Pemerintah resmi melarang aktivitas serta penggunaan simbol dan atribut FPI di wilayah hukum NKRI. FPI dianggap melanggar perundang-undangan. Terkait kebijakan ini, FPI menyatakan akan menempuh upaya hukum.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui surat keputusan bersama enam kementerian dan lembaga resmi melarang kegiatan, penggunaan simbol, dan atribut Front Pembela Islam (FPI) dalam wilayah hukum NKRI. FPI dianggap telah melanggar berbagai ketentuan dalam UU Ormas. Oleh karena itu, FPI tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai organisasi kemasyarakatan yang diatur UU.
Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam keterangan resmi, Rabu (30/12/2020). Pengumuman itu juga dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Boy Rafli Amar, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, dan Wakil Menkumham Edward OS Hiariej.
Selain itu, juga hadir Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Idham Azis, Kepala Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, dan Menteri Komunikasi dan Informasi Johnny G Plate.
Mahfud MD mengatakan, sejak 21 Juli 2019, FPI sudah tidak memiliki kedudukan hukum sebagai organisasi kemasyarakatan atau organisasi biasa. Sebab, sesuai keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 01-00-oo/010/D.III.4/VI/2014 tanggal 20 Juni 2014, Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI sebagai organisasi kemasyarakatan berlaku sampai tanggal 20 Juni 2019.
Untuk bisa melakukan perpanjangan SKT, FPI harus memenuhi sejumlah persyaratan yang diatur dalam UU Ormas. Namun, FPI dianggap tidak dapat memenuhi persyaratan itu. FPI justru terus melakukan kegiatan yang melanggar ketertiban dan keamanan, seperti kekerasan, sweeping, dan provokasi.
”Oleh sebab itu, secara de jure terhitung mulai tanggal 21 Juli 2019 FPI dianggap bubar,” kata Mahfud.
Wakil Menkumham Edward OS Hiariej menambahkan, sesuai UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas, kegiatan ormas tidak boleh bertentangan dengan Pasal 5 Huruf g, Pasal 6 Huruf f, dan Pasal 21 b dan d yang mengatur tentang kewajiban ormas menjaga, memelihara, memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, serta menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat.
FPI juga dianggap melanggar Pasal 59 Ayat (3) Huruf a, c, d tentang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan; melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketertiban umum dan merusak fasilitas umum; serta melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum. Selain itu, juga Pasal 59 Ayat (4) Huruf c tentang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila, serta Pasal 82 A UU Ormas.
Pemerintah juga mengantongi fakta bahwa pengurus dan anggota FPI sebanyak 35 orang terlibat tindak pidana terorisme dan 29 orang di antaranya dijatuhi hukuman pidana. Sebanyak 206 orang juga terlibat tindak pidana umum dan 100 orang di antaranya dijatuhi hukuman pidana. Dalam rekaman video, pemerintah menunjukkan bahwa anggota FPI mendukung baiat massal Negara Islam Irak Suriah (NIIS) di Makassar, Sulsel. Pemimpin FPI M Rizieq Shihab melakukan provokasi perang dan anggota FPI melakukan latihan memotong leher.
”Berdasarkan pertimbangan itu, Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Kominfo, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala BNPT menetapkan larangan kegiatan, penggunaan simbol, dan atribut serta penghentian kegiatan Front Pembela Islam,” ucap Edward.
Sejak ditetapkan oleh enam kementerian dan lembaga itu, secara de jure FPI telah dianggap bubar sebagai ormas. Apabila masih ada kegiatan yang mengganggu ketenteraman, ketertiban, dan melanggar hukum, aparat penegak hukum diminta menghentikan kegiatan dan melakukan penegakan hukum. Segala bentuk kegiatan FPI juga dilarang di wilayah hukum NKRI.
Terakhir, pemerintah mengimbau warga untuk tidak terpengaruh dan terlibat dalam kegiatan penggunaan simbol dan atribut FPI. Apabila ada kegiatan serta penggunaan simbol dan atribut FPI, diminta untuk dilaporkan kepada aparat penegak hukum.
SKB enam kementerian dan lembaga itu dibuat untuk menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, pelarangan aktivitas dan penggunaan simbol FPI juga dilakukan karena isi anggaran dasar FPI bertentangan dengan pasal-pasal yang diatur dalam UU Nomor 17/2013 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas.
Sementara itu, saat dikonfirmasi, kuasa hukum FPI, Aziz Yanuar ,mengatakan, pencabutan izin ormas oleh Kemendagri tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XI/2013. Dalam putusan MK tersebut disebutkan bahwa ormas yang tidak berbadan hukum dan ingin mendaftarkan diri dapat melakukan pendaftaran ormas tanpa perlu adanya surat keterangan terdaftar (SKT) dari bupati/wali kota, gubernur, dan menteri.
Sementara itu, FPI sendiri sudah mencoba mengurus perpanjangan izin ormas sejak tahun 2018. Namun, hingga saat ini perpanjangan itu tidak berhasil dilakukan. ”SKB enam menteri yang baru saja diumumkan oleh Menko Polhukam bertentangan dengan putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013. Oleh karena itu, kami sedang menyiapkan upaya hukum,” kata Aziz Yanuar.