Distribusi APD Pilkada Terhambat, Kluster Covid-19 Bisa Muncul
Bawaslu kembali mengingatkan KPU untuk tepat waktu mendistribusikan seluruh alat pelindung diri bagi kebutuhan di TPS, 9 Desember mendatang. Jika alat tidak lengkap, kluster penularan Covid-19 bisa muncul.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lima hari menjelang pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah 2020, pendistribusian alat pelindung diri, terutama pistol termometer, untuk petugas di tempat pemungutan suara, masih belum merata. Jika alat tak juga diterima saat pemungutan suara digelar, petugas dan pemilih berisiko tertular Covid-19.
Sebelumnya, berdasarkan hasil pemantauan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) di 31 kabupaten/kota yang menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, 28-30 November 2020, 22 KPU belum menyalurkan logistik alat pelindung diri (APD) kepada petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). KPU dimaksud, di antaranya, Kota Tarakan (Kalimantan Utara), Kabupaten Keerom (Papua), dan Kabupaten Pelalawan (Riau).
Penyediaan pistol termometer (thermo gun) dan sarung tangan lateks sempat terkendala karena perusahaan yang bertanggung jawab mengadakan alat itu mundur di tengah jalan. Padahal, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19 menyatakan, keduanya harus tersedia di tempat pemungutan suara (TPS).
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan, dalam jumpa pers ”Kesiapan Pengawasan Tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pilkada 2020” di Jakarta, Jumat (4/12/2020), mengatakan, penggunaan pistol termometer sangat penting untuk memisahkan, antara pemilih yang sehat dan pemilih yang bergejala Covid-19.
Karena itu, di sisa waktu lima hari ini, Bawaslu mengingatkan kepada KPU agar logistik bisa datang tepat waktu sehingga proses pemungutan suara tidak terhambat dan tidak memperbesar potensi penyebaran virus korona.
”Karena, kan, tentu pemilih ini tidak semuanya pernah rapid test (tes cepat Covid-19), misalnya, kan. Karena itu, deteksi awalnya adalah dites (suhu dengan) thermo gun. Akan sangat berbahaya manakala ketidaktersediaan thermo gun di area pemungutan di TPS itu. SOP (standar operasional prosedur) yang dirancang KPU ini, kan, agar pilkada tidak menimbulkan kluster baru,” ujar Abhan.
Abhan menyebut, temuan ORI sejalan dengan hasil pengawasasan sementara oleh jajaran Bawaslu di daerah. Dari laporan yang diterima, belum seluruhnya jajaran ad hoc KPU yang akan bertugas di tempat pemungutan suara, mendapatkan pistol termometer.
”Karena ini juga bagian dari pengawasan kami, kami juga menginstruksikan kepada jajaran pengawas kami untuk mengingatkan kepada KPU agar distribusi logistik APD ini pada saatnya harus telah tersedia. Karena itu, kepentingan urgen,” kata Abhan.
Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin pun meminta KPU agar menindaklanjuti dengan serius temuan dari ORI soal ketersediaan APD di Pilkada 2020. Ia menduga, jumlah APD yang belum tersalurkan lebih besar dari temuan ORI.
”Tentu saja, ini menjadi alarm agar teman-teman di KPU segera mempercepat kinerja. Sehingga, APD bisa tersalurkan seluruhnya secara tepat waktu. Pilkada saat ini tak hanya menjawab hak konstitusi, tetapi juga mengedepankan keselamatan jiwa warga,” kata Azis.
Pengawasan ketat
Abhan menyampaikan, untuk mencegah kerumunan massa selama tahapan pemungutan suara, KPU sebenarnya telah mengatur kedatangan pemilih. Pada surat pemberitahuan KPU kepada pemilih telah diatur bahwa pemilih nomor sekian memilih jam sekian.
”Itu, kan, agar tidak terjadi kerumunan. Antrean, juga jaga jarak, itu semua dilakukan untuk bersama-sama diawasi oleh masyarakat. Peserta juga wajib mematuhi protokol kesehatan,” tutur Abhan.
Seandainya tetap terjadi kerumunan, menurut Abhan, itu tak hanya menjadi tugas penyelenggara untuk mengurainya. Namun, aparat penegak hukum juga harus ikut memaksimalkan fungsi pengawasan bahkan penindakan.
Di Manado, Sulawesi Utara, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta kepada aparat keamanan agar membantu menjaga kondusivitas di dua hari masa kampanye terakhir, serta hari pemungutan suara, hingga rekapitulasi penghitungan suara. Jika terjadi potensi kerumunan, aparat diminta untuk bertindak tegas.
”Kita harus aman dari dua hal. Aman dari gangguan konvensional dalam bentuk konflik, kekerasan, money politic, pelanggaran-pelanggaran pidana lainnya. Lalu, juga aman dari penyebaran Covid-19,” ujar Tito.
Secara terpisah, Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menyerukan tujuh poin bagi umat Katolik yang akan memilih di Pilkada 2020.
”Umat Katolik sebagai pemilih hendaknya menggunakan hak politiknya secara benar, bijak, dan cerdas. Memahami tata cara pemungutan suara di tengah pandemi Covid-19, mengenal calon kepala daerah yang akan dipilih, dan menentukan pilihan berdasarkan hati nurani,” kata Ketua Komisi Kerasulan Awam KWI Vincensius Sensi Potokota dalam siaran pers yang diterima Kompas.
Dengan pilkada digelar di tengah pandemi, umat Katolik diharapkan mematuhi protokol kesehatan. Ini terutama saat hendak memberikan hak suaranya di tempat pemungutan suara (TPS). Penyelenggara dan pengawas pun diharapkan menggunakan APD sesuai dengan protokol kesehatan.
Selain itu, umat Katolik diminta menolak segala bentuk permainan politik kotor seperti politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dan bantuan sosial, politik uang, ujaran kebencian, berita bohong, dan ajakan untuk melakukan tindak kekerasan, yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur demokrasi. Begitu pula bagi penyelenggara pemilu diharapkan teguh melaksanakan peraturan yang berlaku, kode etik, dan senantiasa bersikap profesional, netral, dan adil.
Umat Katolik pun diminta memilih calon kepala daerah yang berjiwa Pancasilais artinya mereka memiliki wawasan kebangsaan yang memadai, menerima pluralisme, berlaku adil terhadap semua agama, suku, dan golongan. Di samping itu, para calon kepala daerah itu mempunyai keberanian untuk melawan berbagai bentuk ekstremisme, premanisme, dan intoleransi yang sering membuat kehidupan masyarakat semakin berat.
Budaya berpolitik
Adapun bagi para kandidat, KWI berharap mereka mengedepankan budaya berpolitik yang bermartabat dengan berkompetisi berdasarkan kapasitas dan program kerja. Selain itu, memberi contoh yang baik dalam menaati protokol kesehatan.
”Umat Katolik pada khususnya dan masyarakat pada umumnya diharapkan turut menciptakan suasana damai dan aman, serta memastikan bahwa pilkada benar-benar berjalan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan sehat sampai tahapan pilkada selesai,” ujar Vincensius.