Peneliti Politik: Jerat Calon Terlibat Politik Uang agar Muncul Efek Jera
Penanganan politik uang harus sampai ke pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah atau pemilik modal yang mendanai calon tersebut. Hal ini dinilai penting agar muncul efek jera sehingga menekan politik uang.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik politik uang terus ditemukan karena penindakan tidak pernah tuntas sampai kepada pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah atau pemilik modal yang mendanai calon tersebut. Untuk itu, penguatan regulasi dibutuhkan agar penindakan politik uang lebih progresif.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor saat dihubungi di Jakarta, Rabu (16/12/2020), mengatakan, desain aturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) masih mengarah ke permukaan persoalan politik uang. Seharusnya, setiap temuan dugaan politik uang di lapangan dilakukan asas pembuktian terbalik sehingga dalang (mastermind) bisa terungkap.
”Keluhannya selama ini, kan, politik uang enggak pernah ke bohir-nya, pasangan calonnya. Itu kendala klasik. Jadi, hanya mereka yang di lapangan yang kena. Stop di situ. Kalau ada pembuktian terbalik, dia harus bisa membuktikan bahwa dia tak terlibat,” ujar Firman.
Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menemukan ada 136 dugaan tindak pidana pemilu yang ditangani Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Kasus tertinggi adalah politik uang (104 kasus), diikuti pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (21 kasus) dan kampanye di luar jadwal (11 kasus).
Menurut Firman, ke depan, aturan pemilu harus lebih progresif dalam menuntaskan politik uang. Persoalan politik uang, lanjutnya, harus sampai mengarah kepada pasangan calon. Setelah itu, pemberian hukuman juga harus lebih keras, seperti penghilangan hak politik. Sejauh ini, jika pasangan calon terbukti melakukan tindak pidana politik uang, mereka bisa didiskualifikasi.
”Itu sadis. Tetapi, kalau tak ada efek jera, ya percuma, akan gini-gini terus. Mereka pun bisa bersembunyi terus,” ucap Firman.
Selain itu, Firman juga mengkritisi batas waktu pengusutan politik uang yang sangat terbatas. Perpanjangan batas waktu pengusutan ini harus dipertimbangkan dalam revisi UU Pemilu dan UU Pilkada yang tengah digodok DPR.
”Batas waktunya selalu muskil untuk suatu penyelesaian yang komprehensif. Tak heran, antisipasi dari pelaku juga semakin matang di lapangan,” katanya.
Pencegahan
Di samping itu semua, lanjut Firman, Bawaslu juga harus mengevaluasi kinerja pencegahannya di daerah. Dengan anggaran yang tinggi, seharusnya, upaya pencegahan politik uang bisa dilakukan lebih canggih dan lebih lincah.
Kajian atau pemetaan sumber-sumber politik uang dari pemilu ke pemilu bisa menjadi rujukan penguatan sistem pencegahan. ”Nah, itu harus dicarikan cara sehingga alur politik uang bisa dipangkas. Jadi, mulai dari deal-deal awal terkait pencalonan sampai ke tren terjadinya serangan fajar,” ujarnya.
Ketua Panitia Kerja Revisi Undang-Undang tentang Pemilu Arif Wibowo menyampaikan, ketentuan mengenai perpanjangan waktu pengusutan politik uang akan menjadi pertimbangan dalam perubahan UU Pemilu.
Namun, Arif meminta Bawaslu tidak terus menyalahkan aturan. Menurut dia, Bawaslu saat ini telah dilengkapi aparat yang cukup banyak, mulai dari tingkat tempat pemungutan suara, kecamatan, hingga kelurahan. Apalagi dengan menggandeng kelompok pemantau pemilu, pengusutan politik uang dipastikan bisa berjalan lebih optimal.
”Sejak lama kami sudah ingatkan soal kepedulian Bawaslu, sikap yang proaktif dan aktif dari Bawaslu untuk mencegah dan menindak money politics (politik uang), agar pasang itu mata dan telinga 24 jam. Tetapi, itu belum juga berjalan,” ujar Arif yang juga Wakil Ketua Komisi II DPR.
Oleh karena itu, dalam pembahasan revisi UU Pemilu, lanjut Arif, DPR akan terlebih dahulu mengevaluasi secara total efektivitas pelaksanaan fungsi Bawaslu. Sebab, ia menilai, kewenangan besar yang dimiliki Bawaslu tak berjalan efektif.
Arif berpandangan, sebenarnya, jika Bawaslu meyakini ada tindakan politik uang yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif di lapangan, seharusnya itu patut diduga melibatkan pasangan calon.
”Kemungkinan besar, uangnya, kan, dari paslon atau dari bandar. Tinggal Bawaslu proaktif atau tidak. Begitu saja sebenarnya. Kalau banyak yang ditangkap, paslon akan mikir untuk main. Yang diajak untuk bermain politik uang juga mikir,” tutur Arif.
Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo, mengatakan, UU Pilkada saat ini masih lemah untuk bisa mengusut tuntas sampai ke dalang tindak pidana politik.
”Kami memahami, politik uang ujungnya, kan, menguntungkan paslon. Tetapi, karena tak diatur dalam UU, proses penanganan lebih kepada siapa yang melakukan perbuatan atau yang dilaporkan,” ujarnya.
Menurut dia, hal itu sudah sering menjadi pembahasan di publik. Ia pun berharap, masalah itu dibahas serius dalam proses revisi UU Pemilu nanti.