya. Makamnya pun selalu penuh dengan bunga.
Demikian halnya tahun ini. Yang membedakan, pelaksanaan haul tahun ini, Rabu (30/12/2020), terasa lebih sederhana karena tak ada keramaian di Ciganjur, tempat tinggal Gus Dur dan keluarga. Biasanya, pada acara haul, tokoh-tokoh nasional hadir, begitu pula ribuan santri serta pengikut Gus Dur—yang kini banyak berkhidmat dalam jaringan Gus Durian—berdesak-desakan melantai, setia menunggu hingga acara dimulai.
Pandemi Covid-19 membuat keluarga memutuskan untuk menggelar haul secara daring dari tiga tempat, yakni Ciganjur, Jombang, dan Yogyakarta.
Baca juga: Gus Dur, Pancasila, dan Pribumisasi Islam
Di setiap daerah, para pengisi acara tampil dan memberikan testimoni. Pengisi acara yang hadir antara lain band aliran punk Marjinal; band indie Efek Rumah Kaca; penyanyi dangdut Inul Daratista; Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nasaruddin Umar; pelantun campur sari Endah Laras; pemusik Shri Krisna Encik; komika Blindman Jack; serta dai asal Sragen, Jawa Tengah, KH Ma’ruf Islamuddin.
Selain itu, para sahabat dan perwakilan ulama lintas agama pun mengikuti acara haul secara daring.
Beragamnya pihak yang dilibatkan dalam haul Gus Dur menunjukkan keluasan spektrum dalam diri Gus Dur. Cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asyari, itu bukan hanya kiai, melainkan juga budayawan, intelektual, dan pegiat demokrasi. Dalam setiap peringatan haul Gus Dur, sulit untuk menemukan homogenitas karena semua yang hadir ”berwarna-warni” dengan latar belakang masing-masing. Namun, setidaknya semua yang hadir itu memiliki kecintaan dan penghormatan pada nilai-nilai yang sama dengan yang diperjuangkan Gus Dur: kemanusiaan dan keadilan.
Acara haul ke-11 tahun ini diawali dengan khatmil Quran selepas maghrib di Tebuireng. Acara kemudian diteruskan dengan pembukaan; pembacaan ayat suci Al Quran di Ciganjur; Yasin, tahlil, dan doa di Tebuireng; gelar seni di Yogyakarta dan Jakarta; serta testimoni dari rakyat dan tokoh; dan tausiah. Acara ditutup dengan doa yang dipanjatkan oleh KH Husein Muhammad, salah satu sahabat Gus Dur.
Persatuan dan solidaritas
Putri ketiga Gus Dur, yang menjadi ketua pelaksana haul ke-11 Gus Dur, Anita Wahid, mengatakan, tema yang diusung dalam haul kali ini ”Persatuan dan Solidaritas untuk
1 Negeri dan 1 Cinta”, dipilih karena merepresentasikan kondisi kekinian yang dialami bangsa.
Indonesia sebagai bangsa yang majemuk tak dapat dimungkiri kini menghadapi tantangan berat. Pertentangan dan konflik kerap muncul dalam kehidupan berbangsa, termasuk saat menyikapi perbedaan. Gus Dur selama hidupnya mencontohkan bagaimana menyikapi setiap perbedaan dengan damai dan besar hati. Gus Dur mengutamakan persatuan di atas segala perbedaan.
”Beliau mengutamakan persatuan dan persaudaraan. Gus Dur bersikap baik kepada setiap orang yang berbeda pandangan. Kita perlu belajar dari situ untuk menghadapi tantangan yang ada sekarang, baik tantangan politik identitas yang kian sering dipakai, termasuk upaya pemecahbelahan dengan berbagai metode setiap kali ada kontestasi politik, maupun berbagai tantangan lain, seperti pandemi,” ungkapnya.
Demikian halnya dalam mengelola politik kekuasaan, Anita mengingat satu fase kritis dalam kehidupan ayahnya, yakni ketika ia mundur sebagai presiden RI. Tekanan politik yang kuat ketika itu membuat Gus Dur seolah ”kalah”. Namun, apalah kalah dan menang itu bagi Gus Dur. ”Yang namanya kalah itu wajar. Tetapi, saya tidak bisa kalau diminta melakukan sesuatu yang tidak benar,” ucap Anita menirukan pernyataan Gus Dur kala itu.
Anita mengatakan, Gus Dur berkomitmen pada pelayanan terhadap bangsa, dan bukan tentang kekuasaan. Oleh karena itulah, Gus Dur pun menjadi ”Bapak” dari banyak kelompok. Bagi kelompok Tionghoa, misalnya, ia disebut Bapak Tionghoa. Demikian halnya dengan orang Papua.
”Beliau tidak takut dijatuhkan, dan ketika menghadapi persoalan, yang dijadikan panduan ialah nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan, yang semuanya itu sangat selaras dengan demokrasi,” ucap Anita.
Pasang badan
Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia Budi Santoso Tanuwibowo mengatakan, umat Khonghucu sangat mengapresiasi Gus Dur yang mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Dengan kebijakan itu, umat Khonghucu kini dapat leluasa merayakan hari besar keagamaannya, yakni Imlek.
”Gus Dur orang yang berani bersikap ketika ia melihat ketidakadilan. Hal itu tidak dilakukan hanya dengan wacana saja, tetapi melalui tindakan. Gus Dur bahkan pasang badan ketika ketidakadilan muncul. Gus Dur melakukan ini secara konsisten,” ucap Budi.
Persatuan dan solidaritas, menurut Budi, adalah kunci bagi Indonesia untuk dapat menghadapi berbagai tantangan. Belajar dari sejarah, Indonesia yang sebelumnya terpecah dalam bentuk kerajaan-kerajaan dengan mudah dijajah oleh pihak lain. Tumbuhnya kesadaran akan persatuan sebagaimana digagas para pendiri bangsa menjadi pintu pembuka bagi kemerdekaan Indonesia. Nilai persatuan dan persaudaraan juga dijunjung tinggi Gus Dur.
Di atas politik
Sekretaris Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia Romo Paulus Christian Siswantoko mengatakan, prinsip yang menarik dari Gus Dur ialah di atas politik ada kemanusiaan. Ketika politik kembali pada jati dirinya, yakni bukan hanya demi kekuasaan, melainkan sebagai sarana membangun kesejahteraan bersama, rakyat akan merasakan kedamaian dan kemajuan.
Ketika elite politik memiliki komitmen sebagaimana yang dimiliki Gus Dur, menurut Siswantoko, politik akan membawa bangsa ini bangkit dari keterpurukan, baik karena Covid-19 maupun persoalan lain. Selain itu, sekat-sekat yang terjadi karena disintegrasi sosial bisa direkatkan kembali.
”Sekat-sekat sosial yang dipakai sebagai alat politik juga bisa diminimalkan sehingga semua bisa kembali bergandengan tangan meski berbeda partai, atau aliran politik, demi satu tujuan, yaitu kesejahteraan bangsa,” ucapnya.
Juru bicara Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Philip Situmorang, mengatakan, sosok Gus Dur adalah pembela orang-orang yang termarjinalkan, khususnya hal-hal yang menyangkut keberagaman dan kepercayaan. Tidak mudah merangkul pihak-pihak yang berbeda, tetapi Gus Dur mencontohkan bahwa hal itu dapat dilakukan sepanjang ada keterbukaan hati.
KH Husein Muhammad mengatakan, nilai-nilai yang diperjuangkan Gus Dur kian relevan saat ini. Dalam konteks ketika masih ada kelompok yang termarjinalkan di negeri ini, nilai-nilai dan teladan Gus Dur perlu terus dikembangkan.
”Gus Dur adalah orang yang menghabiskan hari-harinya untuk melayani dan menemani mereka yang termarjinalkan, yang hatinya luka, dan yang tidak mendapatkan hak-hak konstitusionalnya,” katanya.
Memberikan harapan
Harapan muncul dari setiap nilai yang diperjuangkan Gus Dur. Vokalis Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud, mengatakan, sosok Gus Dur memberikan harapan bagi banyak orang karena sikapnya yang rendah hati, tidak gila jabatan, dan memiliki rasa solidaritas yang tinggi. Sebagai contoh, Gus Dur pernah meminta maaf kepada korban peristiwa 1965.
”Hal itu sesuatu yang tidak mudah dilakukan, tetapi Gus Dur siap pasang badan untuk melakukan hal yang menurut nilai-nilai yang diyakininya harus dilakukan,” kata Cholil.
Baca juga: Gus Dur, Humor, dan Demokrasi
Seperti lirik dalam lagu Efek Rumah Kaca, yang berjudul ”Desember”, lantunan doa kepada Gus Dur di dalam haulnya setiap tahun ibarat nyanyian dan elegi yang muncul di balik setiap persoalan bangsa ini.
”Aku selalu suka sehabis hujan di bulan Desember/ di bulan Desember/ selalu ada yang bernyanyi dan berelegi di balik awan hitam/ semoga ada yang menerangi sisi gelap ini/ menanti seperti pelangi setia menunggu hujan reda…”