Beri Kompensasi Korban Terorisme, Presiden Jokowi: Negara Hadir Memberi Dukungan
Presiden Joko Widodo menyerahkan kompensasi kepada 20 orang perwakilan korban atau keluarga korban terorisme masa lalu. Kompensasi itu merupakan bentuk kehadiran negara dalam memberi dukungan kepada korban terorisme.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban perlu mempercepat proses pengurusan kompensasi korban terorisme masa lalu. Waktu penyelesaian kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme masa lalu akan berakhir Juni 2021.
Terkait hal itu, Presiden Joko Widodo, Kamis (16/12/2020), menyerahkan kompensasi kepada 20 orang perwakilan korban atau keluarga korban terorisme masa lalu di Istana Negara, Jakarta. Secara keseluruhan, 215 korban dan keluarga korban tindak pidana terorisme masa lalu mendapatkan kompensasi ini. Akan tetapi, sebagian besar menghadiri acara ini secara daring.
Ke-215 korban dan keluarga korban tindak pidana terorisme masa lalu ini berasal dari 40 kejadian terorisme sejak 2002, termasuk peristiwa Bom Bali I. Secara keseluruhan, kompensasi yang diberikan sebesar Rp 39,205 miliar. Setiap korban meninggal mendapat kompensasi Rp 250 juta, sedangkan korban luka berat Rp 210 juta, korban luka sedang Rp 115 juta, dan korban luka ringan Rp 75 juta.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo meyakinkan, LPSK akan bekerja sekuat tenaga dalam melindungi ratusan korban tindak pidana terorisme masa lalu yang masih dalam proses inventarisasi. Namun, kerja ini dibatasi waktu. Sebab, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengatur penyelesaian kompensasi tindak pidana terorisme masa lalu dibatasi tiga tahun sejak aturan tersebut diundangkan. Ini berarti Juni 2021.
Kendati mengakui waktu sangat terbatas, Hasto mengatakan kolaborasi dengan Kepolisian RI, terutama Detasemen Khusus 88, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Kementerian Keuangan akan sangat membantu dalam menuntaskan pemberian kompensasi itu.
Negara hadir
Presiden Joko Widodo mengakui, nilai kompensasi yang diberikan negara tentu tidak sebanding dengan penderitaan para korban yang selama puluhan tahun mengalami penurunan kondisi ekonomi karena kehilangan pekerjaan atau tak mampu mencari nafkah lagi. Selain itu, korban umumnya mengalami trauma psikologis, derita luka fisik dan mental serta stigma karena kondisi fisiknya.
”Kehadiran negara di tengah-tengah para korban semoga mampu memberikan semangat, memberikan dukungan moril untuk melewati situasi yang sangat berat akibat dampak dari terorisme,” tutur Presiden Jokowi.
Hadir pula dalam penyerahan kompensasi kepada para korban terorisme masa lalu ini antara lain Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Kepala BNPT Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar.
Sebelumnya, LPSK telah menyerahkan kompensasi kepada korban tindak pidana terorisme yang pelaksanaannya merujuk putusan pengadilan. Korban ini berasal dari 16 tindak pidana terorisme, antara lain bom Gereja Oikumene Samarinda, bom Thamrin Jakarta, penyerangan Polda Sumut, bom Kampung Melayu, dan penyerangan Gereja St Lidwina Yogyakarta.
Selain itu, korban bom Surabaya, tindak pidana terorisme Cirebon dan Tol Kanci, penyerangan Polsek Wonokromo, terorisme Pandeglang, terorisme Poso, dan terorisme di Sibolga. Total nilai kompensasi untuk korban ke-16 tindak pidana terorisme ini Rp 8,2 miliar.
Bagi korban tindak pidana terorisme masa lalu, kompensasi bisa dilakukan setelah terbitnya PP No 35/2020 tentang Perubahan PP No 7/2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban pada Juli 2020.
Dalam PP tersebut ditegaskan korban tindak pidana terorisme masa lalu berhak memperoleh kompensasi. Kompensasi bisa diajukan oleh korban tindak pidana terorisme, keluarga, ahli waris, atau pihak yang mendapat kuasa kepada LPSK.
Hal ini, menurut Presiden Jokowi, adalah komitmen pemerintah untuk pemulihan korban terorisme masa lalu. Sebab, pemulihan terhadap korban kejahatan, termasuk korban pelanggaran HAM berat dan korban tindak pidana terorisme, merupakan tanggung jawab negara.
Sejak 2018, upaya pemulihan korban dilakukan melalui LPSK dalam bentuk pemberian kompensasi, bantuan medis, layanan psikologis, serta rehabilitasi psikososial.
Selain itu, LPSK juga memberi perlindungan bagi korban perdagangan manusia, perempuan dan anak korban kekerasan seksual, saksi kasus korupsi, serta korban pelanggaran HAM. Untuk korban pelanggaran HAM berat, menurut Hasto, kompensasi belum bisa diwujudkan karena aturan mewajibkan ada proses hukum di pengadilan.
”Oleh karena itu, kami berharap ada solusi terbaik agar keadilan bagi semua korban bisa terwujud, baik melalui proses hukum maupun proses nonyudisial,” tambah Hasto.
Sejak 2012, LPSK telah melayani 3.832 korban atau keluarga korban tindak pidana pelanggaran HAM berat masa lalu, yakni peristiwa Tanjung Priok, Talang Sari, Jambo Keupok, simpang KKA, Rumoh Geudong, peristiwa 65-66, dan penghilangan paksa 97-98. Bantuan berupa rehabilitasi medis, psikologis, dan psikososial dilakukan kendati diakui hal ini masih sangat minimal.
Untuk itu, Hasto meminta dukungan Presiden Jokowi supaya LPSK bisa memberikan layanan dan bekerja secara maksimal dalam melindungi dan membantu para korban kejahatan luar biasa tersebut.