Korupsi yang berulang di tempat yang sama, seperti terjadi di Cimahi, Jawa Barat, menunjukkan sistem pencegahan korupsi tidak serius dibangun.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Korupsi oleh kepala daerah yang kembali terjadi di Cimahi, Jawa Barat, menunjukkan masih lemahnya sistem pencegahan korupsi yang dibangun di instansi pemerintah. Apalagi, bukan kali pertama korupsi berulang di tempat yang sama, bahkan dengan modus yang sama.
Jumat (27/11/2020), Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia ditengarai menerima suap terkait pengurusan perizinan pengembangan RS Kasih Bunda Cimahi. Sebelumnya, Wali Kota Cimahi periode 2012-2017, Atty Suharti, juga ditangkap KPK karena terlibat kasus korupsi proyek Pasar Atas Baru senilai Rp 57 miliar pada 2016. Kasus ini melibatkan suaminya, M Itoch Tochija, Wali Kota Cimahi dua periode, 2002-2012.
Peneliti hukum dan kebijakan Transparency International Indonesia, Reza Syawawi, Senin (30/11/2020), mengatakan, persoalan korupsi berulang di daerah yang sama tidak hanya terjadi di Cimahi. Daerah lain juga terjadi persoalan yang sama, antara lain Riau dan Bengkulu.
Menurut Reza, hal tersebut menunjukkan pencegahan terhadap korupsi masih lemah. ”Sudah pasti lemah karena definisi pencegahan korupsi masih sebatas masalah administrasi,” ujarnya.
Ia menegaskan, korupsi memiliki dimensi dan motif beragam. Dalam kasus Ajay, terjadi suap untuk perizinan. Pemerintah mencoba mengatasinya dengan memangkas prosedur dan menerapkan perizinan secara daring melalui online single submission (OSS). Kenyataannya, korupsi tetap terjadi.
Menurut Reza, isu korupsi tidak hanya menyangkut soal administrasi, tetapi
perlu diselesaikan juga pada dimensi politik, ekonomi, dan sosial yang belum berubah banyak.
Dari sisi pengawasan, ia pun melihat sistemnya masih lemah. Pernah ada usulan untuk memperkuat inspektorat yang melekat di setiap instansi pemerintah agar inspektorat independen, tidak seperti saat ini, berada di bawah kendali kepala daerah atau menteri/kepala lembaga. Namun, usulan penguatan itu pun tidak jelas kabarnya hingga kini.
Kepatuhan ASN
Sebaliknya, menurut Guru Besar Hukum Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji, pembangunan sistem pencegahan korupsi, khususnya oleh KPK, sudah berjalan baik. Yang menjadi persoalan, tingkat kepatuhan aparatur sipil negara (ASN).
”Tidak ada tertib sosial ASN dalam menaati regulasi yang berkaitan dengan zona integritas antikorupsi,” katanya.
ASN secara individual ataupun kelembagaan juga dinilainya belum memiliki komitmen dan tanggung jawab bersama untuk mendukung pemberantasan korupsi. Karena itu, korupsi yang berulang, seperti di Cimahi, terus terjadi.
Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan keprihatinannya atas korupsi yang terus terjadi pada kepala daerah. ”KPK sejak awal menyampaikan pendidikan antikorupsi. Namun, setiap ada korupsi, KPK akan bertindak tegas,” kata Firli.