Di tengah pandemi Covid-19, pimpinan KPK menyebut upaya lembaga itu memberantas korupsi tak surut. Sejak Covid-19 dinyatakan bencana non-alam, KPK fokus mengawasi dan koordinasi dalam pencegahan penyelewengan anggaran.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memastikan kinerja lembaga selama tahun 2020 tetap terjaga di tengah terpaan pandemi Covid-19 menerpa. Hal itu diklaim dapat dilihat melalui beberapa indikator yang diperoleh KPK sepanjang 2020.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, dalam jumpa pers, Rabu (30/12/2020), mengatakan, realisasi indeks perilaku antikorupsi (IPAK) pada 2020 mencapai 3,84 dari target 4,0 atau 96 persen dari target. Sementara itu, realisasi pemulihan aset 58,8 persen dari target 70 persen.
”Sejak diumumkannya Covid-19 sebagai bencana non-alam, maka KPK memfokuskan terkait pengawasan, koordinasi pencegahan terhadap penyalahgunaan anggaran. KPK telah melakukan pendampingan, baik secara langsung maupun tidak langsung,” kata Firli.
Firli menyebut pandemi Covid-19 tidak membuat upaya KPK surut dalam pemberantasan korupsi.
Tahun ini, KPK telah menyetorkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke kas negara Rp 120,3 Miliar. Selain itu, KPK juga menyatakan telah menyelamatkan potensi kerugian keuangan negara Rp 592,4 triliun dari upaya pemulihan, penertiban, dan optimalisasi aset.
Di bidang penindakan, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menjelaskan, sepanjang 2020, KPK telah melakukan 111 penyelidikan, 91 penyidikan, 75 penuntutan, 92 perkara mendapat kekuatan hukum tetap, serta 108 perkara yang ditindaklanjuti dengan eksekusi. Tahun ini KPK menetapkan 109 orang sebagai tersangka dari 91 surat perintah penyidikan.
Sementara, hingga saat ini masih terdapat tujuh orang yang masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO) dan masih belum tertangkap. Mereka adalah Harun Masiku, Kirana Kotama, Sjamsul Nursalim, Itjih Sjamsul Nursalim, Izil Azhar, Suryadi Darmadi, dan Samin Tan. Adapun perkara yang menjadi perhatian publik pada 2020 adalah perkara BLBI-BDNI, perkara PT Pelindo II, perkara KPU, dan perkara KPT-elektronik.
”Terhadap para DPO yang hingga saat ini belum ditemukan, KPK terus melakukan berbagai upaya untuk menemukan para tersangka ini. Masih adanya beberapa perkara yang jadi perhatian publik, KPK akan berupaya menyelesaikannya pada tahun mendatang,” kata Nawawi.
Menurut Firli, dari tujuh DPO tersebut, yang merupakan DPO dari perkara yang terjadi pada 2020 hanya seorang, yakni Harun Masiku. Selain itu, kinerja KPK harus dinilai dari enam tugas pokok KPK sebagaimana tercantum pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan itu, tugas KPK dalam hal pencegahan atau monitoring bukanlah tugas sambilan, melainkan tugas pokok.
Pernyataan tersebut merujuk pada kritik terhadap kinerja KPK oleh beberapa kalangan masyarakat ataupun lembaga masyarakat anti korupsi beberapa waktu lalu yang menilai kinerja KPK pada 2020 menurun dibandingkan 2019. Penilaian itu terutama terkait kinerja bidang penindakan serta masih adanya tunggakan perkara besar yang belum dituntaskan KPK.
Menurut Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, tindakan penyelidikan dan penyidikan bukanlah kinerja KPK, melainkan bentuk kerja KPK. Arah KPK bukanlah pada jumlah penyidikan, jumlah penuntutan, ataupun jumlah perkara yang berkekuatan hukum tetap, melainkan untuk melindungi keuangan negara.
”Kami terbuka terhadap kritikan, tetapi ukurannya adalah capaian, bukan proses. KPK berkomitmen agar keuangan negara itu efisien dan efektif. Kalau misalnya tercolong 10 persen, maka penindakan bergerak melakukan asset recovery. Penyidikan, penuntutan itu adalah proses. KPK ingin memberantas korupsi secara komprehensif, bukan hanya penindakan. Kerja KPK termasuk dengan koordinasi dan supervisi karena KPK sadar memiliki keterbatasan jumlah dan dana,” kata Ghufron.
Terkait dengan penggunaan dana untuk pembelian vaksin Covid-19, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, pihaknya telah menyampaikan rekomendasi terkait pencegahan korupsi. Sebab, dana yang dialokasikan pemerintah untuk membeli vaksin sangat besar, yakni sekitar Rp 60 triliun pada 2021 dan 2022.
”Efektivitas vaksin tetap menjadi pertimbangan utama pemerintah. Kan percuma jika sudah deal tetapi tidak efektif. Kami tetap koordinasi dengan pemerintah, BPKP, dan LKPP. Kita belum tahu kontraknya seperti apa, tapi kami percaya pemerintah sudah mempertimbangkan berbagai risiko yang muncul dari kontrak itu,” kata Marwata.