Badan Kepegawaian Negara mengingatkan para pejabat pembina kepegawaian untuk segera memecat 118 PNS koruptor itu. Jika tidak, terbuka kemungkinan, para pejabat turut dijerat hukum.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Sebanyak 118 pegawai negeri sipil yang telah divonis bersalah melakukan korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap belum juga diberhentikan. Badan Kepegawaian Negara mengingatkan para pejabat pembina kepegawaian untuk segera memecat mereka. Jika tidak, terbuka kemungkinan, pejabat turut dijerat hukum.
Adanya 118 pegawai negeri sipil (PNS) yang belum diberhentikan itu disampaikan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana saat jumpa pers ”Catatan Akhir Tahun 2020” bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Tjahjo Kumolo, di Jakarta, Selasa (29/12/2020).
”Mereka belum diberhentikan PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) dan masih menerima gaji,” kata Bima. Yang dimaksud PPK adalah para menteri, kepala lembaga, dan kepala daerah.
Namun, dalam acara jumpa pers itu, Bima tak menyebutkan instansi tempat 118 PNS itu bekerja saat ini. Ia hanya menyampaikan bahwa BKN tak henti-hentinya mengingatkan para PPK untuk segera memberhentikan 118 PNS tersebut. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003, PPK berwenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan ASN sesuai ketentuan.
”Kami terus kejar, terus surati PPK, untuk segera memberhentikan yang bersangkutan sebagai PNS,” ujar Bima.
”Karena kalau tidak dipenuhi, itu bisa timbulkan kerugian negara, yang mungkin akan menjerat atasan yang tidak menyelesaikan atau memberhentikan PNS yang bersangkutan dengan cepat. Ini sekaligus imbauan kepada PPK untuk sesegera mungkin memberhentikan PNS yang sudah inkrah hukumannya,” lanjutnya.
Koreksi pemberhentian
Selain menyampaikan adanya 118 PNS koruptor yang belum dipecat, Bima mengatakan dari PNS koruptor yang sudah diberhentikan PPK, tak sedikit di antaranya yang harus dikoreksi oleh BKN. Ini terutama soal jenis pemberhentian.
PNS koruptor, menurut Bima, seharusnya diberhentikan tidak dengan hormat. Namun dalam sejumlah kasus, PPK memberhentikan PNS koruptor dengan dasar pemberhentian atas permintaan sendiri atau jenis lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. ”Maka kami koreksi. PNS yang terjerat tindak pidana korupsi harus diberhentikan tidak dengan hormat,” tambahnya.
Isu soal PNS koruptor yang belum dipecat ini sempat mencuat pada 2018.
Bahkan pada pertengahan September 2018, Tjahjo Kumolo yang kala itu masih menjabat Menteri Dalam Negeri bersama Menpan dan RB Syafruddin serta Kepala BKN Bima Haria Wibisana sempat meneken surat keputusan bersama terkait pemecatan 2.357 ASN yang berstatus koruptor. Dalam surat itu ditegaskan, paling lambat pemecatan dilakukan akhir tahun 2018 (Kompas, 14/9/2018).
Namun, hingga akhir Februari 2019, BKN mencatat, dari total 2.357 ASN terpidana korupsi, baru 572 orang yang diberhentikan tidak hormat. Mayoritas ASN itu ada di pemerintah daerah (Kompas, 23/2/2019).
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Tibiko Zabar, menilai pemerintah tidak tegas terhadap para PNS terpidana korupsi. ”Padahal polemik PNS koruptor sudah mencuat sejak 2018 dan dijanjikan segera tuntas. Kenyataannya, hingga pengujung 2020, masih ada 118 PNS terpidana korupsi yang belum dipecat,” tambahnya.
Sikap lambat pemerintah sekaligus dinilainya menunjukkan kemalasan birokrasi dan bertentangan dengan komitmen antikorupsi yang sering digaungkan pemerintah.
”Bagi PPK yang tidak kunjung melaksanakan pemecatan, seharusnya dapat dikenai sanksi oleh Kementerian Dalam Negeri. Sebab, lambatnya PPK memecat itu merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan sehingga mereka pun patut diberikan sanksi,” ujar Tibiko.
Sanksi dimaksud seperti diatur dalam Pasal 68 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, Pasal 81 Ayat 2 Huruf c UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.