Saatnya Menghentikan Gelombang Korupsi yang Berulang
Korupsi oleh pejabat publik di negeri ini ibarat gelombang yang datang berulang-ulang. Mulai dari kepala daerah sampai menteri, semua seolah tidak jera menyalahgunakan wewenang demi memburu rente.
Korupsi oleh pejabat publik di negeri ini ibarat gelombang yang datang berulang-ulang. Mulai dari kepala daerah sampai menteri, semua seolah tidak jera menyalahgunakan wewenang demi memburu rente.
Yang terbaru, Menteri Sosial Juliari P Batubara menyerahkan diri kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus penerimaan komisi dalam pengadaan paket sembako bagi warga yang terdampak pandemi Covid-19
Juliari adalah Menteri Sosial (Mensos) kedua pada pemerintahan Presiden Joko Widodo yang tersangkut kasus korupsi. Sebelumnya, kader Partai Golkar, Idrus Marham, yang menjabat menteri sejak 17 Januari 2018, mengundurkan diri sebagai Mensos pada 24 Agustus 2018 ketika ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap proyek PLTU Riau-1. Proyek itu juga melibatkan anggota DPR, Eni Maulani Saragih, dan pihak swasta.
Kurang dari dua tahun kemudian, 6 Desember 2020, Kemensos kembali terlilit pusaran korupsi. Kali ini, menteri dari kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Juliari P Batubara, dijadikan tersangka dalam kasus dugaan korupsi bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi tahun 2020. Juliari diduga menerima fee (imbalan/komisi) bansos sembako dua periode untuk keperluan pribadi. Total, ia menerima sekitar Rp 17 miliar. Ia menyerahkan diri pada Minggu (6/12/2020) pukul 02.50.
Dua kali kasus korupsi di Kemensos menimbulkan pertanyaan tentang sistem pencegahan korupsi di suatu institusi. Ketika korupsi sampai berulang di satu tempat, efek jera dan sistem pencegahan yang dibangun patut dipertanyakan. Persoalan ini pun tidak hanya ditemui di tubuh institusi atau kementerian. Di sejumlah daerah di Tanah Air, warga dirugikan akibat praktik korupsi berulang yang dilakukan oleh kepala daerahnya.
Baca juga : Perberat Hukuman Koruptor Saat Pandemi Covid-19
Ironi Cimahi
Contoh kasus mencolok dari berulangnya korupsi di daerah ialah kasus di Kota Cimahi, Jawa Barat. Sejak menjadi kota otonom pada tahun 2011, semua wali kota Cimahi ditangkap KPK. Di tengah pandemi Covid-19, keganasan virus korupsi di Cimahi tidak berhenti.
Yang terakhir, Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna terjaring operasi tangkap tangan oleh KPK terkait perizinan proyek pembangunan perluasan Rumah Sakit Kasih Bunda, Jumat (27/11/2020). Selain Ajay, KPK menangkap sembilan orang lainnya. KPK menyita uang sebesar Rp 425 juta dari kesepakatan Rp 3,2 miliar.
Ajay mengikuti jejak dua wali kota sebelumnya yang juga diciduk KPK, yakni Atty Suharti (2012-2017), yang ditangkap terkait suap proyek pembangunan Pasar Atas Baru Cimahi pada akhir 2016. Kasus ini melibatkan suami Atty, Itoch Tohija, wali kota dua periode (2002-2012). Atty divonis 4 tahun penjara dan Itoch 7 tahun penjara. Itoch meninggal pada September 2019 saat menjalani masa tahanan.
Pola korupsi dalam kasus Ajay ataupun Itoch dan Atty pun sama-sama melibatkan pihak swasta. Ajay diduga meminta jatah 10 persen dari proyek pembangunan rumah sakit. Adapun Atty dan Itoch meminta imbalan dari pengusaha proyek pembangunan pasar. Rentetan kasus korupsi ini mencoreng wajah Pemerintah Kota Cimahi. ”Hattrick” kasus korupsi mengindikasikan, upaya pencegahan korupsi di kota dengan tiga kecamatan itu belum optimal. Rendahnya integritas juga membuat kepala daerah tergiur memanfaatkan celah korupsi.
Ironisnya, upaya pencegahan korupsi yang dijalankan Pemkot Cimahi terkesan hanya dipersepsikan sebagai pemadam kebakaran. Sebab, penangkapan Ajay bahkan masih dilihat pemda setempat sebagai musibah.
Wakil Wali Kota Cimahi Ngatiyana mengatakan, pihaknya telah membangun sistem pencegahan dengan melibatkan tim Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) KPK. ”Ada pendampingan dari KPK untuk pencegahan korupsi. Ini sudah berjalan di Cimahi. Kejadian ini (penangkapan Ajay) suatu musibah,” ujarnya di Cimahi, Rabu (2/12/2020).
Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, Kearsipan, dan Perpustakaan Kota Cimahi Mochamad Ronny mengatakan, upaya pencegahan korupsi bersama Korsupgah KPK meliputi delapan sektor. Beberapa di antaranya adalah sektor perencanaan dan penganggaran APBD, pengadaan barang dan jasa, perizinan melalui pelayanan terpadu satu pintu, manajemen aparatur sipil negara, dan optimalisasi pendapatan daerah.
Dalam perencanaan dan penganggaran, misalnya, pihaknya telah menerapkan sistem berbasis elektronik. Hal ini untuk mendukung sistem penyusunan anggaran yang terintegrasi dan transparan. Perizinan juga disederhanakan melalui dinas penanaman modal dan perizinan terpadu satu pintu (DPMPTSP). Pengajuan izin dilakukan secara daring untuk menghindari pertemuan petugas dengan pemohon izin.
Baca juga : Ketenangan Juliari dan Problematika Bansos
Wewenang pemerintah
Mengenai upaya menguatkan sistem pencegahan korupsi, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengungkapkan, kepala daerah memiliki kekuatan dan kekuasaan penuh. Jika taat aturan, tentu mereka akan selamat. Ketika tidak tahu perbuatannya merupakan korupsi atau tidak, seorang kepala daerah seharusnya bisa menggunakan hati nuraninya.
Menurut Lili, hal serupa terjadi di tingkat kementerian di mana terjadi korupsi berulang. Korupsi terjadi karena ada kekuasaan, kesempatan, keserakahan, dan pengawasannya tidak berjalan. ”Jadi, mau sistem dibangun, mau penegakan hukum dijalankan, mau pendidikan diberikan, kalau dasar subyeknya berkarakter tidak bersih, ya, repot,” katanya.
Lili menegaskan, dalam Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) sudah diatur soal pencegahan korupsi mulai dari urusan reformasi birokrasi hingga penyederhanaan izin pengelolaan keuangan negara. Setiap kementerian/lembaga sudah mempunyai peran dan tanggung jawab masing-masing.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding menuturkan, jika melihat kembali perjalanan program koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi (korsupgah) KPK, awalnya hal itu difokuskan untuk enam daerah pertama. Tiga daerah di antaranya adalah daerah dengan kepala daerah yang berulang dijadikan tersangka oleh KPK, yaitu Riau, Banten, dan Sumatera Utara.
Selain itu, dengan memperhatikan potensi sumber daya alam dan besarnya anggaran daerah yang dikelola, KPK juga fokus pada tiga daerah, yaitu Aceh, Papua, dan Papua Barat, sebagai daerah otonomi khusus.
Seiring waktu, KPK melakukan identifikasi dan pemetaan atas kerawanan serta potensi korupsi pada pemerintahan daerah. Maka, program korsupgah kemudian diperluas hingga saat ini menjangkau 542 pemda di seluruh Indonesia. Fokus tersebut dipetakan menjadi delapan area intervensi, yaitu mulai dari perencanaan dan penganggaran APBD hingga tata kelola dana desa. Melalui program korsupgah tersebut, KPK melakukan perbaikan sistem dan tata kelola untuk menutup celah potensi korupsi.
Ipi mengatakan, upaya pencegahan dengan kajian sistem dilakukan setelah terjadi kasus korupsi. Bisa juga sebaliknya, saat melakukan kajian KPK menemukan potensi atau celah korupsi, yang ketika tidak diperbaiki sesuai rekomendasi hasil kajian, beberapa kali KPK melakukan upaya penindakan pada kementerian/lembaga terkait.
Upaya penindakan dan pencegahan KPK dilakukan secara terintegrasi, misalnya terkait kasus penyelenggaraan ibadah haji serta suap kuota impor daging sapi ataupun beberapa komoditas pangan strategis lain, seperti gula.
Baca juga : Indikasi Korupsi Tercium di Banyak Tempat
Terkait sistem pencegahan korupsi baik di institusi maupun daerah, hal itu pun pada dasarnya menjadi kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah. Sebab, lembaga seperti KPK dalam fungsi pencegahannya mendampingi dan melakukan supervisi, tetapi pengambil kebijakan tetaplah menteri atau kepala derah bersangkutan. Korupsi berpotensi tetap terjadi manakala sistem yang disupervisi oleh KPK ataupun rekomendasi KPK ternyata tidak dijalankan dengan serius.
”Untuk membangun sistem antikorupsi dan pencegahan, itu tupoksi pemerintah sebagai pemegang kewenangan dan pembuat kebijakan. Jadi, tidak perlu menunggu KPK. Itu tanggung jawab pimpinan setiap institusi dan daerah untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan antikorupsi,” kata Oce Madril, Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Univesitas Gadjah Mada (UGM).
Di sisi lain, peran pengawasan internal dan pencegahan juga dimiliki pemerintah melalui Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Untuk pengawasan institusi dan pemda juga ada inspektorat dan inspektorat daerah. BPKP, inspektorat, serta inspektorat daerah itu tergabung dalam Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Lembaga pengawas itu harus dioptimalkan.
Akan tetapi, bukan berarti tugas membangun sistem pencegahan itu ada di KPK, inspektorat, dan BPKP. ”Tidak bisa kemudian menteri atau kepala daerah duduk saja, tetapi tidak ada kesadaran membangun sistem antikorupsi dan tidak paham tata kelola pemerintahan yang baik, lalu bergantung pada lembaga pengawas,” ujar Oce.
Fokus pencegahan
Di satu sisi, pengawas internal pemerintah menyadari pentingnya pembangunan sistem pencegahan.
Kepala BPKP Yusuf Ateh mengatakan, sesuai dengan arahan Presiden, fokus dalam perbaikan tata kelola antikorupsi ialah melalui sistem pencegahan. ”Karena kalau uang sudah keluar, enggak bisa kembali lagi, dan dampaknya pun sudah terjadi. Jadi, fokus kita pada pencegahan. Karena itu, kami masuk dari awal, mendampingi. Tapi, ini kan enggak gampang,” ujarnya.
Dalam penyaluran dana bansos, misalnya, BPKP mengawasi dengan mekanisme perencanaan dan pengendalian (rendal) dari pusat ke daerah. Mekanisme itu berupaya memastikan dana benar-benar sampai kePADA pihak yang berhak menerima. Yusuf pun mengakui, potensi kecurangan (fraud) atau penyalahgunaan kewenangan demi keuntungan pribadi lebih tinggi terjadi pada masa pandemi. Ia menerima sejumlah pengaduan terkait pengadaan barang dan jasa pada masa darurat.
”Risiko fraud tinggi. Misalnya, karena aturan dilonggarkan saat pandemi, untuk pengadaan barang yang seharusnya lelang kemudian menjadi tidak perlu lelang karena harus cepat. Lalu mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk beralasan seperti itu,” ujarnya.
Yusuf mengatakan, dalam menjalankan pengawasan itu, BPKP berkoordinasi melalui APIP dengan penegak hukum, seperti KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Koordinasi itu diperlukan karena jumlah petugas BPKP terbatas dan tidak mampu menjangkau sampai ke tingkat kabupaten/kota.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, menuturkan, studi yang dilakukan TII menunjukkan, pemberantasan korupsi masih sering meninggalkan jejak risiko (residual risk), yakni risiko yang tetap termanifestasi, meskipun ada efek kejut penegakan hukum, seperti operasi tangkap tangan (OTT).
Hal tersebut terjadi karena kultur dan perangkat birokrasi daerah bersifat tidak dinamis. Meskipun kepala daerahnya hilang, birokrasi di bawahnya stagnan.
”Kerja pengawasan yang dilakukan APIP, misalnya, juga masih tidak maksimal,” kata Alvin.
Baca juga : Korupsi Masih Menjadi Ancaman
Evaluasi yang dilakukan TII terhadap Stranas PK juga menunjukkan, masih ada kendala dalam program tersebut. Sekalipun sudah berjalan, upaya itu tidak dapat dikatakan efektif karena minimnya pendekatan yang merespons korupsi di sektor politik.
”Yang kacau itu pelaksanaannya karena terhalang dominasi kepentingan politik. Sistem yang mau dibangun bagus, visinya bagus, tetapi kalau tidak ada political will, ya, akan mentok juga,” katanya.
Adapun terkait korupsi yang berulang di kementerian, menurut Alvin, gejala utama selain masalah di pimpinan yang penuh konflik kepentingan adalah manajemen kepegawaian yang belum sepenuhnya menganut meritrokasi. (PDS/BOW/TAM)