Kekerasan Daring seperti Puncak Gunung Es
Kekerasan berbasis gender ”online” (KBGO) tidak mengenal batasan ruang dan waktu. Praktik ini meninggalkan jejak digital yang sulit hilang.
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan berbasis gender online atau KBGO meningkat seiring dengan masifnya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Pemberantasannya membutuhkan usaha ekstra dari semua pihak karena jejak digital yang sulit hilang.
Reni Kartikawati, pengajar di Departemen Kriminologi Universitas Indonesia, menuturkan, KBGO bisa dialami siapa saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin, dan golongan meski perempuan berada dalam posisi paling rentan. Kerentanan perempuan bertambah karena kurangnya daya dukung infrastruktur, pemahaman literasi digital, dan dampak penggunaan teknologi, seperti perlindungan platform kepada pengguna.
”KBGO menjadi kejahatan yang cukup sulit penanganannya karena sangat cepat proses penyebarannya melalui kanal media sosial dan lainnya. Tidak mengenal batas ruang dan waktu, artinya bisa dalam 24 jam nonstop tersebar serta dampak jejak digital untuk korban yang sering kali susah dihilangkan sehingga perlu penanganan khusus,” ucap Reni, Minggu (13/12/2020).
Bentuk kekerasan di ranah digital bisa berupa revenge porn (menyebarkan konten porno untuk merusak reputasi); cyber harassment (mengancam dan menakut-nakuti); cyber hacking (pembobolan data korban); impersonation (mengambil data pribadi korban); sexting (pengiriman pesan, gambar, video porno); dan cyber stalking (mengawasi, menguntit keseharian dengan kemudahan teknologi).
Baca juga: Layanan Terpadu bagi Pemulihan Korban Masih Terbatas
Dari berbagai bentuk itu, Reni yang juga peneliti Unit Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP Universitas Indonesia menyebutkan, modus dari pelaku bisa beragam, tetapi tujuannya untuk menyerang, mengintimidasi, menyakiti fisik, psikologis, mengontrol, menjatuhkan atau merusak reputasi dan nama baik korban.
”Dalam kebanyakan kasus yang terjadi dan terlaporkan, memang karena adanya hubungan atau relasi personal antara korban dan pelaku sebelumnya,” ujarnya.
Rata-rata korban, menurut dia, akan terjerat pada perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri atas KBGO yang terjadi. Bahkan, tidak jarang perasaan itu menimbulkan trauma psikologis yang mendalam sehingga timbul keinginan bunuh diri, menarik diri dari lingkungan sosialnya karena takut dihujat, takut mengalami stigma negatif dari keluarga, teman, dan lingkungan sosialnya, kehilangan penghasilan karena dikeluarkan dari lingkungan pekerjaan setelah dicap negatif, dianggap memalukan nama baik institusi maupun tidak lagi berani mengakses layanan elektronik karena hilangnya kepercayaan terhadap keamanan menggunakan teknologi digital.
Karena itu, kata Reni, perlu melihat dari sudut pandang korban (keberpihakan kepada korban) dengan tidak menghakimi, memberikan ruang aman kepada korban, mendampingi korban, hingga memberikan rujukan psikologis melalui lembaga-lembaga yang bergerak dalam isu perlindungan terhadap kasus kekerasan pada perempuan dan anak sebagai upaya pemulihan.
Baca juga: Mencegah KDRT Anak dari Pernikahan Usia Dini
”Jika korban sudah siap untuk melapor, korban perlu didampingi dan dikuatkan sehingga tidak terjadi intimidasi yang menyebabkan multiple victimization atau viktimisasi berganda yang dapat menyebabkan trauma sekunder dari proses pelaporan yang dilakukan. Jadi, kita perlu memahami fase-fase yang ada secara keseluruhan dan harus berperspektif pada perlindungan korban,” katanya.
Viktimisasi berganda sering terjadi ketika korban melaporkan kasusnya. Hal itu karena polisi belum sepenuhnya memiliki nilai dan keberpihakan terhadap korban. Menurut Reni, ada jarak perspektif antara korban dan polisi meski sudah ada unit perlindungan perempuan dan anak. Polisi dinilai belum cukup mampu untuk memiliki perspektif korban dan masih kurang memahami KBGO itu sendiri.
Penilaian itu berkaca dari pengalaman korban. Mereka enggan melapor karena laporannya ditolak, dianggap hubungan suka sama suka ketika melakukan hubungan seksual dan perekaman konten seksual, serta disalahkan karena memakai baju yang seksi.
Korban disalahkan atas apa yang terjadi dengan dirinya sehingga tidak jarang korban mengalami trauma sekunder. Padahal, dalam kaitannya dengan proses pelaporan, korban memerlukan waktu yang cukup lama untuk berani menceritakan dan melaporkan kasusnya.
Hambatan lain, lanjut Reni, ialah penanganan kasus yang lama, butuh proses pembuktian panjang karena terkait jejak-jejak digital yang sulit dilacak, dianggap kurang bukti, dan belum tentu polisi bisa menghentikan pelaku menyebarluaskan konten. Situasi itu membuat korban harus memiliki usaha ekstra untuk bisa menyelesaikan kasusnya.
”Beban psikologis (trauma) membuat korban patah harapan. Utamanya untuk para korban perempuan yang mengalami KBGO dari kalangan minoritas (miskin-kelas menengah ke bawah), hidup di daerah perdesaan yang sulit dengan akses bantuan pelayanan, perempuan dengan disabilitas, kurangnya informasi, dan lainnya,” ucapnya.
Kejahatan siber
Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri (Dittipidsiber) menangani dua kelompok kejahatan siber, yaitu computer crime dan computer-related crime. Computer crime menggunakan komputer sebagai alat utama. Bentuk kejahatannya, yakni peretasan sistem elektronik, intersepsi ilegal, pengubahan tampilan situs web, gangguan sistem, dan manipulasi data.
Sementara itu, computer-related crime menggunakan komputer sebagai alat bantu. Bentuk kejahatannya, yaitu pornografi dalam jaringan, perjudian dalam jaringan, pencemaran nama baik, pemerasan dalam jaringan, penipuan dalam jaringan, ujaran kebencian, pengancaman dalam jaringan, akses ilegal, dan pencurian data.
Di laman patrolisiber.id, tercatat ada 208 laporan terkait pornografi dari 2.259 laporan yang masuk sejak awal tahun hingga 13 Desember 2020. Adapun laporan lainnya ialah 649 penipuan daring, 1.048 penyebaran konten provokatif, 138 akses ilegal, 32 perjudian, 19 pemerasan, 39 pencurian data atau identitas, 18 peretasan sistem elektronik, 24 intersepsi ilegal, 9 pengubahan tampilan situs, 4 gangguan sistem, dan 71 manipulasi data. Dari jumlah itu sudah 527 laporan yang tuntas.
Sepanjang tahun 2019, kejahatan siber yang banyak terjadi ialah tindak pidana penipuan. Tercatat 1.617 laporan penipuan dari total 4.586 laporan masuk. Lainnya ialah 1.769 penyebaran konten provokatif, 364 pornografi, 248 akses ilegal, 35 perjudian, 132 pemerasan, 143 pencurian data atau identitas, 148 peretasan sistem elektronik, 3 intersepsi ilegal, 4 pengubahan tampilan situs, 9 gangguan sistem, dan 114 manipulasi data.
Data di atas berdasarkan jumlah laporan polisi yang masuk di seluruh kepolisian daerah. Secara keseluruhan, ada 11.391 aduan warga lewat patrolisiber.id dengan kerugian Rp 1,12 triliun. Penipuan atau fraud paling dominan dengan 6.699 aduan. Disusul, antara lain, 1.394 aduan penghinaan atau pencemaran, 827 pengancaman, 644 pemerasan, 299 pornografi, 234 hoaks atau berita bohong, dan 710 lainnya. Media sosial, seperti Whatsapp, Instagram, dan Facebook, menjadi sumber kejahatan terbanyak.
Kejahatan siber, menurut Dittipidsiber, telah tersebar di seluruh Indonesia. Sebagian Pulau Jawa masuk dalam zona merah karena laporan masuk lebih dari 1.000. Misalnya, Jawa Barat (2.341), Jakarta Raya (1.957), Jawa Timur (1.178), dan Banten (1.207).
Jumlah pelapor laki-laki sebanyak 5.690 dan perempuan 4.056. Pelapor terbanyak berada dalam rentang usia 21-25 tahun (3.038). Lalu, 26-30 tahun (2.849), 31-35 tahun (1.738), 17-20 tahun (1.359), 36-40 tahun (1.213), dan 41 tahun ke atas kurang dari 700.
Sebagian besar pelapor berpenghasilan kurang dari Rp 1.000.000 (3.146). Kemudian penghasilan Rp 1.000.000-Rp 3.000.000 (2.864), lebih dari Rp 10.000.000 (2.796), Rp 3.000.000-Rp 5.000.000 (1.785), dan Rp 5.000.000-Rp 10.000.000 (797).
Karyawan BUMN menjadi pelapor terbanyak dengan 4.456 orang. Selanjutnya pedagang (1.999), TNI dan Polri (1.181), tukang (967), profesional (776), ibu rumah tangga (589), karyawan swasta (454), pensiunan (310), wiraswasta (285), dan lainnya. Adapun tingkat pendidikan SMK/D-1 paling banyak melapor dengan 4.978 aduan. Pelapor lainnya (2.928), D-3 (1.337), SMP (1.060), S-1/D-4 (540), SMA (226), dan lain-lain.
Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam Cyber Police Festival menyambut Hari Ulang Tahun Ke-74 Korps Bhayangkara menyebutkan, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat telah membentuk masyarakat baru atau information society. Information society itu memiliki berbagai risiko dan kerentanan yang memungkinkan terjadinya kejahatan siber sehingga polisi perlu beradaptasi.
Apalagi tingkat kejahatan di media sosial naik signifikan dalam lima tahun terakhir. Jumlah kejahatan siber meningkat 75,73 persen dari tahun 2015 hingga 2019. Pada 2015 tercatat 2.609 kasus. Jumlah itu melonjak menjadi 4.585 kasus pada 2019.
Dalam kurun waktu itu, polisi menyelesaikan 624 kasus pada 2015 dan 2.282 kasus pada 2019. ”Kami terus mengakselerasi diri terhadap dunia siber meski kejahatan berkembang lebih pesat,” ucap Listyo.