Bakamla Siapkan Tiga Strategi Amankan Batas Laut Indonesia
Bakamla menyiapkan tiga strategi untuk mengelola batas laut Indonesia. Tiga hal tersebut ialah kehadiran simbol-simbol negara di laut, pemanfaatan laut, dan diplomasi di laut.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Keamanan Laut atau Bakamla menghadapi keterbatasan dengan kekuatan yang hanya sekitar 30 persen dari kondisi ideal. Di tengah tantangan itu, Bakamla mengedepankan tiga strategi untuk mengamankan batas laut Indonesia.
”Kebutuhan kapal idealnya 70-80, sekarang baru ada 10 kapal besar ditambah 10 yang kecil-kecil,” kata Kepala Bakamla Laksamana Madya Aan Kurnia dalam konferensi pers akhir tahun Bakamla, Rabu (30/12/2020).
Aan mengatakan, dengan keterbatasan kekuatan kapal itu, Bakamla harus bisa memantau situasi di depan, di antaranya dengan menggunakan pesawat. ”Begitu ada apa-apa, baru kita ke tengah laut,” katanya.
Menurut Aan, ia telah menyusun tiga strategi untuk mengelola batas laut. Pertama, kehadiran di laut. Simbol-simbol negara harus hadir agar tidak dilecehkan pihak lain. Kedua, laut harus dimanfaatkan. Ketiga, diplomasi di laut.
Untuk bisa mewujudkan strategi ini, Aan mengatakan, pihaknya menggandeng para pemangku kepentingan keamanan laut yang terdiri dari 12 kementerian dan lembaga lain. Ia juga meminta pihak lain untuk berperan serta. Kementerian Komunikasi dan Informatika, misalnya, diminta untuk memasang base transceiver station (BTS) untuk sinyal seluler. Dengan demikian, kehadiran dan komunikasi di perbatasan bisa berjalan lancar.
Dengan Kementerian Pertahanan, Bakamla juga telah berkoordinasi sehingga saat ini kapal-kapal Bakamla telah dilengkapi persenjataan. Sebelumnya, kapal-kapal itu hanya dilengkapi senapan dengan peluru karet.
Hanya, senjata itu diperuntukkan untuk bertahan bukan menyerang. Dengan begitu, Bakamla tidak membutuhkan senjata berkaliber besar, seperti TNI AL. ”Coast guard negara lain sudah lama menggunakan senjata. Kita baru dapat izin menggunakan senjata ada yang 12,7 mm ada yang 30 mm,” kata Aan.
Ke depan, Bakamla ingin menjadi lembaga yang bersifat single agency multi tasks. Dengan demikian, di laut tidak dipenuhi oleh berbagai instansi yang membuat kapal diperiksa berkali-kali dengan pertanyaan yang sama.
Aan mengatakan, hal itu bisa tercapai apabila omnibus law keamanan laut terwujud. Walaupun belum masuk ke Program Legislasi Nasional 2021, Aan mengatakan, pihaknya akan tetap memperjuangkannya.
Iis Gindarsah, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta mengatakan, Bakamla hendaknya memprioritaskan pengamanan kegiatan kemaritiman di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia, terutama yang berdekatan dengan daerah sengketa.
Pertimbangannya, wilayah ZEE seperti Laut Natuna Utara rawan pencurian ikan. Apalagi pencurian itu didorong oleh peningkatan konsumsi produk perikanan menyusul pemulihan ekonomi regional pascapandemi.
Gindarsah mengatakan, realitanya kesiapan material Bakamla memang masih cenderung lemah. Oleh karena itu, penting untuk memilih prioritas gelar patroli. Kawasan maritim yang rawan konflik dan kaya sumber daya harus mendapat prioritas. Gindarsah juga menekankan pentingnya sinergi diwujudkan secara praktis.
”Kunci kesuksesan Bakamla perlu ditopang oleh diplomasi maritim yang mumpuni dan pertukaran informasi antarinstansi terkait termasuk TNI, Polri dan pengawas perikanan, serta mitra dari luar negeri,” katanya