Partisipasi di Pilkada 2020 cukup tinggi. Namun, masih ada persoalan terkait substansi yang menjadi pekerjaan rumah dalam pilkada kali ini.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat partisipasi pada Pemilihan Kepala Daerah 2020 yang diselenggarakan di masa pandemi Covid-19 relatif tinggi. Namun, masih ada sejumlah persoalan yang muncul yang dapat mengurangi substansi dari kontestasi pemilihan kepala daerah.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman saat webinar bertajuk ”Evaluasi Pilkada dan Catatan Perbaikan”, Kamis (17/12/2020), mengatakan, data partisipasi masyarakat dalam Pilkada 2020 sementara hingga 16 Desember menunjukkan partisipasi mencapai 76,13 persen. Meskipun belum mencapai target nasional 77,5 persen, capaian tersebut naik 7,31 persen dibandingkan Pilkada 2015 yang mencatatkan partisipasi 68,82 persen.
Partisipasi pemilih tertinggi berada di Pegunungan Arfak, Papua Barat, yang mencapai 99,25 persen. Sementara itu, kenaikan partisipasi pemilih terbesar dibandingkan Pilkada 2015 adalah Kota Tertante, Maluku Utara, yang meningkat hingga 27,25 persen. ”Data masih akan berubah hingga ada penetapan,” katanya.
Data sementara KPU itu relatif sama dengan hasil survei yang dilakukan Saiful Mujani Research & Consulting. Manajer Program SMRC Saidiman Ahmad saat ”Evaluasi Publik Nasional terhadap Pelaksanaan Pilkada Serentak 9 Desember 2020” mengatakan, sekitar 76 persen warga yang tinggal di daerah pilkada ikut memilih. Dari 24 persen warga yang tidak ikut memilih, sebanyak 11 persen di antaranya beralasan sedang di luar kota dan 6 persen takut tertular Covid-19.
Tingkat partisipasi, lanjut ia, berhubungan dengan kekhawatiran terhadap Covid-19. Semakin khawatir warga tertular Covid-19, semakin rendah partisipasinya. ”Tingginya tingkat partisipasi cenderung dari warga yang kurang khawatir dengan Covid-19 dan warga tersebut cenderung dari perdesaan dan kurang berpendidikan,” kata Saidiman.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengatakan, meskipun partisipasi cukup tinggi, masih ada persoalan terkait substansi yang menjadi pekerjaan rumah dalam pilkada kali ini. Perhatian publik banyak bertumpu pada masalah protokol kesehatan sehingga isu strategis dalam kontestasi pilkada terpinggirkan.
Soal gagasan dan program kepala daerah, misalnya, belum menjadi narasi utama dalam kampanye. Padahal, gagasan dan program sangat menentukan nasib daerah selama lima tahun mendatang. ”Persoalan lain yang bisa mengurangi substansi pilkada adalah maraknya praktik politik uang, calon tunggal, dan politik dinasti,” katanya.
Data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menunjukkan ada 147 laporan dan 64 temuan terkait praktik politik uang. Dari kasus tersebut, sebanyak 27 kasus diteruskan ke penyidik, 78 kasus masih di pengawas pemilu, dan 106 kasus dihentikan di pengawas pemilu.
Di sisi lain, calon tunggal terus tumbuh subur dalam setiap pilkada. Pada Pilkada 2020 terdapat 25 calon tunggal dan semuanya menang melawan kotak kosong. Jumlah calon tunggal bahkan terus bertambah dari pilkada-pilkada sebelumnya.
Berdasarkan catatan Kompas, sejak paslon tunggal pertama kali muncul di Pilkada Serentak 2015, jumlahnya terus meningkat di pilkada berikutnya. Pada Pilkada 2015, hanya ada 3 daerah yang menggelar pilkada dengan pasangan calon (paslon) tunggal, lalu naik menjadi 9 daerah di Pilkada 2017 dan 16 daerah pada Pilkada 2018. Dari 16 daerah itu, hanya di Pilkada Makassar tahun 2018 paslon tunggal kalah dari kotak kosong sehingga pilkada diulang pada 2020.
Soal substansial masih banyak pekerjaan rumah, soal gagasan dan program yang masih terpinggirkan dan belum menjadi narasi utama dalam kampanye. Masih terjadinya praktik politik uang, calon tunggal, politik kekerabatan menjadi pekerjaan rumah yang mensyaratkan perbaikan. Perbaikan dari sisi regulasi, lebih adaptif untuk pilkada di masa pandemi.
”Politik kekerabatan yang marak pada Pilkada 2020 membatasi akses dan inklusifitas pemilihan bagi kader-kader partai,” ujar Titi.
Selain permasalahan substansi, ia berharap agar UU tentang Pilkada bisa lebih adaptif pada kondisi pandemi. Sebab, kerangka hukum untuk pelaksanaan pilkada kali ini masih berjalan untuk situasi normal, termasuk soal metode pemberian suara yang hanya bisa dilakukan secara langsung di tempat pemungutan suara.
”Metode pemberian suara, seperti pemilihan lebih awal dan pemberian suara melalui kotak pos, perlu diatur untuk memudahkan pemilih menyalurkan suara di masa pandemi,” kata Titi.
Ketua Bawaslu Abhan menuturkan, Pilkada 2020 diwarnai dengan berbagai pelanggaran pemilu. Berdasarkan hasil pengawasan Bawaslu, ada ribuan pelanggaran di TPS, seperti tidak ada fasilitas cuci tangan, saksi mengenakan atribut paslon, surat suara kurang, surat suara tertukar, dan daftar pemilih tetap tidak dipasang. Selain itu, ada 1.262 pelanggaran administrasi, 230 pelanggaran kode etik, 131 pelanggaran pidana, dan 1.459 pelanggaran hukum lain tercatat selama pelaksanaan pilkada.
Pelanggaran terkait netralitas aparatur sipil negara masih mendominasi. Hingga 12 Desember, ada 1.056 temuan Bawaslu dan 167 laporan masyarakat. ”Kasus tertinggi adalah kepala desa dan camat yang memberikan dukungan berupa kebijakan atau tindakan yang menguntungkan salah satu paslon,” katanya.
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Muhammad mengatakan, pilkada memang tidak sempurna, tetapi proses pelaksanaan pilkada harus terus dikawal agar proses dan hasilnya memuaskan. ”Biasanya setelah tahapan penetapan oleh KPU, banyak laporan ke DKPP,” katanya.