Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mengajak segenap komponen bangsa memelihara kolektivitas untuk mengatasi krisis multidimensi akibat wabah Covid-19
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wabah Covid-19 masih menjadi tantangan bangsa pada 2021. Pandemi secara global berpotensi menghadirkan krisis multidimensi.
Terkait dengan itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Pengurus Pusat Muhammadiyah mengajak segenap komponen memelihara kekuatan kolektif bangsa. Kolektivitas amat diperlukan untuk mengatasi tantangan krisis multidimensi akibat wabah Covid-19.
Menurut Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dalam forum ”Refleksi dan Tausiah Kebangsaan PBNU Menyambut Tahun 2021”, Selasa (29/12/2020), tahun ini amat berat. Pandemi menimbulkan krisis kesehatan publik, dampak ekonomi, dan praktik intoleransi.
Padahal, sesuai konsensus bangsa, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika harus dijadikan dasar menghargai perbedaan. Dengan ideologi tadi, masyarakat seharusnya bisa menghargai kemajemukan. Perbedaan adalah jati diri bangsa yang seharusnya menjadi kekuatan bukan anasir pemecah belah.
Perbedaan harus menjadi energi untuk memproduksi kekuatan kolektif sebagai sebuah bangsa. Bukan dijadikan sebagai benih untuk menumbuhkan perpecahan. (Said Aqil Siroj)
Said melanjutkan, saat ini, demokrasi sebagai sistem untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat amat berpotensi dibajak oleh gerakan fundamentalisme agama, ideologi, dan pasar. Kebebasan adalah satu sisi demokrasi yang memberi panggung kelompok radikal untuk mengekspresikan pikiran dan gerakan. Akhirnya, radikalisme berpotensi merongrong NKRI melalui berbagai provokasi permusuhan dan terorisme.
Penyebaran ekspresi, gerakan, dan gagasan dari kelompok radikal memakai dunia digital. Di sini berkembang pesat radikalisme politik, sosial, dan agama. PBNU menilai perlu upaya lebih intensif membangun narasi positif dan konten kreatif melawan radikalisme.
Narasi positif diharapkan bisa membendung sebaran berita bohong, fitnah, polarisasi, dan radikalisme dalam media sosial di jagad maya.
Sorotan
PBNU juga menyoroti kinerja eksekutif dan legislatif sebagai pembentuk undang-undang. Selama pandemi sejak awal Maret 2020, eksekutif dan legislatif malah memunculkan produk perundang-undangan yang menimbulkan kegaduhan di ruang publik.
Yang ideal, produk legislasi mampu menjawab kebutuhan publik dan mewujudkan keadilan.
Namun, yang terlihat justru fenomena berkebalikan, yakni gelombang masif penolakan terhadap UU baru. Produk legislasi yang ditolak mencerminkan tak sesuai kebutuhan publik. Tidak juga mampu menghadirkan supremasi keadilan.
”PBNU mendesak semua pihak meningkatkan mutu regulasi dengan semangat menghadirkan keadilan,” kata Said.
Ketimpangan
PBNU turut menyoroti ketimpangan ekonomi yang melebar akibat pandemi. Angka pengangguran meningkat. Banyak orang kehilangan pekerjaan karena ekonomi lesu.
Badan Pusat Statistik (BPS), Juli 2020, merilis indeks rasio gini Indonesia 0,381 atau meningkat 0,001 poin dibandingkan dengan September 2019 yang 0,380. Kenaikan rasio gini dipengaruhi wabah yang menurunkan ekonomi rakyat.
Orientasi pembangunan ekonomi belum dalam bingkai memajukan kesejahteraan umum dan menciptakan kemakmuran sebesar-besarnya rakyat Indonesia. (Said Aqil Siroj)
Ketimpangan disebabkan tiga hal. Pertama, budaya korupsi warisan Orde Baru. Kedua, orientasi pembangunan ekonomi cuma pertumbuhan bukan pemerataan. Ketiga, praktik oligarki orang kaya mampu memengaruhi kebijakan yang menguntungkan mereka.
Padahal, UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) mengamanatkan, ”bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. PBNU mendorong akses keadilan ditingkatkan, terutama bagi mereka yang tidak berkekuatan. Negara harus lebih hadir mewujudkan keadilan sosial.
Penanganan Covid-19
Pada 2021, penanggulangan pandemi Covid-19 dan dampak ekonomi masih akan menjadi tantangan bangsa. PBNU mengingatkan pemerintah pusat dan daerah meningkatkan kerja sama dan koordinasi.
Jangan sampai ada keputusan tumpang tindih dan unsur politis dalam kebijakan pemerintah. Keselamatan publik harus menjadi prioritas utama di atas kepentingan politik.
PBNU melihat tren warga yang terpapar Covid-19 saat ini masih terus meningkat. Masyarakat agar tetap disiplin protokol kesehatan guna memutus rantai penyebaran.
”PBNU mengapresiasi langkah pemerintah dalam memberikan vaksin gratis kepada masyarakat. Ini menunjukkan bahwa pemerintah berkomitmen tinggi dalam menjaga keselamatan dan kesehatan warganya,” imbuh Said.
Kesadaran kolektif
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengingatkan seluruh elemen bangsa untuk meningkatkan kesadaran kolektif bahwa pandemi Covid-19 adalah masalah bersama. Wabah bukan sekadar masalah dan tanggung jawab pemerintah melainkan juga menjadi tanggung jawab bersama.
Pemerintah perlu meningkatkan komitmen, sinergitas, dan konsistensi menyelesaikan masalah dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Selain itu, solidaritas dan kerja sama berbagai elemen masyarakat untuk mengatasi masalah sosial, spiritual, dan ekonomi juga perlu dijaga.
”PP Muhammadiyah menilai bahwa perlu dibangun kesadaran kolektif bahwa pandemi Covid-19 belum berakhir. Masyarakat harus terus berdisiplin dan partisipatif dalam menanggulangi dan mengatasi masalah Covid-19 melalui pendidikan masyarakat, media, organisasi massa, dan sebagainya,” kata Mu’ti.