MK dalam Bayang-Bayang Yuristokrasi
MK menjadi satu-satunya harapan masyarakat untuk mengoreksi produk legislasi yang dinilai kurang partisipatif. Sikap kenegarawanan hakim diuji setelah mereka dihadiahi perpanjangan masa jabatan melalui revisi UU MK

Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Minggu (20/12/2020). MK telah menerima sebanyak 76 permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sejak diumumkannya hasil pleno pilkada 2020 oleh KPU di sejumlah daerah.
Sepanjang 2020, Mahkamah Konstitusi menerima pengajuan 34 perkara pengujian undang-undang, baik formal maupun material. Undang-undang yang diuji itu kebanyakan baru saja disetujui bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah, kemudian dibawa ke MK.
Dalam catatan Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, jumlah tersebut termasuk banyak jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Pada sisi lain, hakim MK juga menerima ”keuntungan” dari produk legislasi DPR dan pemerintah yang oleh sebagian kalangan dipersoalkan. Adalah revisi Undang-Undang MK yang berkutat dengan periodisasi jabatan hakim konstitusi, dari semula lima tahun menjadi paling lama 15 tahun, dipandang sebagai hadiah yang berpotensi memengaruhi independensi hakim konstitusi dalam memutus perkara. Sikap kenegarawanan hakim konstitusi diuji untuk mengoreksi produk legislasi yang dianggap tak sejalan dengan kepentingan publik.
Saat masyarakat sedang bergulat dengan isu kesehatan masyarakat dan dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19, DPR tiba-tiba membahas revisi UU MK. Padahal, revisi undang-undang ini tak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Baru belakangan, tepatnya pada 2 April 2020, DPR menyetujui revisi UU MK masuk sebagai daftar kumulatif terbuka. Pembahasannya pun supercepat, yaitu hanya tujuh hari. Dari tujuh hari pembahasan, tiga hari pembahasan substansi dilakukan secara tertutup.
Baca juga: RUU MK Buka Potensi Yuristokrasi

Ribuan buruh dan mahasiswa berunjuk rasa memperingati Hari Sumpah Pemuda di kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta, Senin (28/10/2019). Mereka menuntut revisi UU KPK dan menolak RUU KUHP. Demonstrasi berjalan tertib.
Kemudian, pada 1 September 2020, DPR memberikan persetujuan pengesahan revisi UU MK. Substansi RUU MK itu hanya berkutat pada syarat usia hakim konstitusi, masa pensiun, perpanjangan masa jabatan hakim, dan masa jabatan pimpinan MK. Hal-hal krusial yang berkaitan dengan para pencari keadilan, seperti hukum acara dan sistem perekrutan hakim konstitusi, justru tidak masuk dalam revisi undang-undang tersebut.
Revisi dilakukan di masa pandemi saat partisipasi publik sangat terbatas. Apalagi, revisi UU MK ini dibahas dengan super kilat dengan substansi yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan pencari keadilan. Tentunya, hal itu akan membuat publik bertanya-tanya. Sebenarnya, revisi UU MK itu untuk siapa?
Perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi serta jabatan ketua dan wakil ketua MK dikhawatirkan menjadi semacam hadiah bagi para hakim yang saat ini menjabat
Kecurigaan publik pun semakin kuat ketika UU itu berlaku surut, bukan berlaku ke depan. Hakim konstitusi yang menjabat sekarang langsung dapat merasakan perpanjangan masa jabatan hakim hingga usia 70 tahun. Sementara ketua dan wakil ketua MK juga secara otomatis diperpanjang jabatannya dari 2,5 tahun menjadi 5 tahun.
Baca juga: Masa Jabatan Dihapus, Hakim Konstitusi Akan Menjabat Hingga Usia 70 Tahun
Hadiah
Perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi serta jabatan ketua dan wakil ketua MK dikhawatirkan menjadi semacam hadiah bagi para hakim yang saat ini menjabat. Sebagian kalangan khawatir hal itu akan membuat MK menanggalkan mahkotanya, yaitu independensi dan imparsialitas dalam memutus perkara.

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan terkait gugatan uji materi UU Cipta Kerja nomor perkara 91 dan perkara 95 secara virtual, Kamis (12/11/2020). Untuk pokok perkaranya, yakni Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945. Saat pemohon mendaftarkan perkara, UU Cipta Kerja juga belum memiliki nomor.
Padahal, saat ini, MK sedang menangani sejumlah perkara pengujian undang-undang yang krusial dan dianggap tak sejalan dengan aspirasi rakyat. Sebut saja revisi UU KPK yang hingga saat ini, setahun sejak diajukan pada 2019, belum diputus oleh MK. Ada lagi UU Cipta Kerja yang sempat memicu gelombang unjuk rasa di sejumlah daerah, UU Mineral dan Batubara, UU Stabilitas Keuangan dan Penanganan Pandemi Covid-19, hingga revisi UU MK sendiri.
Sementara MK menjadi pelabuhan terakhir masyarakat untuk mencari perlindungan atas hak konstitusional yang dijamin UUD 1945. MK merupakan penafsir tunggal konstitusi, the sole interpreter of constitution, sekaligus the guardian of constitution, penjaga konstitusi.
MK juga menjadi tempat berserah rakyat untuk mengoreksi jurang kesenjangan antara legislasi dan kebutuhan publik
Oleh karena itu, MK juga menjadi tempat berserah rakyat untuk mengoreksi jurang kesenjangan antara legislasi dan kebutuhan publik. Bahkan, masyarakat menilai bahwa tren pembentukan perundang-undangan belakangan ini mengabaikan prinsip demokratis dengan minimnya partisipasi publik. Penolakan publik selama proses pembahasan pun cenderung diabaikan. Baik DPR maupun Presiden selalu mengatakan bahwa masyarakat yang tidak puas terhadap legislasi dipersilakan menggugat ke MK.
Politik legislasi
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret Surakarta, Agus Riewanto, mengatakan, penyerahan tanggung jawab penyelesaian masalah kontroversial dari lembaga politik ke lembaga peradilan adalah bentuk yuristokrasi. Tampaknya, yuristokrasi menjadi tren baru dalam politik kebijakan legislasi di Indonesia.
Baca juga: MK Diminta Batalkan Seluruh UU KPK

Seratusan mahasiswa dari kelompok Cipayung Plus Kota Padang, yang antara lain terdiri atas HMI, PMII, PMKRI, GMNI, GMKI, dan IMM, berunjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja di Jalan Jenderal Sudirman depan kantor Gubernur Sumatera Barat, Padang, Sumbar, Kamis (15/10/2020) sore. Selain menolak RUU Cipta Kerja, mereka juga menuntut Gubernur Sumbar Irwan Prayitno turut menyatakan sikap secara langsung untuk menolak RUU itu karena merugikan masyarakat Sumbar.
Menurut Agus, seharusnya produk legislasi yang menuai resistansi publik bisa diselesaikan melalui instrumen kekuasaan politik Presiden. Presiden berwenang untuk menarik kembali RUU yang diajukan ke DPR saat pembahasan karena mendapat respons negatif publik. Namun, Presiden memilih memanfaatkan instrumen demokrasi, yaitu MK, untuk menguji pertentangan undang-undang dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi.
”Pilihan Presiden mengalihkan masalah kontroversial pada pengadilan tampaknya bukan kebetulan, melainkan sebuah kesengajaan untuk meminimalkan risiko penolakan terhadap kebijakan legislasi oleh masyarakat yang dapat memengaruhi penilaian buruk terhadap kinerja Presiden,” ujar Agus dalam Kompas (30/10/2020).
Dengan tren yuristokrasi itu muncul anggapan bahwa MK memainkan posisi sebagai tameng untuk mengamankan kekuasaan Presiden
Dengan tren yuristokrasi itu muncul anggapan bahwa MK memainkan posisi sebagai tameng untuk mengamankan kekuasaan Presiden. Apalagi, jika dikaitkan dengan gula-gula yang telah diberikan berupa revisi UU MK.
Masyarakat sipil yang peduli pada demokrasi dan cita-cita reformasi pun tak berpangku tangan. Mereka menggugat revisi UU MK, yang dianggap memengaruhi independensi dan imparsialitas MK. Salah satu gugatan diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK. Violla Reininda dari Koalisi Selamatkan MK mengatakan, dalam pengujian konstitusionalitas UU MK, pihaknya meminta penundaan berlakunya UU MK hasil revisi, khususnya pasal perpanjangan jabatan ketua dan wakil ketua MK. Alasannya, untuk mengeluarkan ketua dan wakil ketua MK dari pusaran konflik kepentingan, dan agar etis saat memeriksa perkara.

Suasana sidang pengucapan ketetapan terhadap sejumlah uji formil dan materiil Undang-Undang, salah satunya Undang Undang Nomor 2/2020 tentang Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (28/9/2020). Sidang diikuti pihak berpekara secara daring. Pada persidangan tersebut, rapat permusyawaratan hakim MK menyetujui penarikan uji formil dan materiil UU tersebut oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dkk.
Terkait dengan tudingan bahwa revisi UU MK adalah gula-gula bagi hakim konstitusi yang menjabat sekarang, Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso mengatakan, kecurigaan publik tersebut sah-sah saja. Namun, dia menegaskan bahwa MK sama sekali tidak terlibat dalam proses penyusunan UU tersebut. MK justru menjadi obyek yang diatur secara kelembagaan.
Karena saat ini MK juga sedang memeriksa perkara uji konstitusionalitas revisi UU MK, pihaknya tak bisa berpendapat terlalu banyak. MK akan memeriksa perkara tersebut sesuai dengan kewenangan
yang dimiliki. Pada saatnya nanti, MK akan berbicara melalui putusan. ”Silakan publik nanti menunggu apa putusan yang dijatuhkan majelis hakim, nanti bisa dilihat pertimbangan-pertimbangannya,” kata Fajar.
Fajar mengatakan, sebagai lembaga yang diatur secara kelembagaannya melalui UU, MK tidak memiliki instrumen untuk menolak UU tersebut. Pada saat proses pembentukan undang-undang pun, MK tidak bisa ikut proaktif berkomentar. MK haram terlibat dalam proses pembentukan UU, karena pada akhirnya akan menjadi tempat untuk menguji UU tersebut.

Juru bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono Seoroso.
“Sebagai obyek yang diatur oleh UU, substansi peraturan yang ada di UU itu sangat tergantung dengan parlemen. Mau diperkuat, diperlemah, itu semua tergantung proses legislasi di parlemen,” kata Fajar.
Terkait mahkota MK yaitu independensi dan imparsialitas dalam memeriksa perkara, Fajar meminta publik terus mengawasi. Persidangan di MK disiarkan secara terbuka dan transparan, sehingga publik dapat mengawasi kinerja hakim konstitusi. Selebihnya, pembuktian mengenai independensi dan imparsialitas itu akan terlihat melalui putusan-putusan MK. Semua itu dapat dibaca melalui pertimbangan-pertimbangan hukum dalam putusan.
Revisi seharusnya menyinggung perubahan hukum acara, standar perekrutan hakim konstitusi, mekanisme pengaturan constitutional complaint dan constitutional question, serta sistem pengujian perundang-undangan satu atap
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Bengkulu, Putra Perdana, menambahkan, sebenarnya, revisi UU MK diperlukan untuk memperkuat kelembagaan MK. Untuk itu, revisi seharusnya menyinggung perubahan hukum acara, standar perekrutan hakim konstitusi, mekanisme pengaturan constitutional complaint dan constitutional question, serta sistem pengujian perundang-undangan satu atap.
Publik berharap MK tetap independen dan jernih dalam memutus perkara. Citra MK menjadi taruhannya. Selain itu, uji materi juga merupakan saluran bagi ungkapan ketidaksetujuan masyarakat terhadap keputusan yang diambil oleh pembuat undang-undang. Uji materi menjadi jaminan bagi rakyat atas hasil legislasi agar tidak menyimpang dari aspirasi mereka. Jika simbol reformasi dan demokrasi itu telah terkooptasi, lalu kepada siapa rakyat akan berserah?