Pelaku Korupsi yang Ajukan ”Justice Collaborator” Masih Minim
Tidak adanya aturan yang jelas dan perlindungan bagi mereka yang jadi ”justice collaborator” dinilai menjadi penyebabnya. Padahal, ”justice collaborator” dapat membantu menguak tuntas suatu tindak pidana.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Permohonan menjadi saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau justice collaborator, khususnya dari pelaku tindak pidana korupsi, masih minim. Tidak adanya aturan yang jelas dan perlindungan bagi saksi dinilai menjadi penyebabnya.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, justice collaborator dalam undang-undang di Indonesia disebut sebagai saksi pelaku yang bekerja sama. Mereka adalah tersangka, terdakwa, atau narapidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana.
Penghargaan bagi saksi yang bekerja sama dengan penegak hukum berupa keringanan tuntutan pidana berdasarkan rekomendasi LPSK. Apabila rekomendasi ini diterima hakim, hakim akan menjatuhkan pidana ringan.
Selain itu, saksi memperoleh pemenuhan hak-hak narapidana seperti remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat berdasarkan rekomendasi LPSK kepada Menteri Hukum dan HAM. Untuk menjadi justice collaborator ditetapkan oleh penyidik kepolisian, jaksa penuntut umum termasuk di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), LPSK, hakim, dan kepala lembaga pemasyarakatan.
Merujuk data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, kejaksaan menjadi instansi yang paling banyak mengeluarkan status justice collaborator. Sepanjang periode 2013 hingga Juli 2016, ada 670 orang yang mendapat status tersebut. Adapun kepolisian hanya memberikan kepada 17 orang dan KPK kepada 1 orang.
Menurut Edwin, pelaku tindak pidana korupsi masih minim dalam mengajukan permohonan menjadi justice collaborator. ”Sejak 2015 hingga 2020 hanya ada 23 pemohon yang merupakan permohonan di tindak pidana korupsi,” kata Edwin dalam pembukaan kegiatan diskusi bertema ”Optimalisasi Peran Saksi Pelaku yang Bekerja Sama dalam Proses Peradilan Pidana” yang diselenggarakan oleh LPSK, Rabu (9/12/2020).
Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut, praktisi hukum Maqdir Ismail, anggota DPR 2014-2019 Akbar Faizal, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun, serta Guru Besar Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita.
Menurut Edwin, masih minimnya pelaku yang mengajukan diri sebagai justice collaborator karena beberapa alasan. Salah satunya, berkas narapidana kasus korupsi digabungkan dengan pelaku lain. Hal tersebut terjadi pada mantan Kepala Subdirektorat Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kosasih Abbas terkait kasus korupsi di Kementerian ESDM.
Ia menilai, justice collaborator belum menjadi pilihan para pelaku tindak pidana korupsi, apalagi mereka yang memiliki latar belakang politisi. Sejauh ini, baru ada satu anggota DPR, yakni Agus Condro, yang pernah menjadi justice collaborator.
Menurut Maqdir Ismail, saat ini tidak ada aturan yang jelas untuk menjadi saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat. Seharusnya ada aturan yang tegas dengan melibatkan LPSK. Alhasil, setiap orang boleh menjadi atau dianggap ditetapkan sebagai pelaku yang bekerja sama jika ada rekomendasi dari LPSK.
Adapun menurut Akbar Faizal, politisi jarang mengajukan permohonan menjadi justice collaborator karena berkaitan dengan kekuasaan. Mereka tidak memiliki kepastian untuk keselamatan dirinya.
Tama S Langkun mengatakan, justice collaborator memiliki peran signifikan dalam membantu penegak hukum untuk mengungkap skandal kasus korupsi kelas kakap. Namun, sedikit yang mengajukan karena aturannya tidak jelas. Bahkan, justice collaborator yang mendapatkan perlindungan justru dilaporkan balik ke aparat penegak hukum, misalnya dalam kasus pemalsuan surat, keterangan palsu, dan pencemaran nama baik.
Ia berharap ada penghargaan yang lebih besar, termasuk perlindungan dan pengurangan masa tahanan. Selain itu, perlu ada aturan yang lebih detail dalam lingkup peradilan pidana dari undang-undang sampai peraturan teknisnya.
Menurut Romli Atmasasmita, beberapa undang-undang harus direvisi, di antaranya UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang LPSK. Selain itu, UU Pemasyarakatan serta peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang subyek yang berhak memperoleh remisi, bebas bersyarat, dan sebagainya harus direvisi.
Selain mengubah undang-undang, Romli berharap, LPSK melakukan koordinasi dan riset terkait pendapat kepolisian, kejaksaan, dan hakim serta akademisi tentang status hukum justice collaborator.