MPR Matangkan Rencana Restorasi GBHN dari Sisi Hukum
MPR menjaring masukan dari sejumlah pihak terkait dengan rencana menghidupkan kembali GBHN sebagai haluan ideologis dan penunjuk arah pembangunan nasional.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Permusyawaratan Rakyat berencana menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN sebagai petunjuk ideologis ataupun teknokratis pembangunan negara. GBHN diharapkan menjadi penunjuk arah rencana pembangunan jangka panjang negara. Sejumlah persoalan krusial yang dibahas adalah mengenai aspek hukum dan kewenangan MPR yang terbatas dalam sistem presidensiil.
Untuk menghidupkan diskursus itu, MPR meminta masukan dari sejumlah ahli tata negara dan kebangsaan. Dalam forum diskusi, Kamis (3/12/2020), yang digelar secara hibrida, yaitu campuran antara daring dan luring, MPR meminta pandangan dari Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, Akademisi Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan jurnalis. MPR ingin mendapatkan masukan komprehensif dari semua pihak, terutama terkait aspek hukum.
MPR telah merekomendasikan amandemen terbatas UUD 1945, terutama untuk memasukkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau pokok-pokok haluan negara.
Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam diskusi tersebut mengatakan, MPR telah merekomendasikan amandemen terbatas UUD 1945, terutama untuk memasukkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau pokok-pokok haluan negara. Sejumlah pihak sudah dimintai masukan tentang wacana tersebut, seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) serta Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah). Sejumlah pihak itu pun mendukung rekomendasi MPR tersebut. Menurut Bambang, pemerintah juga merespons positif wacana tersebut. Oleh karena itu, MPR ingin menampung pendapat dari para ahli kebangsaan.
”Kami ingin meminta masukan dari semua pihak, terutama tentang apakah jika GBHN kembali dihidupkan lebih cocok masuk dalam amandemen UUD 1945 atau Ketetapan (Tap) MPR,” kata Bambang.
Selain Bambang, narasumber yang hadir dalam diskusi itu adalah pakar Aliansi Kebangsaan, Yudi Latief; pakar hukum tata negara Universitas Padjadjaran, Nandang A Deliarnoor; dan mantan Pemimpin Redaksi Harian Kompas Ninuk Mardiana Pambudy. Selain narasumber tersebut, ada juga pembahas, yaitu Sofian Effendi dari AIPI, Manuel Kaisiepo dari Aliansi Kebangsaan, Sekretaris Jenderal MPR Ma’ruf Cahyono, Staf Khusus MPR Johnson Rajagukguk dan Freddy Latumahina, Ketua Tim Perumus FGD Restorasi GBHN Prasetijono Widjojo, dan Isharyanto dari Forum Rektor Indonesia.
Urgensi dari restorasi GBHN itu, menurut dia, adalah untuk memberikan arah ideologis ataupun teknokratis pembangunan di Indonesia. Prinsip-prinsip filosofis dan normatif Pancasila dan konstitusi perlu dilembagakan dalam pranata publik. Ini dimaksudkan agar arah kebijakan pembangunan lebih terencana, terpimpin, dan terpadu. Haluan negara ini nantinya juga akan menjadi pedoman dalam pembuatan perundang-undangan.
Prinsip-prinsip filosofis dan normatif Pancasila dan konstitusi perlu dilembagakan dalam pranata publik. Ini dimaksudkan agar arah kebijakan pembangunan lebih terencana, terpimpin, dan terpadu.
Menurut dia, pascareformasi, tidak ada lagi kesinambungan visi pembangunan pemerintah. Pemerintah pusat memiliki program pembangunan sendiri. Begitu pula dengan pemerintah daerah yang menjalankan otonomi daerah. Jika ingin pembangunan yang berkesinambungan, menurut dia, GBHN perlu dihidupkan kembali.
”Jika dilihat basis sosial negara Indonesia, sebagai bangsa kekeluargaan, sudah selayaknya pembangunan nasional tidak dirumuskan sendiri, tetapi bersama. GBHN seharusnya menjadi konsensus bersama seluruh warga,” kata Bambang.
Bambang juga mengatakan bahwa amandemen terbatas UUD 1945 nantinya tidak hanya untuk memasukkan GBHN. Namun, amandemen tersebut juga untuk mengembalikan lagi utusan golongan sebagai bagian dari MPR. Saat ini, MPR hanya merepresentasikan perwakilan politik dan daerah sehingga dianggap kurang merepresentasikan warga.
Ia menambahkan, MPR membutuhkan masukan yang komprehensif dari para narasumber, terutama untuk mengkaji apakah restorasi GBHN itu sebaiknya masuk dalam amandemen UUD 1945 atau Tap MPR. Jika masuk dalam UUD 1945, implikasi politik, sosial, dan moral dari GBHN akan kuat. Presiden dapat diperingatkan oleh MPR jika membuat rencana pembangunan jangka menengah atau panjang, tetapi tidak sesuai dengan GBHN. MPR juga dapat memerintahkan DPR untuk menolak proposal RAPBN dari pemerintah.
”Peringatan dari MPR ini sifatnya hanya imbauan dan tidak berimplikasi hukum sampai memakzulkan presiden. Warga bisa menggugat kebijakan presiden yang dianggap tidak sesuai dengan GBHN itu ke Mahkamah Konstitusi. Di sini, isunya memang jadi sensitif,” katanya.
Jika masuk dalam UUD 1945, implikasi politik, sosial, dan moral dari GBHN akan kuat. Presiden dapat diperingatkan oleh MPR jika membuat rencana pembangunan jangka menengah atau panjang, tetapi tidak sesuai dengan GBHN.
Restorasi GBHN pun harus disesuaikan dengan sistem pemerintahan presidensiil, termasuk jika GBHN dibuat dengan Tap MPR. Jika dimasukkan dalam Tap MPR, MPR tidak berwenang melahirkan ketetapan yang bersifat mengatur. Namun, apabila ada penyesuaian substansi GBHN, mekanisme koreksi Tap MPR akan lebih mudah dibandingkan dengan amandemen konstitusi.
Yudi Latif berpandangan, GBHN bisa masuk dalam amandemen terbatas UUD 1945 jika sifatnya adalah haluan ideologis. Sebab, konstitusi bersifat permanen. Sementara untuk haluan teknokratis, seperti arah pembangunan nasional, sebaiknya bisa dirumuskan melalui Tap MPR.
Yudi pun berpandangan bahwa pemerintah tidak perlu khawatir GBHN bisa menjadi alat untuk mengadili presiden. Sebab, dalam sistem pemerintahan presidensiil, mekanisme menjatuhkan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat itu sangat sulit. Bahkan, jika kebijakannya dianggap bertentangan dengan GBHN pun, harus melewati prosedur gugatan di MK. Oleh karena itu, wacana restorasi GBHN dalam konstitusi ini seharusnya tidak perlu dikhawatirkan akan menjadi alat untuk pemakzulan presiden.
Pemerintah tidak perlu khawatir GBHN bisa menjadi alat untuk mengadili presiden. Sebab, dalam sistem pemerintahan presidensiil, mekanisme menjatuhkan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat itu sangat sulit.
Arah pembangunan
Ninuk Mardiana mengatakan, arah pembangunan Indonesia saat ini memang tidak jelas. Dengan adanya GBHN, diharapkan arah pembangunan menjadi lebih jelas dan menjadi bintang penunjuk arah dalam pembangunan. Sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk besar dan sumber daya alam yang kaya, Ninuk menyebut bahwa Indonesia seharusnya dapat segera masuk menjadi negara berkembang dengan penghasilan menengah-tinggi lebih awal. Namun, capaian Indonesia saat ini hanya sedikit lebih tinggi daripada batas negara berpenghasilan menengah-bawah.
Proses pembahasan GBHN ini harus inklusif dan melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat. Proses penyusunan GBHN pada awal reformasi 1998, misalnya, melibatkan dinamika politik dari berbagai elemen masyarakat. Alhasil, wacana perlindungan hak asasi manusia (HAM) pun dapat masuk menjadi sektor tersendiri di bidang hukum GBHN.
”Kami memerlukan arah, ke mana Indonesia akan menuju di bidang ekonomi, sosial, politik dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa di tengah perubahan kekuatan geopolitik. Bagaimana peran pemerintah pusat dan daerah memastikan arah dan tujuan itu tercapai. Ketika ingin menjadi negara kaya di tahun 2045, harus kelihatan arah dan cara mencapainya,” kata Ninuk.
Nandang Deliarnoor mengatakan, untuk menghidupkan GBHN, opsi yang memungkinkan adalah amandemen UUD 1945. Sebab, haluan negara harus disesuaikan dengan sistem pemerintahan presidensiil dan desentralisasi. Nandang bahkan mengatakan, amandemen UUD 1945 bisa digunakan untuk melakukan purifikasi sistem presidensiil seperti di Amerika. Eksekutif tidak lagi berwenang melakukan pembentukan perundang-undangan. Hanya legislatif yang berwenang melakukannya. Jika kemudian hal itu bertentangan dengan pemerintah, presiden bisa melakukan hak veto.
”Sekarang itu, kondisinya DPR dikuasasi oleh fraksi partai politik dan malah menjadi perpanjangan tangan dari eksekutif. Amandemen UUD 1945, dengan menyempurnakan sistem presidensiil, bisa memperbaiki sistem checks and balances menjadi lebih baik lagi,” katanya.