ICW: Laporan Dana Kampanye Masih Dianggap Tak Serius oleh Pasangan Calon
Peneliti ICW, Egi Primayogha, dalam konferensi pers, Minggu, mengatakan, dari hasil kajian laporan dana kampanye di 30 daerah, yang meliputi 9 provinsi, 12 kabupaten, dan 9 kota, paslon terlihat masih menganggap remeh.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia Corruption Watch merilis hasil kajian dana kampanye di 30 daerah yang meliputi 9 provinsi, 12 kabupaten, dan 9 kota. Dari hasil kajian itu, ICW menemukan bahwa laporan awal dana kampanye belum dianggap serius oleh pasangan calon. Perbaikan regulasi dan penguatan pengawasan diharapkan dapat memaksa calon untuk melaporkan dana kampanye secara patuh dan jujur.
Hal itu disampaikan peneliti ICW, Egi Primayogha, dalam konferensi pers, Minggu (6/12/2020). Egi mengatakan, kajian dilakukan ICW dengan mengambil data sekunder dari laman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasilnya, jumlah dana kampanye yang dilaporkan dalam laporan awal dana kampanye (LADK) dan laporan penerimaan sumber dana kampanye (LPSDK) tidak wajar jika dibandingkan dengan ongkos pemilu.
Selain itu, masih ada pasangan calon yang mengisi LADK dan LPSDK dengan nihil atau Rp 0. Di sisi lain, sumber dana dari sumbangan pihak lain belum jelas dan rinci. Tidak adanya batas maksimal dana kampanye juga membuat kompetisi pilkada menjadi tidak adil.
Hingga kampanye berakhir, masih ada pasangan calon yang mengisi LADK dan LPSDK dengan nihil. Ini menunjukkan bahwa laporan dana kampanye memang belum disikapi secara serius oleh pasangan calon.
”Hingga kampanye berakhir, masih ada pasangan calon yang mengisi LADK dan LPSDK dengan nihil. Ini menunjukkan bahwa laporan dana kampanye memang belum disikapi secara serius oleh pasangan calon,” kata Egi.
Sejumlah pasangan calon yang tidak mengisi LADK itu di antaranya adalah paslon dari Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan; Kabupaten Indramayu, Jawa Barat; Kabupaten Kediri; Jawa Timur; Kabupaten Malang, Jawa Timur; dan Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Calon bupati Banjar, Saidi Mansyur, dan wakil bupati Said Idrus, misalnya, tidak melampirkan dokumen LADK. Dari Kabupaten Indramayu, calon bupati Toto Sucartono dan wakil bupati Deis Handika dokumen LADK-nya kosong.
LPSDK yang kosong juga ditemukan pada calon gubernur-wakil gubernur Kalimantan Tengah, Ben Brahim dan Ujang Iskandar; calon gubernur-wakil gubernur Bengkulu, Agusrin Maryono dan Imron Rosyadi; calon bupati-wakil bupati Konawe Selatan, Surunuddin Dangga dan Rasyid; calon wali kota-wakil wali kota Mataram, Lalu Makmur Said dan Badruttamam Ahda; serta calon wali kota-wakil wali kota Mataram, Baihaqi dan Baiq Dyah Ratu Ganefi.
Temuan ICW, total sumbangan kampanye dalam LADK juga masih banyak berasal dari kantong paslon sendiri. Dari 30 daerah yang diteliti, 86 persen dana LADK berasal dari paslon. Sumbangan dari parpol atau gabungan parpol juga masih kecil, yaitu baru 28 persen dari total sumbangan.
Untuk LPSDK, lagi-lagi sumbangan terbesar masih berasal dari pasangan calon yaitu sebesar 50 persen. Sumbangan dari parpol untuk LPSDK juga kecil karena hanya 6 persen. Adapun sumbangan dari pihak lain, yaitu badan hukum swasta, cukup besar mencapai 27 persen, diikuti sumbangan dari pihak lain perseorangan 16 persen.
Sesuai UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, batas sumbangan perseorangan dibatasi Rp 75 juta dari perseorangan, sementara dari badan hukum swasta dibatasi Rp 750.000.000. Paslon juga dilarang menerima sumbangan yang berasal dari negara asing, lembaga swadaya masyarakat asing, dan warga negara asing; penyumbang dengan identitas tidak jelas; pemerintah dan pemerintah daerah; serta badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik desa.
”Pasangan calon yang mendapatkan sumbangan tertinggi dari badan hukum swasta adalah calon wali kota Surabaya Machfud Arifin dan wakil wali kota Mujiaman sebesar Rp 6,75 miliar,” kata Egi.
Pasangan calon yang mendapatkan sumbangan tertinggi dari badan hukum swasta adalah calon wali kota Surabaya Machfud Arifin dan wakil wali kota Mujiaman sebesar Rp 6,75 miliar.
Dari temuan-temuan tersebut, ICW berkesimpulan bahwa paslon masih tidak serius dalam melaporkan dana kampanyenya. Selain itu, sejak awal pencalonan, paslon sudah tidak menjaga transparansi dan akuntabilitas dana kampanyenya. Laporan dana kampanye hanya dianggap sebagai formalitas. Kepatuhan dan kejujuran itu seharusnya menjadi catatan bagi para pemilih. Sebab, indikasi ketidakjujuran itu dapat menjadi ruang gelap bagi oligark atau cukong untuk membiayai kandidat selama pilkada.
”Dari data yang kami dapatkan, kontribusi sumbangan dari parpol masih kecil. Kegagalan parpol memenuhi kebutuhan dana kampanye ini pada akhirnya dapat menguntungkan oligarki atau cukong karena mereka bisa masuk memberikan sumbangan,” ujar Egi.
Ke depan, ICW berharap regulasi mengenai laporan dana kampanye ini dapat diperbaiki agar dapat memaksa calon untuk melaporkan dana kampanyenya secara patuh dan jujur. Selain itu, kontrol dan pengawasan dari Bawaslu juga harus diperkuat dengan melibatkan pihak lain, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Direktorat Jenderal Pajak. Sebab, konsekuensi dari laporan dana kampanye ini tidak main-main.
Pemberi dan penerima dana kampanye yang melebihi batas yang diatur, misalnya, dapat diancam pidana penjara minimal empat bulan dan paling lama 24 bulan serta denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar. Mereka yang memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye sebenarnya juga bisa diancam pidana penjara minimal dua bulan dan maksimal 12 bulan dan atau denda minimal Rp 1 juta atau maksimal Rp 10 juta.
”ICW juga berharap ke depan ada publikasi yang lebih rinci mengenai laporan dana kampanye untuk membuka ruang gelap dana kampanye. Audit dana harus dilakukan secara detail dan transparan kepada publik,” kata Egi.
Sumbangan pihak ketiga
PPATK juga terus mengawasi potensi politik uang yang terjadi selama pilkada serentak 2020 ini. Yang PPATK lakukan adalah menghindarkan agar tidak ada dana gelap yang berasal dari transaksi narkoba atau hasil korupsi masuk ke dana kampanye. Selain itu, juga antisipasi pembelian suara dengan politik uang.
Secara terpisah, Kepala PPATK Dian Ediana Rae mengatakan, sebenarnya sudah ada permintaan dari Bawaslu untuk mengawasi transaksi keuangan mencurigakan selama pilkada serentak 2020. Hasil temuan dari PPATK, ada indikasi pemberian sumbangan dari pihak ketiga yang melampaui jumlah maksimal. Temuan itu masih akan ditelusuri lebih lanjut dan akan dilaporkan kepada Bawaslu selaku instansi yang meminta penelusuran.
”PPATK juga terus mengawasi potensi politik uang yang terjadi selama Pilkada 2020 ini. Yang PPATK lakukan adalah menghindarkan agar tidak ada dana gelap yang berasal dari transaksi narkoba, atau hasil korupsi masuk ke dana kampanye. Selain itu, juga antisipasi pembelian suara dengan politik uang,” kata Dian.