Jaksa Cecar Saksi soal Pertemuan Nurhadi dengan Hakim Agung
Jaksa mencecar saksi soal pertemuan antara Nurhadi, bekas sekretaris MA yang didakwa menerima suap dan gratifikasi, dan sejumlah hakim agung. Namun, saksi menegaskan tak ada pembicaraan soal perkara di pertemuan itu.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumadi, staf ahli bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, dicecar jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi terkait pertemuan antara Nurhadi dan sejumlah hakim agung di luar kedinasan. Nurhadi diketahui menemui tiga hakim agung, yaitu Sunarto, Purwo Susilo, dan Abdul Manaf, pada 2017 di Apartemen District 8, Senopati, Jakarta.
”Setahu Saudara, apakah sering ada hakim agung bertemu dengan Nurhadi di luar kedinasan? Dalam kaitan dengan kesekretariatan, apakah Saudara pernah menyerahkan dokumen ke hakim-hakim agung?” tanya Takdir Suhan, jaksa pada KPK, Rabu (16/12/2020), dalam sidang lanjutan dugaan penerimaan suap dan gratifikasi oleh Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Takdir Suhan menanyakan pertemuan antara Nurhadi dan Sunarto yang saat itu menjabat Ketua Muda Bidang Pengawasan MA, Purwo Susilo selaku Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama MA, dan Abdul Manaf.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Saefudin Zuhri, jaksa menghadirkan Kepala Subbagian Kesekretariatan Mahkamah Agung (2007-2014) Jumadi. Jumadi juga merupakan staf ahli Nurhadi pada saat menjabat Sekretaris MA, kemudian mengundurkan diri pada Juli 2016. Nurhadi mengundurkan diri setelah namanya dikaitkan dengan korupsi bekas panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Takdir Suhan menanyakan pertemuan antara Nurhadi dan Sunarto yang saat itu menjabat Ketua Muda Bidang Pengawasan MA, Purwo Susilo selaku Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama MA, dan Abdul Manaf. Dalam pertemuan itu, Jumadi ikut hadir dan mengantar tamu tersebut sesuai dengan permintaan Nurhadi.
Menurut Jumadi, pertemuan tersebut membicarakan seputar isu perkembangan kantor, satuan kerja baru, hingga pemenuhan sumber daya manusia.
Saat ditanya mengenai serah terima dokumen, Jumadi mengatakan bahwa ia pernah diminta menyerahkan surat untuk Ketua Muda Bidang Pengawasan pada 2017. Surat tersebut bersifat resmi dan tertutup rapat di dalam amplop. Jumadi sendiri tidak mengetahui isi surat tersebut. Surat hanya disampaikan kepada kesekretariatan Bidang Pengawasan MA.
”Saya serahkan ke sekretariatnya, Pak. Jadi, di setiap pimpinan, kan, ada sekretariatnya,” kata Jumadi.
Selain bertemu di Apartemen District 8, Jumadi mengaku pernah melihat hakim agung bersilaturahmi di rumah Nurhadi di Patal Senayan saat acara buka puasa bersama. Jumadi juga pernah bertemu dengan hakim agung di rumah Nurhadi yang berada di daerah Megamendung, Bogor.
Namun, pertanyaan terkait pertemuan Nurhadi dengan hakim agung itu dipotong oleh penasihat hukum Nurhadi, Maqdir Ismail. Maqdir meminta kepada jaksa penuntut umum agar menanyakan kepada saksi sesuai dengan surat dakwaan, baik dari sisi tempus maupun locus delicti-nya. Menurut dia, saat ini saksi-saksi yang dihadirkan adalah para saksi untuk dakwaan perkara tahun 2014-2016.
”Kalau Saudara ingin menyelidiki perkara lain, silakan selidiki sendiri perkara lain. Bukan di tempat ini sekarang. Hakim-hakim agung ini tidak ada yang dijadikan saksi, jangan mereka dipermalukan dengan sesuatu yang tidak jelas kaitannya dengan perkara ini,” kata Maqdir.
Pertemuan itu dilakukan karena hakim agung ingin meminta nasihat Nurhadi terkait dengan pembentukan pengadilan baru dan pemenuhan sumber daya manusianya. Sebab, saat menjabat sekretaris MA, Nurhadi telah merencanakan program-program tersebut.
Kuasa hukum Nurhadi, M Rudjito, kemudian menanyakan tentang alasan pertemuan Nurhadi dengan ketiga hakim agung setelah kliennya mengundurkan diri sebagai sekretaris MA. Menurut Jumadi, pertemuan itu dilakukan karena hakim agung ingin meminta nasihat Nurhadi terkait dengan pembentukan pengadilan baru dan pemenuhan sumber daya manusianya. Sebab, saat menjabat sekretaris MA, Nurhadi telah merencanakan program-program tersebut.
”Sepanjang pembicaraan itu, saya tidak pernah mendengar ada pembicaraan yang menyinggung perkara,” kata Jumadi.
Dalam persidangan itu, Nurhadi juga memberikan tanggapan terhadap keterangan saksi. Nurhadi berpendapat, jangan sampai profesi hakim agung yang berwenang untuk menerima, mengadili, dan memutus perkara dijustifikasi sebagai pertemuan membahas perkara saat bertemu dengan dirinya. Sebab, hal itu dapat menjadi fitnah, yang menyangkut nama baik hakim agung.
”Pada saat datang ke apartemen saya di District 8, posisi Pak Narto (Sunarto) sudah sebagai Wakil Ketua MA non-yudisial. Beliau membawa dua hakim agung, Pak Purwo dan Pak Manaf, yang dulu memang bekerja sama dengan saya saat eselon I. Itu hanya silaturahmi dan meminta advice saya soal peradilan baru dan perencanaan anggaran,” kata Nurhadi.
Pada saat pertemuan itu, lanjut Nurhadi, juga ada pejabat eselon II MA yang diajak, yaitu Joko Upoyo. Menurut dia, pertemuan itu untuk membahas masalah kesekretariatan, anggaran, dan peradilan baru.
Terkait dengan dokumen, Nurhadi juga mengklaim bahwa dokumen yang diserahkan dalam pertemuan itu bukanlah dokumen perkara. Itu adalah dokumen tentang kebijakan perencanaan anggaran.
Namun, saksi Jumadi mengatakan bahwa dirinya lupa atau tidak mendengarkan mengenai substansi yang dibicarakan Nurhadi dan ketiga hakim agung.
Sebelumnya, Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono, didakwa menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 83 miliar saat Nurhadi masih menjabat sekretaris Mahkamah Agung. Suap dan gratifikasi itu, disebutkan, untuk membantu pengurusan perkara di pengadilan.
Dalam kurun waktu 2014 hingga 2016, Nurhadi dan Rezky menerima uang suap Rp 45,726 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto. Uang diduga diberikan untuk membantu pengurusan perkara antara PT MIT dan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terkait gugatan perjanjian sewa depo kontainer milik PT KBN.