Pembuktian Menteri Baru Menyelesaikan Persoalan Lama
Penunjukan enam menteri baru diapresiasi sebagian kalangan. Namun, hal tersebut belum cukup memunculkan optimisme publik mengingat masih ada menteri yang berkinerja tak optimal dan kiprahnya belum dirasakan masyarakat
Desas-desus mengenai perombakan Kabinet Indonesia Maju yang santer terdengar dua pekan terakhir akhirnya terjawab. Presiden Joko Widodo akhirnya melantik 11 anggota kabinet baru, terdiri dari enam menteri dan lima wakil menteri pada Rabu (23/12/2020) bertepatan dengan hari kelahiran Presiden Jokowi di hari Rabu Pon.
Enam menteri yang dilantik Presiden di Istana Negara, Jakarta, tersebut adalah Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, serta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Sedangkan lima wakil menteri yang dilantik dalam kesempatan yang sama ialah Letnan Jenderal M Herindra sebagai Wakil Menteri Pertahanan, Edward Omar Sharif Hiariej sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Dante Saksono Harbuwono sebagai Wakil Menteri Kesehatan, Harfiq Hasnul Qolbi sebagai Wakil Menteri Pertanian, dan Pahala Nugraha Mansury sebagai Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Baca juga: Komunikasi Intens Pastikan Kinerja Kabinet Efektif
Menteri-menteri baru tersebut, dua di antaranya mengisi posisi menteri yang kosong usai menteri sebelumnya ditangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni Menteri KP Edhy Prabowo dan Mensos Juliari Peter Batubara. Sedangkan empat menteri lain menggantikan pendahulunya yang dianggap Jokowi kurang menunjukkan kinerja secara maksimal. Menteri-menteri baru tersebut diberi tugas utama oleh Presiden untuk menyelesaikan pandemi Covid-19 beserta dampaknya.
Sebagian menteri baru yang dipilih Jokowi tersebut tidak asing di mata publik. Sebut saja Mensos Risma yang sebelumnya menjabat sebagai wali kota Surabaya dua periode, Mendag Muhammad Lutfi yang pernah menduduki jabatan yang sama di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang, serta Menkes Budi yang dalam kabinet menjadi wakil menteri Badan Usaha Milik Negara.
Menteri-menteri baru tersebut diberi tugas utama oleh Presiden untuk menyelesaikan pandemi Covid-19 beserta dampaknya
Bahkan untuk membantu menjalankan pemerintahan, Jokowi menunjuk Sandiaga yang merupakan rival politik dalam kontestasi pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Kala itu, Sandi menjadi calon wakil Presiden berpasangan dengan calon Presiden Prabowo Subianto. Sandiaga mengikuti jejak Prabowo yang telah mendahului menjadi pembantu Presiden sebagai Menteri Pertahanan sejak awal Kabinet Indonesia Maju dibentuk.
“Ketika Prabowo masuk, kekecewaan itu ada. Ketika Sandiaga masuk, agak sempurna kekecewaannya dan ini tidak sehat untuk demokrasi. Yang sehat secara logika dan etika adalah partai atau figur pendukung Prabowo menjadi kekuatan penyeimbang sebagai opisisi agar bisa menjalankan fungsi checks and balances,” kata Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, dalam bincang-bincang Satu Meja the Forum yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo, Rabu (23/12/2020).
Demokrasi dinilai akan lebih berkualitas apabila jumlah opisisi cukup seimbang dibandingkan penguasa
Bincang-bincang dengan tema “Kabinet Baru, Harapan Baru?” yang disiarkan Kompas TV itu juga menghadirkan sejumlah pembicara secara daring Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arteria Dahlan, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian, dan Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra.
Masuknya Prabowo dan Sandiaga, menurut Mardani, merupakan bentuk eksperimen baru dalam politik Indonesia karena dalam sejarahnya tidak ada kompetitor Pilpres masuk dalam kabinet. Hal ini dikhawatirkan mengancam kesehatan demokrasi karena menghilangkan keragaman. Demokrasi dinilai akan lebih berkualitas apabila jumlah opisisi cukup seimbang dibandingkan penguasa.
Terlepas dari latar belakang menteri hasil perombakan kabinet, ia menyayangkan Jokowi yang kembali tidak melibatkan KPK dalam memilih enam menteri hasil perombakan, seperti awal pembentukan Kabinet Indonesia Maju. Padahal, penangkapan dua menteri, Edhy dan Juliari, oleh KPK menunjukkan bahwa penunjukan menteri harus menggunakan standar yang lebih tinggi. Sebaik-baiknya kompetensi, amat berbahaya jika tidak memiliki komitmen antikorupsi.
“Yakinkan publik bahwa Covid-19 bisa dikendalikan, ekonomi berkembang, dan masyarakat merasakan kehadiran negara di segala bidang sehingga Jokowi dapat mengakhiri periode kedua dengan warisan yang membuat rakyat tersenyum,” ucap Mardani.
Donny mengatakan, Presiden selalu mempertimbangkan rekam jejak, profesionalitas, dan kompetensi dalam memilih menteri yang mumpuni agar dapat mengeksekusi kebijakan. Tak terkecuali menteri dari unsur parpol karena ada kader yang kompeten dan mumpuni menduduki jabatan menteri.
Presiden selalu mempertimbangkan rekam jejak, profesionalitas, dan kompetensi dalam memilih menteri yang mumpuni agar dapat mengeksekusi kebijakan
Saat menunjuk Sandiaga sebagai menteri, Jokowi mempertimbangkan alasan teknokratis, bukan strategi politik. Hal itu dinilai realistis karena Sandiaga merupakan salah satu putra terbaik, meskipun pernah berseberangan dalam Pilpres 2014.
“Presiden menunjukkan kenegarawannya karena mengambil sosok yang sempat berseberangan untuk masuk dalam kabinet,” ujar Donny.
Baca juga: Kejutan Presiden di Akhir Tahun
Perombakan kabinet, lanjut ia, kemungkinan masih akan terjadi karena KSP selalu memberikan laporan kinerja menteri secara periodik kepada Jokowi. Namun, menteri-menteri tersebut perlu diberikan waktu untuk menunjukkan kinerjanya agar bisa mengukur performa dalam menjalankan kebijakan Presiden.
Menurut Arteria, perombakan kabinet menunjukkan bahwa Jokowi memiliki niat dan upaya untuk memperbaiki kinerja dan menyempurnakan kepercayaan publik. Presiden melakukan evaluasi dan investigasi terhadap menteri-menteri serta menggantinya jika ada masalah.
“Ada fakta bahwa memang harus dilakukan reshuffle karena ada dua menteri terjerat kasus hukum, serta ada alasan kinerja yang membutuhkan menteri-menteri yang bisa melaksanakan ide dan menindaklanjuti gagasan Presiden,” ucapnya.
Ia menilai, enam menteri baru yang dilantik sudah tepat. Salah satu yang mengundang kontroversi, Menkes Budi, misalnya dipilih karena alasan substantif karena Budi dinilai paham untuk melaksanakan hal-hal yang harus dilakukan saat masa pandemi Covid-19.
Permasalahan di Kemenkes bukanlah terkait sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, sarana dan prasarana, dokter, serta para ahli. Namun selama ini, masalahnya ada di dalam tata kelola dan kebijakan kesehatan negara untuk rakyat.
Ada komunikasi yang terputus. Negara sudah hadir dan tidak abai, negara juga sangat serius melindungi kesehatan warga, namun sebagian masyarakat masih ragu . Oleh sebab itu, perlu manajemen pelayanan publik yang baik agar perlindungan kesehatan dirasakan oleh masyarakat.
“Komunikasi ini yang tidak hadir dalam bebrapa waktu sehingga apapun kebijakan pemerintah, rakyat ragu dan tidak percaya. Maka perlu menteri yang punya manajerial yang bagus,” tutur Arteria.
Azyumardi menilai, enam menteri baru hasil perombakan kabinet memiliki kapabilitas yang mumpuni dan mampu bekerja dengan baik. Namun untuk kinerja menteri secara keseluruhan, hal itu dinilai akan sulit karena masih ada sebagian menteri yang kinerjanya tidak dirasakan publik.
Perombakan enam menteri tidak cukup kuat membuat publik antusias karena perombakan hanya dilakukan secara parsial dan belum komprehensif. Menurutnya yang perlu diganti bukan hanya empat menteri, karena sudah setahun pemerintahan berjalan masih banyak menteri yang kinerjanya tidak jelas dan bekerja biasa-biasa saja.
“Publik tahu mana menteri yang kurang optimal, terlihat dalam survei yang menunjukkan kinerja-kinerja menteri yang tidak sesuai harapan,” tutur Azyumardi.
Perombakan enam menteri tidak cukup kuat membuat publik antusias karena perombakan hanya dilakukan secara parsial dan belum komprehensif
Menurut dia, seharusnya Presiden melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap 34 menteri Kabinet Indonesia Maju. Seandainya kinerja enam menteri baru dalam 100 hari pertama tersebut bagus, maka akan ada optimisme terhadap perbaikan situasi di Indonesia. Namun kinerja secara keseluruhan akan sulit optimal karena masih ada menteri lain yang kurang maksimal sehingga sulit memberikan harapan publik.
“Oleh karena itu supaya tidak sering reshuffle, seharusnya overhaul atau turun mesin. Menteri-menteri yang kinerjanya kurang baik atau hanya biasa-biasa saja agar segera diganti,” kata Azyumardi.