Tanpa Prolegnas, DPR Tutup Masa Sidang Kedua 2020-2021
DPR belum menetapkan RUU Prioritas Prolegnas 2021 dan menunda penetapannya pada awal 2021. Hal tersebut dikhawatirkan akan mengakibatkan kurang optimalnya kinerja legislasi di tahun depan.

Anggota Badan Legislasi DPR saat rapat Panitia Kerja Badan Legislasi DPR melanjutkan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Cipta Kerja di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/8/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat menggelar rapat paripurna penutupan masa sidang kedua 2020-2021 dengan tanpa adanya daftar Program Legislasi Nasional 2021. Penetapan Prolegnas itu disetujui untuk dibahas pada masa sidang berikutnya. Hal ini di luar kebiasaan sebab lazimnya pembahasan dan penentuan prolegnas prioritas pada tahun berikutnya tuntas pada Oktober di tahun sebelumnya.
Ketua DPR Puan Maharani dalam pidato yang dibacakannya di dalam rapat paripurna penutupan masa sidang, Jumat (11/12/2020) di Jakarta, mengatakan, Prolegnas Prioritas 2021 saat ini sedang dibahas dan akan ditetapkan pada masa sidang yang akan datang.
”Saat ini, DPR sedang membahas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas Tahun 2021 dan akan ditetapkan pada masa sidang yang akan datang. Proses penyusunan daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2021 yang dilakukan DPR dan pemerintah bersama dengan DPD saat ini akan menjadi pedoman yang menentukan target legislasi DPR pada tahun 2021,” kata Puan.
Baca juga: Susun Prolegnas, Buka Ruang Partisipasi Publik
Puan meminta penyusunan daftar Prolegnas Prioritas 2021 itu mempertimbangkan kemampuan kinerja pembahasan RUU dalam situasi Covid-19, serta prioritas kebutuhan hukum nasional. Harapannya, produk legislasi yang dihasilkan akan efektif untuk melaksanakan kebijakan negara yang sangat dibutuhkan saat ini. Pada 2020, DPR bersama dengan pemerintah telah menetapkan 13 RUU menjadi UU.

Peneliti Forum Masyarakat Pemerhati Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, belum ditetapkannya Prolegnas Prioritas tahun depan berpotensi mengganggu pembahasan legislasi tahun yang akan berjalan. Sebab, praktis penetapan Prolegnas Prioritas itu baru dilakukan saat DPR telah membuka masa sidang, 11 Januari 2021.
”Ini menjadi preseden buruk dalam DPR periode ini, ya, karena ini untuk kedua kalinya Prolegnas Prioritas tahunan baru ditetapkan pada tahun yang berjalan. Untuk Prolegnas Prioritas 2020, misalnya, baru ditetapkan pada Februari 2020 sehingga di saat seharusnya DPR sudah bekerja membahas RUU, tetapi daftar Prolegnas Prioritas baru ditetapkan,” tuturnya.
Keterlambatan dalam menetapkan Prolegnas Prioritas tahunan ini akan menimbulkan dampak ikutan berupa keterlambatan pembahasan. Ujung-ujungnya, kinerja DPR dalam pembahasan RUU tidak optimal.
Keterlambatan dalam menetapkan Prolegnas Prioritas tahunan ini akan menimbulkan dampak ikutan berupa keterlambatan pembahasan. Ujung-ujungnya, kinerja DPR dalam pembahasan RUU tidak optimal dan tidak seperti yang diharapkan dalam daftar Prolegnas. Terlebih lagi, situasi pandemi belum dapat dipastikan kapan dapat dikendalikan. Pembahasan legislasi di tengah pandemi membutuhkan upaya lebih dari anggota DPR karena ada batasan-batasan yang berkaitan dengan protokol kesehatan di masa pandemi.
Lucius mengatakan, keterlambatan penetapan Prolegnas Prioritas 2021 itu antara lain disebabkan oleh kengototan dan desakan beberapa fraksi atas sejumlah RUU yang ditolak oleh fraksi-fraksi lain. Hal ini di satu sisi mengabaikan pertimbangan urgensi kebutuhan hukum bangsa.
Baca juga: Penataan Prolegnas Belum Berdasarkan Visi

Peneliti Formappi, Lucius Karus
”Celakanya, pertimbangan urgensi bangsa tampaknya selalu dikalahkan oleh kepentingan sempit parpol atau pemerintah. Ini yang persis menjadi hambatan untuk secepatnya mengesahkan daftar RUU prioritas,” katanya.
Dalam pembahasan terakhir, 23 November 2020, dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, Panitia Kerja Prolegnas 2021 bahkan telah mendengarkan pendapat fraksi-fraksi mengenai sejumlah RUU yang diusulkan masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021. Dari 37 RUU yang masuk dalam daftar, ada 3 RUU yang masih belum putus dalam rapat terakhir dengan menteri, yakni RUU Ketahanan Keluarga, RUU Bank Indonesia, dan RUU Haluan Ideologi Pancasila.
Lobi-lobi pun dibuka dan rapat penetapan sampai ditunda tiga kali. Namun, hingga masa sidang kedua ditutup, belum ada keputusan tentang nasib daftar RUU Prolegnas Prioritas 2021. Selain tiga RUU itu, penolakan dan perbedaan pendapat juga terjadi di antara fraksi terkait dengan sejumlah RUU lain, seperti RUU Larangan Minuman Beralkohol yang diusung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ada pula RUU Perlindungan Ulama yang menuai keberatan dari sejumlah fraksi, termasuk Partai Golkar yang dalam rapat secara eksplisit meminta agar RUU itu dipertimbangkan kembali, perlu ataukah tidak masuk ke dalam Prolegnas Prioritas.
Beberapa RUU kontroversial sebaiknya tidak dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas.
Lucius mengatakan, beberapa RUU kontroversial sebaiknya tidak dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas. Alasannya, RUU-RUU yang kontroversial itu disinyalir lebih mewakili kepentingan parpol atau segelintir elite dan bukan kebutuhan hukum bangsa.
”Persetujuan Prolegnas Prioritas tampaknya dihambat oleh kengototan mempertahankan nafsu untuk terus membahas RUU-RUU kontroversial, seperti RUU HIP, RUU Larangan Minuman Beralkohol, dan RUU Ketahanan Keluarga. RUU-RUU ini tidak bisa dijelaskan penuh kebutuhannya untuk dibahas segera,” katanya.

Nasib RUU HIP
Sebelumnya, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hendrawan Supratikno, mengatakan, penetapan Prolegnas Prioritas memang diputuskan untuk dilakukan pada masa sidang berikutnya. Salah satu yang masih perlu dibicarakan antara pimpinan DPR dan pemerintah ialah mengenai RUU HIP.
”RUU HIP itu, kan, tadinya inisiatif DPR. Sekarang diusulkan jadi insiatif pemerintah, yakni menjadi RUU BPIP sebagaimana konsep pemerintah ketika mengirimkan surpres kepada DPR,” kata Hendrawan.
Substansi dari RUU BPIP itu pun berubah total dari RUU HIP. Substansi RUU BPIP itu pun fokus pada penguatan BPIP secara kelembagaan.
Hendrawan mengatakan, dalam konsep RUU BPIP tersebut, pemerintah terlihat sudah siap sekali. Substansi dari RUU BPIP itu pun berubah total dari RUU HIP. Substansi RUU BPIP itu pun fokus pada penguatan BPIP secara kelembagaan. Tidak ada lagi pembahasan mengenai ideologi Pancasila. Fraksi PDI-P merupakan fraksi yang mendukung perubahan konsep RUU ini.
”Pancasila sebagai ideologi sudah final. Pancasila yang dimaksudkan itu ialah yang dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945. Jadi, tidak ada lagi itu pembahasan soal Pancasila dan tidak ada perubahan Pancasila. Kita semua sepakat dengan Pancasila yang dirumuskan 18 Agustus 1945,” katanya.
Baca juga: Pemerintah Usulkan Konsep RUU BPIP sebagai Pengganti RUU HIP

Bayangan suasana demonstrasi mahasiswa dari berbagai kesatuan di Kota Bogor saat menggelar aksi di depan Istana Bogor, Kota Bogor, menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), Selasa (7/7/2020). Menurut mereka, RUU HIP justru membelenggu kebebasan berpendapat setiap individu bagi rakyat Indonesia.
RUU BPIP yang didorong menjadi inisiatif pemerintah itu merupakan payung hukum bagi BPIP. Selama ini, BPIP memang dipayungi oleh peraturan presiden. Namun, untuk menguatkan kelembagaan BPIP, menurut Hendrawan, diperlukan satu payung hukum yang lebih kokoh, yakni dalam bentuk UU.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi PPP Achmad Baidowi membantah anggapan keterlambatan penetapan Prolegnas Prioritas 2021 dikarenakan alotnya pembahasan RUU HIP. Namun, itu lebih karena pertimbangan waktu saja. ”Pimpinan DPR masih menginginkan ada rapat konsultasi dengan pemerintah untuk memastikan mana saja RUU yang mau dibahas sehingga RUU itu tidak sekadar tercantum sebagai daftar di dalam Prolegnas saja,” ujarnya.
RUU BPIP yang didorong menjadi inisiatif pemerintah itu merupakan payung hukum bagi BPIP. Selama ini, BPIP memang dipayungi oleh peraturan presiden.
Konsultasi ini penting, menurut Baidowi, agar Prolegnas Prioritas itu benar-benar serius dibahas oleh DPR dan pemerintah. ”Jangan sampai seperti yang dulu-dulu atau yang lainnya ketika suatu RUU sudah diusulkan menjadi inisiatif DPR, tetapi pemerintah tidak kunjung terbitkan surat presiden (surpres),” ujarnya.
Mengenai RUU BPIP, sebelumnya, pada 16 Juli 2020, pemerintah menyerahkan konsep RUU tersebut kepada pimpinan DPR. Ketika itu, pemerintah diwakili oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD dan sejumlah menteri, yakni Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

Ketua DPR Puan Maharani bersama Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan keterangan kepada wartawan di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/7/2020). Pada kesempatan tersebut, Mahfud MD menyerahkan RUU Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) untuk dibahas di DPR menggantikan RUU Haluan Ideologi Pancasila yang banyak mendapat penolakan. Hadir pada kesempatan tersebut, sejumlah menteri di bawah koordinasi Menko Polhukam dan sejumlah wakil ketua DPR.
Surpres dan DIM RUU HIP yang diubah menjadi RUU BPIP itu diterima oleh pimpinan DPR. Pimpinan DPR hadir lengkap, yakni Ketua DPR Puan Maharani, dan para wakilnya, Azis Syamsuddin, Sufmi Dasco Ahmad, Muhaimin Iskandar, dan Rachmat Gobel.
Berbeda dengan konsep RUU HIP yang, antara lain, menyinggung mengenai ideologi Pancasila, konsep RUU BPIP itu sepenuhnya membahas tentang kelembagaan BPIP.
Lucius mengatakan, kalaupun perdebatannya banyak mengenai RUU HIP dan kemungkinannya menjadi RUU BPIP, seharusnya hal itu jangan sampai menghambat penetapan Prolegnas Prioritas tahunan lainnya yang juga penting. Keterlambatan penetapan Prolegnas Prioritas 2021 merupakan modal buruk pelaksanaan fungsi legislasi tahun 2021.
”Karena bagaimana DPR bisa segera mulai bekerja begitu memasuki tahun yang baru jika rencana legislasi prioritas saja belum ada. DPR umumnya akan menganggur untuk masa sidang Januari-Februari karena rencana baru diputuskan pada bulan-bulan itu,” ucapnya.