Gubernur Lemhannas: Ada Kemerosotan Pemahaman Kebangsaan
Politik identitas menguat dalam kehidupan berbangsa belakangan ini. Tantangan tersebut harus dihadapi dengan menguatkan jati diri sebagai bangsa Indonesia.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo menilai ada kemerosotan pemahaman kebangsaan yang merupakan tantangan lain di luar pandemi Covid-19. Kemerosotan itu, antara lain, ditandai dengan menguatnya politik identitas yang ditempatkan seakan di atas kepentingan nasional dan persatuan bangsa.
Dalam keterangan pers yang disiarkan secara daring mengenai refleksi akhir tahun dan harapan tahun depan, Agus menilai persoalan ekonomi akan dapat teratasi pascapandemi Covid-19. Bahkan, potensi pertumbuhan ekonomi itu akan lebih tinggi daripada ketika masa sebelum pandemi. Meskipun demikian, ada tantangan besar yang mesti dihadapi Indonesia di berbagai bidang. Salah satunya kemerosotan pemahaman kebangsaan di antara anak bangsa.
”Kepentingan kelompok dan golongan seakan ada di atas kepentingan nasional dan persatuan bangsa. Bendera politik identitas dikibarkan melampaui bendera merah putih yang menyatukan kita,” kata Agus dalam pernyataan akhir tahun berjudul ”Keluar dari Pandemi Covid-19, Menuju Pemulihan Ekonomi dan Harapan di Tahun 2021”.
Ada tantangan besar yang mesti dihadapi Indonesia di berbagai bidang. Salah satunya kemerosotan pemahaman kebangsaan di antara anak bangsa.
Identitas yang diletakkan seolah-olah di atas kepentingan nasional dan kebangsaan itu, menurut Agus, tidak dapat dimungkiri menjadi salah satu persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini. Oleh karena itu, di masa depan, tantangan itu harus diantisipasi, antara lain dengan menegakkan identitas dan jati diri kebangsaan Indonesia kepada generasi selanjutnya.
Untuk mengatasi tantangan itu, perlu bagi pemerintah untuk menguatkan identitas dan karakter bangsa. Lemhannas merinci ciri-ciri manusia yang memiliki identitas dan berkarakter kuat itu ialah punya rasa ingin tahu yang tinggi; berpikiran kritis dan kreatif; berani mempelajari hal-hal baru; mampu mengajukan pendapat dan argumen yang persuasif dan tajam, baik dalam berbicara maupun menulis; percaya diri dan tidak minder, tetapi juga tidak sombong; berani mengambil risiko, tidak mudah terpengaruh, dan tidak ikut-ikutan melakukan sesuatu tanpa berpikir matang.
Menurut Agus, generasi muda wajib mengetahui sejarah, peradaban, dan warisan budaya Indonesia. Mereka perlu memahami kegemilangan dan kesalahan para pendahulu di masa silam. Kebudayaan, kesenian, dan bahasa merupakan hal yang melekat dalam diri warga bangsa sejak dari buaian sampai ke liang kubur.
”Hal itu pula yang membedakan manusia dengan robot yang menggunakan kecerdasan buatan,” katanya.
Generasi muda wajib mengetahui sejarah, peradaban, dan warisan budaya Indonesia. Mereka perlu memahami kegemilangan dan kesalahan para pendahulu di masa silam.
Agus mengatakan, identitas dan karakter yang kuat serta pemahaman terhadap sejarah, peradaban, dan warisan budaya Indonesia dapat menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Generasi muda akan menyadari diri mereka sebagai ahli waris peradaban yang Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tapi bersatu untuk mencapai cita-cita bangsa, yakni maju, adil, dan makmur. Dengan demikian, mereka akan lebih bertanggung jawab menjaga agar kain kebangsaan tidak mudah koyak.
Dalam pernyataan akhir tahunnya, Lemhannas menyoroti perlunya pemerintah memastikan vaksinasi berjalan dengan lancar dengan mengoptimalkan tenaga kesehatan dari pusat sampai ke daerah. Prosedur vaksinasi juga diharapkan dijalankan sesuai dengan ketentuan, terutama mengenai penjadwalan vaksinasi untuk warga.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Vidhyandika Djati Perkasa mengatakan, problem identitas sangat rumit karena hal ini tak terlepaskan dari persoalan politik. Dalam setiap momen perhelatan politik dan kontestasi, isu identitas selalu menyeruak dan merupakan salah satu isu yang laris digunakan demi meraih kekuasaan.
Dalam setiap momen perhelatan politik dan kontestasi, isu identitas selalu menyeruak dan merupakan salah satu isu yang laris digunakan demi meraih kekuasaan.
Contoh isu identitas yang kerap muncul ialah dikotomi mayoritas dan minoritas. Islam sebagai agama yang paling banyak dianut, salah satunya, kerap dijadikan bagian dari isu-isu identitas. Namun, isu identitas tidak hanya terkait dengan agama, sebab di beberapa daerah, problem kesukuan ataupun rasa juga menyeruak.
”Sebagai contohnya Papua. Tidak bisa dimungkiri ada kenaikan sentimen nasionalisme di kalangan orang Papua karena mereka merasa tidak diperlakukan adil. Orang-orang Papua merasa mereka adalah teritori yang berada di bawah naungan Indoensia, tetapi itu tidak berarti mereka cinta Tanah Air atau merasa bagian dari Indonesia,” katanya.
Menurut Vidhya, Pancasila sebagai perekat kehidupan bangsa belum benar-benar termanifestasikan dalam teladan dari para pemimpin dan elite bangsa. Kondisi ini membuat tidak ada pedoman yang benar-benar lurus tentang menjadi Indonesia. Tidak cukup hanya memperkuat pelajaran sejarah dan budaya, tetapi perlu juga implementasi Pancasila dalam praktik kehidupan sehari-hari.