MA Tolak PK Made Oka Masagung di Kasus Korupsi KTP Elektronik
MA menolak permohonan PK Made Oka Masagung, perantara suap terkait proyek KTP elektronik yang melibatkan Setya Novanto, bekas Ketua DPR. MA menilai tak ada bukti baru dan tak ada kekeliruan nyata pada putusan sebelumnya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Pengusaha Made Oka Masagung (tengah) bersama mantan Direktur Utama PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi (kiri) mengikuti sidang lanjutan dugaan korupsi dalam pengadaan KTP elektronik di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (21/8/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Made Oka Masagung, perantara suap kepada Setya Novanto dalam kasus korupsi KTP elektronik. Majelis PK menilai tak ada novum ataupun kekeliruan hakim dalam memutus perkara tersebut.
Dengan demikian, putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang menghukum Made Oka Masagung dengan pidana penjara 10 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan tetap berlaku. Made terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama dengan keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.
Dalam direktori putusan PK yang diunggah di laman Mahkamah Agung, putusan PK tersebut dibacakan pada 22 September 2020 lalu. Majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut adalah Salman Luthan, Sofyan Sitompul, dan Abdul Latif. Meskipun putusan dibacakan pada 22 September, putusan baru diunggah di laman resmi MA pada akhir November lalu.
”Menolak permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali terpidana II Made Oka Masagung. Menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku,” demikian bunyi amar putusan seperti dikutip di laman MA.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro saat dihubungi, Selasa (8/12/2020), mengatakan, pertimbangan majelis hakim dalam putusan nomor 373 PK/Pid/Sus/2020 adalah karena alasan permohonan PK yang diajukan oleh pemohon mengenai bukti baru tidak sesuai secara yuridis dengan kualifikasi esensi bukti baru (novum). Selain itu, unsur kekhilafan atau kekeliruan hakim juga tidak terbukti nyata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 Ayat (2) Huruf a, b, dan c Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
”Selain itu, alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan karena apa yang didalilkan sebagai novum dan kekhilafan atau kekeliruan hakim bertentangan dengan fakta hukum yang benar yang terungkap di persidangan. Bahwa judex factie yang menjadi dasar penentuan kesalahan dan pemidanaan telah tepat dan benar berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan,” ujar Andi.
Alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan karena apa yang didalilkan sebagai novum dan kekhilafan atau kekeliruan hakim bertentangan dengan fakta hukum yang benar yang terungkap di persidangan.
Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 2018 lalu, Made Oka Masagung selaku Direktur Utama PT Delta Energy Pte Ltd dan OEM Investment terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan Setya Novanto, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman, Anang Sugiana Sudihardjo, dan Sugiharto dalam proyek KTP elektronik.
Made Oka terbukti meminta fee atas proyek KTP elektronik yang telah disepakati. Made Oka menerima fee dari Johannes Marliem untuk kepentingan Setya Novanto yang totalnya berjumlah 3.800.000 dollar Amerika Serikat. Sementara Irvanto Hendra Pambudi Cahyo menerima fee untuk kepentingan Setya Novanto senilai 3.500.000 dollar AS.
”Para terpidana terbukti memenuhi kualifikasi tindak pidana korupsi secara bersama-sama melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 2009 juncto Pasal 55 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Maka, permohonan PK pemohon ditolak dan putusan yang dimohonkan PK tersebut tetap berlaku,” kata Andi.
Dalam kasus yang sama, sebelumnya pada September lalu, MA mengabulkan permohonan PK dua terpidana kasus KTP-el, yaitu Irman dan Sugiharto. Keduanya merupakan bekas pejabat di lingkungan Kementerian Dalam Negeri. Sebelum mengajukan PK ke MA, Irman dan Sugiharto dipidana masing-masing 15 tahun penjara oleh majelis kasasi yang diketuai oleh Artidjo Alkostar. Putusan kasasi itu kemudian dianulir. Hukuman Irman dipotong menjadi 12 tahun penjara, sedangkan hukuman Sugiharto menjadi 10 tahun penjara.
Menurut Andi, ada beberapa pertimbangan majelis hakim PK dalam putusan perkara Irman dan Sugiharto. Salah satunya adalah karena terpidana telah ditetapkan oleh KPK sebagai justice collaborator dalam tindak pidana korupsi sesuai keputusan pimpinan KPK nomor 670/01-55/06-2017 tanggal 12 Juni 2017.