Patuhi Protokol Kesehatan
Di tengah pandemi Covid-19, tidak sedikit pemilih ragu untuk datang ke TPS pada 9 Desember 2020. Ketua KPU Arief Budiman mencoba menjawab keraguan itu saat wawancara dengan ”Kompas”.
Pemilihan Kepala Daerah 2020 bisa jadi merupakan salah satu pergelaran pemilihan terberat dalam sejarah pilkada di Indonesia. Penyelenggara pemilu tak hanya harus memastikan pilkada tetap terselenggara dan berkualitas, tetapi harus pula mencegah penularan Covid-19 terjadi saat pilkada.
Sejak awal tahapan pilkada, tak sedikit penyelenggara pemilu yang terpapar Covid-19, bahkan ada pula yang meninggal. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman serta beberapa komisioner KPU termasuk yang pernah terpapar virus SARS-CoV-2 itu. Adapun penerapan protokol kesehatan tak selamanya berjalan mulus. Pelanggaran kerap terjadi, salah satunya selama masa kampanye.
Pelanggaran protokol kesehatan ini tentu diharapkan tak terulang saat hari pemungutan suara pilkada pada 9 Desember mendatang. Begitu pula penularan Covid-19 di antara pemilih atau penyelenggara pemilu. Sudah sejauh apa upaya KPU untuk mencegah kedua hal itu terjadi? Bagaimana pula saran kepada pemilih agar tak tertular Covid-19? Berikut petikan wawancara Kompas dengan Arief, di kantornya, di Jakarta, pada Jumat (4/12/2020):
Bagaimana proses yang terjadi saat pilihan melanjutkan pilkada di masa pandemi?
Begitu pandemi muncul bulan Maret, KPU langsung memutuskan supaya menjalankan tahapan pilkada dengan menerapkan protokol kesehatan. Setelah itu, gugus tugas Covid-19 mengeluarkan keputusan tentang status darurat selama tiga bulan, mulai Maret hingga Mei. Ternyata perkembangannya situasinya makin memburuk. Maka, KPU menyiapkan sejumlah rencana.
Baca juga: Dua Kabupaten Peserta Pilkada di NTT Kesulitan Tes Cepat untuk KPPS
Kalau pandemi selesai tiga bulan, muncul opsi pemungutan suara pada Desember. KPU juga mempertimbangkan bagaimana jika pandemi tidak berakhir pada Desember. Maka muncul opsi Maret 2021. Kemudian opsi penundaan satu tahun, berarti September 2021, jika pandemi tidak juga usai.
Setelah itu, ada syarat lagi terkait regulasi yang ada harus diubah karena undang-undang menyebut eksplisit Pilkada 2020 berlangsung September 2020. Kalau UU tidak diubah, KPU khawatir ada masalah. Regulasi di hampir semua tahapan pun direvisi karena memasukkan pasal-pasal tentang protokol kesehatan. Kemudian penambahan anggaran.
Apa yang membedakan Pilkada 2020 dengan sebelumnya?
Penerapan standar protokol kesehatan. Di tempat pemungutan suara (TPS) ada beberapa hal baru, misalnya cuci tangan di pintu masuk dan keluar. Kami ingin menjamin orang di TPS dipastikan bersih. Selain cuci tangan, dilakukan pengukuran suhu, disinfeksi berkala, petugas menggunakan sarung tangan, tinta pada jari pemilih tidak lagi dicelup di botol, tetapi ditetes; penggunaan masker, pelindung wajah, dan mewajibkan pemilih pakai masker.
Kami juga mengatur kedatangan pemilih, dibagi lima gelombang tiap 1 jam sejak pukul 07.00, termasuk menyediakan bilik suara khusus untuk pemilih yang suhunya di atas 37,3 derajat celsius.
Apa tantangan terbesar Pilkada 2020?
Tantangan terbesar Pilkada 2020 adalah kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan. Kalau regulasi dan peralatan, saya pikir kita bisa disediakan secara cukup.
Bagaimana menjamin keselamatan dan kesehatan pelaksanaan pilkada?
Pertama soal kesehatan, kami mengusulkan penyelenggara diberikan vitamin agar antibodi tumbuh dan tidak mudah tertular virus. Kedua, soal keselamatan harus dilindungi dengan alat pelindung diri (APD). Maka, KPU mengusulkan tambahan anggaran.
Pada saat kami mengusulkan tambahan anggaran, pagu anggaran masih memedomani harga yang keluar saat itu, misalnya untuk rapid test Covid-19 Rp 500.000 dan paling murah Rp 350.000. Masker 1 boks Rp 300.000. Kita susun akhirnya kebutuhan Rp 4,7 triliun untuk 309 kabupaten/kota yang terlibat penyelenggaraan, dan 32 provinsi yang terlibat monitoring, supervisi, dan penyelenggaraan.
Pemerintah memenuhi semua itu. Awalnya pemerintah meminta anggaran dari daerah. Saya bilang mungkin tidak bisa Desember atau Maret 2021 karena pemda harus melakukan pembahasan ulang, menyediakan anggaran lagi. Akan tetapi, jika dibantu pemerintah pusat, cukup dibahas oleh pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu.
Anggaran dicairkan tiga tahap, yakni pada Mei, Agustus, dan September. Pada pencairan pertama, kami melakukan efisiensi karena ada perubahan harga rapid test dari Rp 350.000 menjadi Rp 150.000. Rapid test dilakukan se-Indonesia dan bisa memangkas sekitar Rp 400 miliar.
Dalam perjalanannya lagi, tahap kedua, ada pemangkasan, termasuk hari ini tidak boleh menggunakan anggaran kalau pagunya sudah berkurang. Misal harga masker 1 kotak Rp 80.000 hingga Rp 100.000, dulu Rp 300.000. Sampai akhirnya yang ditransfer ke KPU Rp 3,7 triliun, berkurang Rp 1 triliun karena pagu untuk PAD makin ke belakang makin turun.
Bagaimana menjamin kualitas pilkada di masa pandemi?
Ukuran-ukuran pilkada yang demokratis secara universal tetap kita terapkan dan kita jaga, misalnya KPU bekerja tepat waktu dan memastikan jadwal bisa terlaksana tepat waktu. Walaupun tantangannya luar biasa karena mendadak semua, ada pandemi, tiba-tiba harus memproduksi alat-alat untuk menjaga kesehatan dan keselamatan.
Kedua, KPU bekerja secara transparan. Jadi, publik diberi kemudahan untuk mengakses semua tahapan, salah satunya membangun Sirekap. Bahkan, sekarang ada mobile aplikasi KPU tentang Pilkada 2020.
Baca juga: Jelang Pilkada Indramayu, 24 Petugas Positif Covid-19 dan APD Belum Lengkap
Apa ada rujukan pemilu di masa pandemi dari luar negeri?
Ini, kan, hal baru. Jadi, tentu KPU tidak merujuk tolok ukur dari mana karena semua melakukan hal yang baru. Namun, sebagian kita lihat praktik-praktik baiknya, misal yang sering dijadikan contoh di Korea Selatan. Salah satu ukuran kenapa partisipasi Korsel meningkat karena kepatuhan pemilih saat masuk antre tertib dan berjarak.
Bagaimana soal partisipasi?
Melihat tren dari partisipasi pemilu di Indonesia, mestinya bisa dijaga.
Bagaimana caranya?
Salah satu faktor penting penyelenggaraan pilkada di masa pandemi adalah meyakinkan pemilih bahwa mereka akan aman ketika menggunakan hak pilihnya. Seluruh prosedur itu kalau ditaati, dipatuhi, dan dijalankan, bukan hanya oleh penyelenggara pemilu, melainkan juga oleh peserta pemilu dan pemilih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Saya justru merasa khawatir orang-orang itu terkena atau terpapar oleh virus di luar TPS yang KPU tidak bisa mengatur. Misalnya pada saat pendaftaran calon, orang yang masuk ke kantor KPU diatur, tetapi di luar itu bawa pendukung banyak dan berimpitan. Itu ruang yang tidak bisa disentuh KPU.
Saat hari pemungutan suara, mereka datang ke TPS, mereka antre, KPU bisa mengaturnya agar sesuai protokol kesehatan, tetapi saat mereka pulang ke rumah setelah nyoblos, bergerumbul, ngobrol tentang pemilu, itu di luar ranah KPU untuk bisa mengatur.
Ini membutuhkan peran serta semua pihak, dukungan pemda, TNI, dan tokoh masyarakat untuk mengedukasi ini.
Bagaimana memastikan penyelenggara pemilu bebas dari Covid-19?
Maksimal tiga hari sebelum pemungutan suara dilakukan rapid test, tetapi ada yang seminggu sebelumnya. Mewajibkan mereka rapid test adalah untuk memastikan penyelenggaranya sehat. Jika ada yang reaktif, ditindaklanjuti dengan tes usap, rapid ulang, dan ada yang diganti. Namun, kalau regulasi pokoknya, dia tidak boleh reaktif dan paling sedikit harus ada lima orang dalam satu TPS.
Namun, kami tidak punya kemampuan untuk membayar rapid test bagi saksi. Maka, kami mengimbau calon kepala/wakil kepala daerah agar memberikan layanan rapid test kepada saksi.
Baca juga: KPU Diminta Antisipasi 49.390 TPS yang Dikategorikan Rawan
Apa yang harus dipersiapkan oleh pemilih?
Sekurang-kurangnya menggunakan masker sejak dari rumah menuju TPS. Selebihnya perilaku jaga jarak, tidak usah salam-salaman, dan patuhi protokol KPU di TPS. Sebetulnya, kalau protokol dipatuhi, tidak perlu ada hal yang dikhawatirkan.