Tantangan pelik dihadapi Ketum PPP Suharso Monoarfa. Ini karena salah satu partai tertua di Indonesia itu cenderung mengalami kemerosotan perolehan suara sejak Pemilu 1999. Bagaimana Suharso akan mengatasinya?
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
Suharso Monoarfa ditetapkan secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam Muktamar IX yang diselenggarakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, 18-20 Desember 2020. Tantangan pelik dihadapi Ketum PPP, karena salah satu partai tertua di Indonesia itu cenderung mengalami kemerosotan perolehan suara sejak Pemilu 1999.
Dalam perbincangan melalui sambungan telepon usai terpilih sebagai ketua umum PPP, Sabtu (19/12) malam, Suharso yang juga Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, menegaskan mampu mengatasi tantangan yang dihadapi PPP dengan kerja-kerja kolektif dan kedisiplinan organisasi yang tinggi.
Suharso menargetkan suara PPP naik, sehingga sama dengan raihan pada Pemilu 1999 yang mencapai 11 juta suara, atau naik hampir dua kali lipat dibanding raihan pada Pemilu 2019, yakni enam juta suara. Berikut petikan wawancaranya:
Apa saja yang akan Anda lakukan untuk menaikkan raihan suara PPP?
Jadi, yang pertama itu, saya ingin mengembalikan cara-cara kerja elektoral yang benar. Selama ini, PPP berdasarkan pengalaman saya sendiri, mampu melakukan itu. Saya beri contoh, dulu PPP tidak pernah mendapatkan kursi di Sulawesi Utara (Sulut). Lalu, saya ditempatkan Pak Hamzah Haz (mantan ketua umum PPP), tahun 1999, dan akhirnya terpilih, sehingga memecahkan rekor untuk pertama kalinya PPP memperoleh kursi di daerah pemilihan Sulut.
Padahal, ketika Reformasi, PPP dianggap pasti hilang. Tetapi, saya bisa membuktikan PPP bisa mendapatkan kursi. Pada tahun 2004, saya ditempatkan di Gorontalo, dan saya juga memperoleh kursi, sehingga ada tiga kursi. Ini membuktikan PPP bisa dapat kursi di tempat-tempat bagus, yang tadinya tidak pernah mendapatkan kursi. Artinya, sepanjang kerja elektoralnya benar, maka kursi itu bisa didapatkan.
Tahun 2009, ketika saya tidak maju, saya membantu Pak Suryadarma Ali untuk terpilih di dapil Bogor dan Cianjur. Saya melakukan kerja elektoral yang menurut saya benar, sehingga alhamdullilah itu berhasil. Tahun 2014, saya melakukan kerja elektoral untuk istri saya yang belum mengerti politik, bahkan tidak bisa pidato, dan dia ditempatkan di nomor urut dua, tetapi dia terpilih. Tahun 2019, ketika terpecah ada pendukung 01 dan 02, saya melakukan kerja elektoral, dan istri saya terpilih.
Bagaimana cara-cara kerja elektoral yang benar itu menurut Anda?
Kerja-kerja elektoral itu harus dijalankan dengan perencanaan yang baik dan detail. Kunci dari kerja elektoral ialah soliditas, dan kekompakan tim yang dirajut mulai dari tingkat nasional sampai ke bawah. Harus ada tim yang bagus. Kedua, kita harus punya perencanaan day by day, mau membuat apa, dan harus diperhitungkan.
Ketiga, bagaimana kita menyapa pemilih. Nah, untuk menyapa pemilih, saya mengenalkan diksi baru di PPP, yakni merawat persatuan dengan pembangunan. Contohnya, tidak mungkin kita meminta orang bersatu ketika perutnya lapar. Bagaimana orang diminta rukun ketika anaknya tidak bisa berangkat sekolah, dan seterusnya.
Artinya, PPP harus kembali kepada ayat-ayat kauniyah, yakni ayat-ayat yang tersebar di kehidupan masyarakat sehari-hari. Yang dilupakan PPP itu ialah kehidupan yang dihadapi masyarakat. Padahal dulu itu keunggulan PPP pada zaman sebelum Reformasi. Di mana PPP ada di tengah-tengah rakyat.
Lalu, belakangan itu bergeser karena banyak berbicara mengenai keislaman yang sifatnya internal, atau Islam yang eksklusif. Sekarang harus menjadi Islam yang rahmatan lilalamin, Islam yang membawa keberkahan, kemaslahatan kepada umat yang membawa persatuan. Persatuan sebagai bangsa atau ukhuwah wathaniyah, persatuan sebagai anak manusia atau ukhuwah basyariyah, dan persatuan sebagai umat beragama, ukhuwah diniyah. Jadi, PPP harus menukik ke bawah, ke dalam persoalan yang dihadapi masyarakat.
Apa orientasi Anda di internal PPP, baik dari sisi ideologi ataupun organisasi kepartaian?
Saya sebenarnya ingin mengingatkan apa yang sudah ada di prinsip dasar perjuangan partai. Ada enam, yaitu prinsip ibadah; prinsip istiqomah; prinsip kebenaran, kejujuran dan keadilan; prinsip musyawarah; prinsip persamaan, kebersamaan, dan persatuan; serta prinsip amar maruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah kejahatan). Kami adalah partai berasaskan Islam, dan hal itu kami tafsirkan dalam konteks Islam sebagai rahmatan lilalamin (rahmat bagi semesta), yang akan kita turunkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita cintai ini tanpa harus mengganggu orang lain.
Kalau kita mengganggu orang lain, maka kita tidak menjadi representasi dari rahamatan lilalamin. Kalau mau menjadi rahmatan lilalamin itu berarti untuk semua, bahkan untuk hewan, tumbuh-tumbuhan, apalagi untuk orang yang berbeda agama. Karena Islam mengajarkan semua orang itu sama derajatnya, dan hanya dibedakan dari ketaatannya kepada Tuhan. Kalau kita merujuk pada kehidupan Nabi, semua itu dalam konteks masyarakat yang majemuk.
Lahirnya Piagam Madinah oleh Nabi Muhammad SAW itu lebih baik daripada Magna Charta. Piagam itu memberi panduan toleransi bagaimana kita bersikap kepada orang Yahudi, Nasrani, dan semuanya dihargai dengan baik dan adil. Jadi, jangan Anda memusuhi orang karena agamanya. Kita harus berlomba-lomba menunjukkan kebaikan, dan itulah yang menurut saya penting. Kebaikan-kebaikan kolektif yang dilakukan oleh semua masyarakat, dan khittah PPP seperti itu.
Bagaimana upaya menyikapi potensi besarnya fragmentasi politik Islam di Indonesia?
Jadi, memang di PPP itu ada yang Islamnya paling kiri sampai yang paling kanan, dan di situ pentingnya kepemimpinan untuk membuat keputusan berdasarkan enam prinsip dasar perjuangan.
Bagaimana unsur-unsur dalam fusi partai dirawat, yakni NU, PSII, Parmusi, dan Perti?
Kalau dipilih kosakata fusi, itu adalah peristiwa kimia, bukan peristiwa fisika. Kalau fisika itu peristiwa bolak-balik, artinya dia dapat kembali menjadi bentuk asalnya. Namun, kalau fusi, dia melebur, dan tidak dapat menjadi bentuk awalnya lagi, karena telah terjadi sublimasi di satu partai yang namanya PPP.
Persoalan memang muncul ketika Reformasi, sebab PPP adalah partai yang paling berat mengalami fragmentasi, karena beberapa kader pergi bergabung dengan partai baru, seperti PKB, PBB, PAN, dan sebagainya, sehingga seakan-akan PPP ditinggalkan. Kenapa ini terjadi? Menurut saya karena ini sesuatu yang natural.
Mungkin karena ruangnya terlalu sesak dan champion terlalu banyak di dalam, sehingga mereka ingin punya ruang yang lebih fleksibel, sehingga mereka keluar pagar dan membuat partai sendiri. Tetapi, bukan berarti ini menggembosi PPP, meskipun memang punya efek elektoral. Tetapi, prinsipnya sudah berbeda dengan PPP.