Sidang Pidana Daring, Pemenuhan Hak Terdakwa Perlu Dievaluasi
Pelaksanaan sidang virtual untuk mencegah penularan Covid-19 sudah berlangsung. Namun, pelaksanaan sidang itu masih memiliki sejumlah kelemahan yang perlu diatasi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS– Sejak bulan Oktober 2020, Mahkamah Agung telah mengeluarkan regulasi tentang persidangan daring dalam keadaan tertentu. Aturan tersebut dianggap responsif sebagai langkah mitigasi penularan Covid-19 di lingkup peradilan. Namun, dalam praktiknya, masih ada tantangan implementasi sidang daring, terutama akses komunikasi penasihat hukum terhadap terdakwa yang terbatas karena berada di tempat berbeda.
Evaluasi persidangan daring tersebut terungkap dalam diskusi bertema “Sidang Pidana secara Elektronik dan Implikasinya terhadap Hak Asasi Manusia” yang diadakan secara daring, Kamis (10/12/2020). Narasumber yang dihadirkan dalam diskusi tersebut adalah Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Suhadi, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandung Lasma Natalia, dan Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Arsil. Ketua Mahkamah Agung M Syarifuddin memberikan pidato pembuka dalam diskusi tersebut.
Direktur LBH Bandung Lasma Natalia mengatakan, regulasi mengenai persidangan daring ini adalah hal yang baru dalam dunia peradilan khususnya persidangan perkara pidana. Oleh karena itu, evaluasi secara berkala hendaknya dilakukan oleh MA untuk menyempurnakan aturan tersebut. Dalam pelaksanaan sidang daring, LBH Bandung yang kerap menjadi penasihat hukum terdakwa, mengungkapkan ada sejumlah kendala di lapangan yang dapat mengurangi hak terdakwa.
Selama pandemi Covid-19, akses penasihat hukum untuk mendampingi terdakwa selama persidangan terbatas. Terdakwa mengikuti persidangan dari lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan. Sementara itu, penasihat hukum tidak bisa mendampingi karena aturan protokol kesehatan khusus yang diterapkan di LP/rutan.
Padahal, selama persidangan, komunikasi intensif diperlukan antara terdakwa dan penasihat hukum. Karena berada di tempat berbeda, terdakwa akhirnya menyampaikan pendapatnya tanpa konsultasi dengan penasihat hukum. Sebagai perbadingan, di persidangan luring (tatap muka), terdakwa akan duduk di sebelah kanan penasihat hukum, untuk memudahkan pendampingan hukum.
“Karena sidang dilakukan secara daring, penasihat hukum dan terdakwa berada di tempat terpisah. Ini menyulitkan kami untuk berkomunikasi dengan terdakwa dan berdampak pada kualitas pendampingan hukum, dan kualitas pembelaan terhadap terdakwa,” kata Lasma.
Karena terdakwa berada di tempat terpisah, pengacara juga tidak bisa memastikan apakah keterangan yang diberikan terdakwa di bawah tekanan atau tidak. Demikian juga dengan keterangan saksi-saksi. Karena saksi berada di luar ruangan sidang, penasihat hukum juga sulit untuk memastikan apakah ada intervensi atau tekanan saat memberikan keterangan.
Selain itu, Lasma juga menyoroti tentang proses pemeriksaan alat bukti saat persidangan daring. Dalam persidangan daring, barang bukti bisa dihadirkan hanya melalui foto dan video oleh jaksa penuntut umum. Keterbatasan ini dikhawatirkan akan menghambat pembuktian unsur materiil perkara. Penyampaian bukti lewat foto dan video itu membuat penasihat hukum kesulitan memeriksa validitas dari barang bukti tersebut.
“Perma 4/2020 memang hadir sebagai pedoman dan standardisasi praktik persidangan daring selama pandemi Covid-19. Namun, harus diingat juga bahwa persidangan daring ini juga tetap harus memenuhi unsur peradilan yang kompeten, dan imparsial,” kata Lasma.
Sementara itu, peneliti LeIP Arsil berpendapat, persidangan daring yang diatur Perma 4/2020 tidak bisa dikatakan sepenuhnya sidang virtual. Sebab, majelis hakim tetap bersidang di ruang persidangan pengadilan.
Sementara itu, pihak-pihak lain yaitu jaksa penuntut umum, saksi, dan ahli dapat berda di tempat berbeda atau melakukan sidang jarak jauh. Mekanisme ini dinilai masih memiliki kelemahan. Apabila pengadilan harus ditutup karena ada hakim atau pegawai terpapar Covid-19, persidangan perkara pidana tidak dapat dilakukan.
“Sebab, Perma 4/2020 mengharuskan persidangan dilakukan oleh majelis hakim dan panitera pengganti dari ruangan sidang di pengadilan,” kata Arsil.
Selain itu, Perma ini juga mengatur penasihat hukum dapat bersidang terpisah dari terdakwa. Penasihat hukum wajib berada di ruang sidang di pengadilan atau di kantor penuntut umum. Karena berada di tempat berbeda dengan terdakwa itu, komunikasi penasihat hukum dan kliennya akan terhambat.
“Karena ini merupakan terobosan baru dalam persidangan perkara pidana, seharusnya persidangan daring ini dievaluasi dan disempurnakan. Tentu tidak hanya dari MA, tetapi juga bisa diatur melalui peraturan lebih tinggi seperti UU,” kata Arsil.
Perlu aturan lebih tinggi
Menanggapi temuan tersebut, Ketua Kamar Pidana Suhadi mengatakan, untuk memenuhi hak terdakwa selama persidangan daring, idealnya penasihat hukum memang berada di samping terdakwa baik itu di rutan atau lapas. Ini untuk memastikan hak terdakwa terhadap perlidungan hukum dari pengacara.
Namun, ketika rutan atau lapas memiliki kebijakan tertentu seperti pembatasan akses keluar-masuk pengunjung, tentu MA tidak bisa intervensi terlalu jauh. Sebab, hal itu merupakan kewenangan dari instansi atau lembaga lain. Oleh karena itu, Perma memberikan alternatif penasihat hukum dapat bersidang melalui pengadilan atau kantor penuntut umum.
“Perma ini sudah dibuat dengan diawali survei terhadap masyarakat, organisasi advokat, dan sebagainya. Jika dalam praktiknya masih perlu disempurnakan, tentunya akan kami sempurnakan. Jika perlu, kami akan meminta kepada pembuat UU untuk membuat peraturan lebih tinggi mengenai persidangan daring selama masa pandemi Covid-19 ini,” kata Suhadi.
Sebelum Perma 4/2020 diundangkan, MA bahkan sudah membuat nota kesepahaman (MoU) dengan Kejaksaan Agung dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. MoU dibuat agar masing-masing lembaga dapat ikut menyukseskan program sidang daring tersebut. Namun, dalam praktiknya, ternyata masih banyak ditemukan kendala di lapangan.
Soal persidangan dari rutan/lapas misalnya, pihak rutan/lapas kerap kewalahan melakukan sidang daring untuk terdakwa. Di Jakarta misalnya, terdakwa kasus pidana paling banyak ditahan di Rutan/Lapas Salemba, Jakarta Pusat dan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Padahal, rutan/lapas itu dipakai untuk penahanan terdakwa yang disidangkan di lima pengadilan negeri di Jakarta. Jika setiap hari harus melayani sidang daring dari lima pengadilan sekaligus, pihak rutan dan lapas kewalahan karena minimnya fasilitas pendukung seperti laptop dan ruangan persidangan.
“Ini hambatan yang kami temukan di lapangan. Kami berharap pemerintah juga memperhatikan dan memberikan solusi dari persoalan tersebut,” kata Suhadi.
Sementara itu, terkait dengan masalah pembuktian, ada berbagai opsi yang diatur dalam Perma 4/2020. Apabila barang bukti harus dihadirkan di persidangan, maka penuntut umum tetap harus menghadirkan di ruangan sidang dengan memakai jasa kurir. Dengan begitu, barang bukti tetap bisa hadir secara fisik di persidangan. Namun, jika tidak memungkinkan barang bukti memang bisa dihadirkan melalui foto atau video.
Penyampaian bukti melalui foto atau video itu, kata Suhadi, seharusnya tidak menjadi kendala bagi majelis hakim untuk memeriksa perkara pidana. Sebab, alat bukti yang sah di persidangan juga berasal dari keterangan saksi, saksi ahli, surat, dan keterangan terdakwa. Untuk perkara spesifik seperti tindak pidana korupsi, alat bukti lebih banyak diambil dari surat, dan keterangan saksi.
“Saya kira ini tidak akan menjadi hambatan pemeriksaan oleh majelis hakim. Karena alat bukti yang sah itu tidak hanya berasal dari barang bukti, tetapi juga dari sumber lain. Lagi pula, Perma juga masih mengatur bahwa barang bukti tetap bisa dihadirkan secara fisik di persidangan,” kata Suhadi.
Sebelumnya, MA mengeluarkan Perma 4/2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan secara Elektronik pada awal Oktober lalu. Perma 4/2020 mengatur pedoman pelaksanaan sidang pidana virtual di pengadilan.
Lahirnya Perma tersebut diapresiasi sebagai langkah mitigasi penularan virus. Di lingkungan pengadilan, tren penularan virus makin meluas sehingga pelayanan peradilan di sejumlah daerah sempat ditutup sementara.