Pentingnya haluan negara sebagai bintang pengarah masa depan bangsa, kembali disuarakan oleh MPR. MPR pun mengajak seluruh pemangku kepentingan mewujudkan Pokok-Pokok Haluan Negara tersebut.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Permusyawaratan Rakyat mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk melahirkan Pokok-Pokok Haluan Negara sebagai bintang pengarah masa depan Indonesia. PPHN itu akan memuat konsep masa depan yang disusun dalam bentuk rancangan atau pedoman strategis yang dapat digunakan sebagai acuan umum haluan negara.
Ketua Majelis Permusyawarakatan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo, dalam keterangan mengenai refleksi tahun 2020, yang diterima Kompas, Selasa (29/12/2020), mengatakan, sudah saatnya Indonesia memiliki arah pembangunan yang jelas dan berkelanjutan berupa Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Keberadaan arah pembangunan dalam PPHN itu diharapkan bisa memberikan gambaran arah dan bagaimana Indonesia mencapai tujuannya dalam waktu tertentu, baik itu lima tahun atau hingga 100 tahun mendatang.
”Konsep masa depan perlu disusun dalam suatu rancangan dan pedoman strategis sebagai acuan umum haluan negara yang ditetapkan dalam kekuatan hukum yang kuat. Untuk itu, MPR mengajak seluruh pemangku kepentingan mewujudkan gagasan perlunya hadir kembali Pokok-Pokok Haluan Negara atau PPHN sebagai bintang pengarah masa depan Indonesia,” ujarnya.
MPR juga menyerukan semua pihak untuk mendukung segala upaya pemerintah membangun bangsa di berbagai sektor kehidupan.
”Kita juga wajib mendorong pemerintah untuk mengayomi seluruh lapisan masyarakat untuk mendapatkan keadilan, kesamaan kesempatan dalam kehidupan berusaha, pemerataan pembangunan, baik pusat maupun daerah, termasuk keadilan dalam hak asasi manusia dan pembangunan SDM yang berkeadilan,” katanya.
Bambang melanjutkan, pimpinan MPR berharap pemerintah membuat kebijakan yang holistik atas daerah-daerah tertinggal atau yang selama ini kurang mendapatkan perhatian.
”Kita perlu fokus pada penanganan Papua dan Papua Barat agar ada penyelesaian yang permanen. Mari, kita hindari hal-hal yang dapat merusak sendi-sendi keharmonisan kita atau bahkan meluluhlantakkan kebinekaan kita,” ucapnya.
Dihubungi beberapa waktu lalu, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid mengatakan, PPHN adalah rekomendasi dari MPR periode 2014-2019 setelah melakukan serangkaian kajian. Pimpinan MPR saat ini mencoba meneruskan rekomendasi tersebut dengan kembali melakukan serap aspirasi dan silaturahmi dengan seluruh elemen kemasyarakatan.
”Sampai saat ini kami terbuka untuk menerima usulan dan masukan terkait PPHN. Tentu, melakukan amendemen, termasuk PPHN, memerlukan energi bersama kekuatan rakyat. Tanpa kehendak rakyat, amendemen terkait PPHN sulit dilaksanakan,” ucapnya.
Mengenai posisi PPHN di dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, hal itu amat bergantung pada kesepakatan. Jika masuknya PPHN itu dilakukan melalui amendemen konstitusi, berarti ketentuan PPHN itu harus dimasukkan di dalam UUD 1945.
Serap aspirasi
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, konstitusi sebagai dokumen hukum negara yang paling tinggi hierarkinya memiliki kekhasan dibandingkan dengan dokumen hukum lainnya. Salah satu kekhasan konstitusi adalah konstitusi dapat diubah, tetapi perubahan tersebut tidak boleh terlalu sering dilakukan dan sebaiknya bukan untuk memasukkan materi yang sebenarnya dapat diatur dalam UU atau peraturan di bawah UU.
Untuk itu, terkait kemungkinan MPR melakukan amendemen UUD 1945 untuk memasukkan PPHN, Bayu mengatakan, MPR terlebih dulu harus menjelaskan secara gamblang urgensi atas usulan tersebut.
Bayu mengatakan, konstitusi pada dasarnya adalah resultante atau kesepakatan/konsensus mayoritas bangsa pada suatu waktu. Oleh karena itu, terbuka kemungkinan penyesuaian atas konstitusi tersebut sebagai respons atas perkembangan atau kebutuhan zaman. Meski demikian, perubahan zaman atau perubahan waktu tidak selalu harus dibarengi dengan perubahan konstitusi, karena terkadang terdapat konstitusi yang mampu adaptif terhadap perkembangan zaman.
Untuk mengukur apakah UUD 1945 hasil empat kali amendemen itu perlu diamendemen kembali guna memasukkan PPHN, menurut Bayu, mesti melibatkan publik seluas-luasnya. Aspirasi publik pun harus didengarkan.
Pengalaman pembahasan sejumlah RUU oleh DPR dan pemerintah yang tidak partisipatif dan elitis, sehingga hasilnya menuai penolakan publik, harus dijadikan pelajaran oleh MPR.
”Alangkah baiknya jika usulan amendemen kembali UUD 1945 oleh MPR untuk memasukkan pengaturan tentang PPHN dibarengi dengan komitmen untuk menggunakan aspirasi mayoritas publik sebagai dasar pengambilan keputusan mengenai kapan waktu yang tepat amendemen akan dilakukan,” katanya.