Polisi Ungkap Sumber Dana Kelompok Teroris Jamaah Islamiyah
Polisi mengungkap sumber dana kelompok teroris Jamaah Islamiyah. mulai dari kotak amal, yayasan, hingga sumbangan anggota. Aparat perlu mewaspadai kelompok ini sebab mereka sedang menunggu waktu yang tepat untuk beraksi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaringan teroris Jamaah Islamiyah yang diungkap Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri baru-baru ini disebutkan memiliki struktur organisasi yang lengkap. Kelompok ini juga mendapat sokongan dana dari berbagai sumber. Aparat perlu mewaspadai hal ini karena kelompok itu dinilai sedang hibernasi dan menunggu waktu yang tepat untuk beraksi.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono, dalam konferensi pers, Jumat (18/12/2020), mengatakan, dua buronan tindak pidana terorisme, yakni Zulkarnaen dan Upik Lawanga, dapat ditangkap setelah Densus 88 Antiteror Polri mengungkap jaringan Jamaah Islamiyah (JI) di beberapa daerah di Indonesia.
”Awalnya, 21 orang teroris ditangkap di delapan lokasi di Sumatera. Dari 21 itu, akhirnya kita bisa menemukan DPO (daftar pencarian orang), yaitu tersangka atas nama Upik Lawanga dan Zulkarnaen,” kata Argo.
Kedelapan lokasi itu berada di di Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Tengah, Bandar Lampung, Pringsewu, dan Metro. Selain itu, di Jambi, Riau, dan Palembang. Penangkapan pada periode November sampai Desember 2020.
Dari 21 tersangka yang ditangkap, mereka rata-rata memiliki senjata rakitan. Senjata itu diperoleh dari tersangka Upik Lawanga yang dijuluki ”profesor” oleh kelompok tersebut. Julukan itu disematkan kepada Upik karena dia ahli membuat bom dan senjata rakitan, baik manual maupun otomatis.
Dari pemeriksaan oleh polisi, Upik Lawanga telah diperintahkan untuk membuat senjata rakitan sejak Agustus 2020. Namun, kapan akan digunakan dan di mana lokasi senjata digunakan belum diketahui. Di rumahnya, Upik Lawanga juga membuat bungker.
Adapun Zulkarnaen yang ditangkap pada 10 Desember lalu di Lampung Timur, menurut Argo, berstatus sebagai panglima dari JI jika merujuk struktur JI tahun 1998. Ia disebut memiliki keahlian sebagai ahli membuat bom sekaligus merancang pengeboman. Selama ini ia disembunyikan oleh jaringan JI dengan berpindah-pindah tempat persembunyian sampai setidaknya di 25 lokasi yang tersebar di Jawa, Sulawesi, dan Sumatera.
”Dalam pelariannya, dia dibantu oleh sel-sel jaringan mereka di setiap kota. Yang bersangkutan juga dibiayai oleh sel jaringan tersebut,” ujar Argo.
Kelompok JI pun disebut memiliki organisasi dengan struktur yang lengkap, seperti bidang pendidikan, sumber daya manusia, dan bidang ekonomi.
Dukungan dana
Untuk pendanaan, lanjut Argo, kelompok JI mendapatkan dana dari kotak amal yang dipasang di beberapa lokasi yang mudah dijangkau orang. Kotak amal tersebut terdaftar resmi. Selain itu, kelompok ini mendapat sokongan dana dari sejumlah yayasan. Yayasan yang memberikan dukungan dana itu saat ini tengah sedang ditelusuri Densus 88 Antiteror.
Sumber pendanaan ketiga adalah dari anggota JI yang memiliki profesi beragam. Masing-masing menyumbang sebesar 5 persen dari penghasilan mereka. Dari keterangan beberapa tersangka, saat ini terdapat 6.000-an jaringan JI yang masih aktif.
Pada Kamis (17/12) kemarin, Densus 88 Antiteror memindahkan 23 tersangka teroris dari Lampung ke Jakarta. Pemindahan itu dalam rangka memudahkan pemeriksaan. Setelah itu, mereka juga akan ditahan di lembaga pemasyarakatan (lapas).
Proses hibernasi
Secara terpisah, pengamat terorisme Al Chaidar mengatakan, kelompok JI sebenarnya sudah tidak aktif sejak 2012. Banyak anggota dan pimpinannya yang beralih ke organisasi lain. Mereka pun tak lagi terhubung dengan kelompok Al Qaeda di Afghanistan.
Meski demikian, masih ada dana di organisasi yang kemudian digunakan untuk melakukan investasi, seperti di perkebunan dan pariwisata. Dana itu kemudian diputar lagi untuk membuat yayasan-yayasan yang bertugas mengumpulkan dana dari publik (crowdfunding).
Menurut Al Chaidar, kelompok JI ini sebenarnya dalam kondisi hibernasi. Mereka akan bangkit ketika terjadi situasi, yang menurut mereka, tepat untuk menunjukkan diri.
”Situasi di mana ada gejolak, kekerasan, konflik, kerusuhan, seperti di Maluku tahun 1999 sampai tahun 2000-an, nah itu saat yang tepat bagi mereka untuk keluar. Harus ada kolamnya berupa kondisi konflik. Jadi, mereka ini sebenarnya hibernasi, menunggu,” kata Al Chaidar.