Suharso Pimpin PPP, Perkuat Konsolidasi Akar Rumput
Suharso Monoarfa terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan. Pengamat menilai, langkah pertama yang harus dilakukan ketua umum PPP baru adalah merangkul basis-basis tradisional PPP.
JAKARTA, KOMPAS — Muktamar Partai Persatuan Pembangunan IX di Makassar, Sulawesi Selatan, secara aklamasi memutuskan Suharso Monoarfa untuk menjadi Ketua Umum PPP 2020-2025. Suharso memiliki tugas berat membawa partai berlambang Kabah itu untuk lolos dalam ambang batas parlemen atau parliamentary threshold yang berpotensi naik pada Pemilu 2024.
Selain itu, untuk menaikkan elektabilitas PPP dalam Pemilu 2024, Suharso harus menguatkan konsolidasi internal dan akar rumput, terutama dari kalangan nahdlatul ulama (NU).
Dalam muktamar kali ini, dua nama calon ketua umum PPP sempat disebut oleh kalangan kader dan peserta muktamar, yakni Suharso dan Taj Yasin Maimoen. Yasin dianggap sebagai representasi akar rumput atau pendukung basis PPP di kalangan NU.
Akan tetapi, dalam pandangan umum Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PPP, Sabtu (19/12/2020), hanya satu DPW yang menyebut Taj Yasin, yakni DPW Jawa Tengah. DPW Jateng menyebut dua nama yang dapat menjadi ketua umum PPP, yakni Suharso dan Taj Yasin. Keseluruhan acara dalam penyelenggaraan muktamar hari kedua berlangsung tertutup, kecuali agenda pemilihan ketua umum PPP.
Baca juga: Muktamar Jadi Momentum Kebangkitan PPP
Suharso ditetapkan secara aklamasi sebagai Ketua Umum PPP karena hanya ada satu calon yang mendaftarkan diri kepada pimpinan sidang. Sidang dipimpin oleh Ketua Organizing Committee (OC) Muktamar IX PPP Amir Uskara. Sesuai tata tertib (tatib) pemilihan Ketua Umum PPP yang disepakati di dalam muktamar, calon ketua umum wajib menyerahkan surat kesediaan menjadi calon ketua umum kepada pimpinan sidang. Jika hanya ada satu calon, pemilihan itu dilakukan secara aklamasi.
Hingga pukul 21.35 Wita, hanya ada satu nama calon ketua umum yang menyerahkan syarat tersebut, yakni Suharso. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati, Suharso ditetapkan sebagai Ketua Umum PPP terpilih 2021-2026. Sempat ada pula interupsi dari sejumlah DPW yang mengingatkan kembali kepada pimpinan sidang untuk mengikuti tatib yang telah diputuskan. Selain itu, perwakilan DPW Jateng sebelumnya beberapa kali menyampaikan interupsi yang mendorong pemilihan ketua umum dilakukan dengan membuka ruang demokrasi.
”Berdasarkan data yang ada sampai saat ini di meja pimpinan sidang, hanya ada satu calon. Saya akan tanyakan kepada semua zona. Apakah ini disetujui sebagai ketua umum dan ketua formatur? Setuju? Setuju?” tanya Amir kepada seluruh muktamirin.
Pertanyaan itu disambut seruan ”setuju” dari muktamirin. Pimpinan sidang pun mengetok keputusan tersebut.
Baca juga: Tantangan PPP Merawat Basis Massa
Suharso mengatakan, PPP bukan partai masa lalu dan ia bertekad membawa kenaikan elektoral bagi PPP dua kali lipat daripada hasil Pemilu 2019. Pada tahun 2019, PPP hanya meraih 6 juta suara. Suharso menargetkan suara itu naik mencapai 11 juta suara, sebagaimana raihan partai pada Pemilu 1999.
”PPP bukan partai yang lekang oleh zaman, kita justru memanfaatkan perkembangan zaman itu,” katanya.
Suharso meyakini PPP dapat lolos dari ambang batas parlemen. Ia mengatakan, dirinya adalah dirijen dari sebuah orkestrasi organisasi. Merdu dan sumbangnya suatu orkestrasi sangat bergantung pada gerak langkah organisasi dan kedisiplinan bersama.
”Kita akan fokus pada kerja-kerja elektoral,” ujarnya.
Setelah ditetapkan sebagai Ketua Umum PPP, Suharso langsung menetapkan formatur pengurus PPP yang baru yang terdiri atas 13 orang. Rinciannya, 1 ketua umum, 4 perwakilan DPP, dan 8 perwakilan DPW. Dari DPP, Suharso memilih Sekretaris Jenderal PPP demisioner Arsul Sani, Ketua Steering Committee (SC) Muktamar IX PPP Ermalena, Ketua OC Amir Uskara, serta anggota Dewan Pertimbangan Presiden Mardiono. Para formatur itu akan menyusun kepengurusan PPP yang baru.
Sebagian besar DPW juga menyampaikan apresiasi kepada Suharso yang telah membawa PPP lolos dari lubang jarum pada Pemilu 2019.
Sementara itu, sejumlah DPW telah menunjukkan dukungannya sejak penyampaian pandangan umum mereka atas laporan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa dan Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani. Wakil Sekjen PPP Achmad Baidowi mengatakan, secara umum, semua DPW dapat menerima laporan pertanggungjawaban tersebut. Sebagian besar juga menyampaikan apresiasi kepada Suharso yang telah membawa PPP lolos dari lubang jarum pada Pemilu 2019. Oleh karena itu, sebagian besar DPW merekomendasikan Suharso terpilih secara aklamasi.
”Kami mengaklamasikan Bapak Suharso Monoarfa menjadi Ketua Umum DPP PPP 2020-2025,” kata Ketua DPW PPP Nusa Tenggara Timur (NTT) Djamaludin Lonek.
Hal yang sama disampaikan Wakil Ketua DPW PPP Jawa Timur Abdul Rasyid. Rasyid menyebut kepengurusan yang akan datang harus mengantisipasi potensi kenaikan ambang batas suara untuk diikutkan dalam penghitungan kursi parlemen (parliamentary threshold) menjadi lima persen untuk Pemilu 2024.
”Secara umum, setelah kami mendengar dan mencermati laporan DPP PPP masa khidmat 2016-2020, dengan mengucap alhamdulillah kami menerima pertanggungjawaban tersebut. Dan, dengan mengucap bismisllah mengusulkan dan memilih dan menetapkan Suharso Monoarfa secara aklamasi untuk menjadi Ketua Umum PPP,” ucapnya.
Representasi NU
Terpilihnya Suharso melalui mekanisme aklamasi, menurut kader senior PPP, Ahmad Muqowam, menunjukkan praktik ”bumi hangus” terhadap munculnya Taj Yasin sebab seolah Yasin tidak diberi ruang di dalam muktamar. ”Ini artinya hegemoni di dalam PPP sudah pragmatis sekali, dan ini tidak baik bagi masa depan partai,” katanya.
Sebagai kader NU, Taj Yasin adalah sosok muda yang tidak memiliki jaringan kepentingan terhadap kekuasaan. Taj Yasin juga dinilai tidak memiliki rekam jejak yang buruk. Kenyataan Taj Yasin adalah putra ulama karismatik NU, KH Maimoen Zubair, memperkokoh kekuatan sosok Taj Yasin. Kehadirannya menjadi oase bagi kalangan NU yang berada di PPP.
”Sosok Gus Yasin ini tidak berada di dalam ruang besar yang memiliki kuasa suara di muktamar. Tetapi, di dalam ruang publik apalagi di dalam PPP, Gus Yasin ini menawan,” kata Muqowam.
Akan tetapi, bagaimanapun nasib PPP pada masa depan ditentukan oleh 1.254 pemilik suara di dalam muktamar. Apa yang telah diputuskan oleh muktamirin, jika itu baik, hasilnya akan baik bagi PPP, tahun 2024. Sebaliknya, jika ternyata itu tidak tepat, muktamirin juga yang bertanggung jawab atas hal itu.
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, mengatakan, pemilihan ketua umum PPP dalam muktamar kali ini menarik karena merepresentasikan dua pihak. Di satu pihak, ada representasi elite partai yang didukung atau dekat dengan kekuasaan, dan pihak lainnya ialah elite akar rumput yang merupakan basis pendukung PPP.
”Hasil muktamar ini menunjukkan pilihan PPP, apakah memertahankan khittah PPP yang berbasis akar rumput atau meninggalkan khittah dan lebih berorientasi dengan mendekatkan diri pada kekuasaan,” katanya.
Ada dua faktor yang, menurut Syarif, memengaruhi hasil muktamar, yakni faktor politik transaksional dan faktor kekuasaan.
Ada dua faktor yang, menurut Syarif, memengaruhi hasil muktamar, yakni faktor politik transaksional dan faktor kekuasaan. Selanjutnya, dengan terpilihnya Suharso, kini ketua umum PPP yang baru itu harus melakukan konsoslidasi ke dalam dan merangkul basis-basis tradisional PPP, khususnya basis dari akar rumput di kalangan NU.
”Itu yang pertama kali harus dilakukan oleh ketua baru, yakni membangun kompromi dalam distribusi kekuasaan. Kalau Ketua Umum Suharso Monoarfa, di bawahnya sebaiknya merepresentasikan perwakilan dari akar rumput, yaitu kalangan NU serta unsur lain, yang merepresenstasikan basis tradisional PPP,” ujar Syarif.