Mahkamah Agung berhasil menyelesaikan 99,04 persen perkara yang masuk pada 2020 dan tinggal menyisakan 199 perkara. Ini merupakan rekor sisa perkara terkecil yang pernah dimiliki MA.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung berhasil menyelesaikan hampir seluruh perkara yang masuk. Hingga 30 Desember 2020, jumlah perkara yang berhasil diputus sepanjang 2020 sebanyak 20.550 atau 99,04 persen dari total perkara 20.749 perkara.
Dengan demikian, ada sisa 199 perkara yang harus diselesaikan tahun depan. Jumlah sisa perkara tersebut termasuk yang terkecil sepanjang sejara berdirinya Mahkamah Agung (MA). Pada tahun sebelumnya, 2019, sisa perkara MA sebanyak 2.017 perkara.
Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin dalam acara ”Refleksi Akhir Tahun Mahkamah Agung RI”, Rabu (30/12/2020), mengatakan, capaian penyelesaian perkara tahun 2020 menggembirakan.
”Capaian tersebut menunjukkan peningkatan kinerja penanganan perkara di MA yang luar biasa. Di suasana pandemi Covid-19, ada hakim agung yang sakit dan meninggal, tetapi penyelesaian perkara sangat tinggi,” ujar Syarifuddin.
Syarifuddin menambahkan, pada masa pandemi Covid-19, sesuai surat edaran dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), MA melakukan pembagian kerja pegawai. Sebanyak 50 persen pegawai bekerja di rumah, sedangkan sisanya 50 persen bekerja di kantor. Jajaran pegawai dan hakim pun tak luput terpapar virus korona baru. Selama pandemi, dua hakim agung, yaitu MD Pasaribu dan Dudu Duswara Machmudin, meninggal dunia setelah terkonfirmasi Covid-19. Sementara, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah juga meninggal dunia karena Covid-19.
Akibat meninggalnya dua hakim agung ini, jumlah hakim agung pada kamar pidana pun berkurang. Dari semula 18 hakim agung, kini tersisa 11 hakim agung. Padahal, jumlah total perkara yang masuk ke MA terus bertambah. Tahun ini, peningkatan perkara 6 persen dibandingkan tahun 2019 yang berjumlah 19.369 perkara.
Di sisi lain, salah satu program kerja dalam pembaruan peradilan yang dilakukan Syarifuddin selama menjabat sebagai Ketua MA 2020-2025 adalah transformasi pelayanan dari konvensional ke digital. Transformasi pelayanan tersebut berbasis pada teknologi informasi. Syarifuddin berharap dengan sistem berbasis aplikasi penanganan perkara di pengadilan lebih cepat.
Selain itu, putusan juga dapat cepat selesai sehingga transparansi pengadilan meningkat. Dengan transformasi pelayanan publik itu, Syarifuddin berharap rasa keadilan sudah dapat dirasakan pencari keadilan sejak dari putusan pengadilan tingkat pertama. Dengan demikian, ketika masyarakat merasa sudah adil, jumlah perkara yang sampai ke MA akan menurun.
Budaya hukum dan spekulasi
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah mengatakan, banyaknya perkara yang masuk ke MA sebenarnya dipengaruhi oleh banyak hal. Pertama, budaya hukum di mana orang yang berperkara selalu mencari kemenangan. Masyarakat biasanya tidak cepat puas dengan putusan pengadilan di tingkat pertama. Apalagi, jika putusan yang dibuat oleh majelis hakim tidak dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan hukum yang jelas.
Mereka kemudian akan menempuh upaya banding ke pengadilan lebih tinggi. Sayangnya, menurut Liza, fungsi pengadilan tingkat banding pun belum efektif. Pengadilan di tingkat banding lebih banyak berperan sebagai kotak pos sebelum perkara naik ke tingkat kasasi dan peninjauan kembali.
”Kasasi dan peninjauan kembali (PK) itu kan seharusnya menjadi upaya hukum luar biasa. Namun, karena budaya hukum, akhirnya seperti menjadi upaya hukum biasa. Sehingga wajar jika jumlah perkara yang masuk ke MA selalu meningkat,” terang Liza.
Liza berpendapat untuk mengurangi jumlah perkara yang masuk ke MA, memang sulit. Sebab, selama masih ada upaya banding, masyarakat pasti akan berspekulasi. Namun, jika proses peradilan di tingkat pertama dan banding bisa diefektifkan, dengan pemeriksaan fakta hukum yang lebih baik, bisa jadi meningkatkan kepuasan para pencari keadilan.
”Jadi, seharusnya pemeriksaan fakta-fakta itu sudah clear dilakukan di pengadilan tingkat pertama dan banding. Perkara yang masuk ke MA itu nantinya hanya untuk memeriksa isu hukum dan perkembangan terbaru hukum,” kata Liza.
Mengenai modernisasi peradilan, Liza mengatakan bahwa program itu hanya sebatas meningkatkan transparansi peradilan terhadap publik. Dengan digitalisasi pelayanan publik, masyarakat semakin mudah untuk mengakses perkara maupun putusan. Dengan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), masyarakat juga dimudahkan untuk mengecek sampai di mana perkaranya.
Hal ini patut diapresiasi, karena MA termasuk institusi yang adaptif dan progresif dalam bidang modernisasi pelayanan terutama jika dibandingkan dengan kejaksaan dan kepolisian. Namun, menurut Liza, hal itu tidak akan serta-merta membuat masyarakat cepat puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama.