Mereka yang Bertaruh Nyawa Mengawal Pilkada
Tantangan Pilkada 2020 bisa jadi yang terberat sepanjang sejarah pemilu di Indonesia. Tak hanya memastikan kualitas, penyelenggara juga mesti memastikan pilkada aman dari Covid-19. Mereka bahkan bertaruh nyawa.
Salim (40) tidak pernah menyangka bahwa dirinya harus mendapat pukulan di bagian perut dan wajah saat mengawasi kampanye salah satu calon gubernur Kepulauan Riau bersama calon wali kota Batam, di Kelurahan Taman Baloi, Kecamatan Batam Kota, pada 12 November lalu. Pengalaman ini tak pernah ia rasakan selama lima tahun menjadi pengawas pemilu.
”Kalau sakit, saya bisa tahan. Malunya itu, kayak dianggap maling rasanya. Dilihat orang, ramai sampai ke tepi jalan. Padahal, saya melakukan hal yang benar,” ujar Salim dihubungi dari Jakarta, Jumat (27/11/2020).
Di tengah kepungan massa, Salim tetap berusaha menjelaskan tujuan dirinya mendokumentasikan tarian yang digelar di pengujung kampanye. Tarian tidak boleh digelar saat kampanye sesuai Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19.
Di tengah kepungan massa, Salim tetap berusaha menjelaskan tujuan dirinya mendokumentasikan tarian yang digelar di pengujung kampanye. Akan tetapi, usahanya sia-sia. Emosi massa sulit terbendung. Beruntung, pihak keamanan setempat bisa mendinginkan situasi.
Akan tetapi, usahanya sia-sia. Emosi massa sulit terbendung. Beruntung, pihak keamanan setempat bisa mendinginkan situasi. Salim pun pergi melaporkan kejadian tersebut kepada pimpinan Bawaslu Kota Batam.
”Kalau trauma pasti ada. Karena ini kasus yang berhubungan dengan politik. Saya tidak mau karena kasus ini, saya jadi pemicu untuk hal-hal yang tak diinginkan. Saya tak tahu apa yang terjadi setelah pilkada selesai. Itu yang saya khawatirkan,” ucap Salim.
Baca juga: Beban Ganda KPPS akibat Covid-19
Seperti diketahui, setelah 2 Februari 2021, semua petugas ad hoc akan dinonaktifkan. Rasa waswas tentu terus menghantui. Apalagi, jika pasangan calon yang diawasi ternyata kalah dalam pilkada. ”Walau dalam hal ini, tak ada sedikit pun niat seperti itu. Karena kami murni hanya melakukan tugas,” tutur Salim.
Fadly Sukir, Ketua Panitia Pengawas Kecamatan Tallo, Kota Makassar, pada 2 November lalu mengalami peristiwa tak jauh berbeda. Hanya saja, ia tidak mengalami intimidasi fisik, tetapi verbal.
Kasus bermula ketika Fadly bersama enam pengawas lain hendak menegur penanggung jawab kampanye dari salah satu pasangan calon wali kota Makassar di Kelurahan Wala-Walaya, Kecamatan Tallo. Teguran diberikan karena ada dugaan pelanggaran pengumpulan massa lebih dari 70 orang dan tak ada jaga jarak.
Atas arahan pimpinan Bawaslu Kota Makassar, Fadly menerbitkan surat peringatan yang ditujukan kepada penanggung jawab kampanye. Namun, setelah surat diberikan, seketika ada yang mengaku tim dari pasangan calon, membawa kembali dan mempertanyakan legalitas surat itu.
”Mereka ngotot, marah-marah, terus mengintimidasi. Mereka banyak melingkari saya, lalu melontarkan kalimat-kalimat yang saya anggap itu sebuah bagian dari intimidasi, seperti ’pukul saja’,” ucap Fadly.
Dari tujuh pengawas, hanya Fadly yang dikerumuni. Pengawas lain mencoba mendokumentasikan aksi intimidasi yang berlangsung hampir 40 menit itu. Hingga pada akhirnya, aparat setempat meredakan situasi.
”Kami merasa takut, pasti kami merasa takut karena jumlah mereka banyak dan semua berteriak. Ada yang mendorong dan ada yang memaki sehingga jelas tekanan psikologis kami takut. Padahal, kami bertugas sesuai regulasi dan sudah sesuai rel yang ada,” kata Fadly.
Fadly menyayangkan, sejauh ini pihaknya belum melihat upaya serius, baik dari kepolisian maupun Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), untuk menindaklanjuti kasusnya. ”Itu disayangkan karena belum ada tindakan nyata, bahkan itu dari lembaga kami sendiri,” ujarnya.
Kami merasa takut, pasti kami merasa takut karena jumlah mereka banyak dan semua berteriak. Ada yang mendorong dan ada yang memaki sehingga jelas tekanan psikologis kami takut. Padahal, kami bertugas sesuai regulasi dan sudah sesuai rel yang ada (Fadly Sukir)
Walau rasa waswas kini masih tetap ada, Fadly menganggap kasus kemarin sebagai bagian dari risiko pekerjaan. Ia harus tetap turun ke lapangan dan menjaga netralitas sebagai tanggung jawab pengawas.
”Tak menghilangkan semangat saya, apalagi saya, kan, Ketua Panwascam. Kalau saya kendur, pasti 15 panwas kelurahan yang ada di bawah saya juga akan kendur,” tutur Fadly.
Di tengah pandemi
Tak hanya pengawas pemilu, tantangan juga dihadapi oleh KPPS. Salah satunya dialami Mustofa (26) yang awalnya ragu untuk mendaftar sebagai salah satu anggota KPPS di tempat tinggalnya yang berada di Klaten, Jawa Tengah. Penyebabnya tak lain adalah kekhawatiran terhadap penularan Covid-19 mengingat pagebluk masih belum terkendali, termasuk di daerahnya.
Jika menjadi anggota KPPS, artinya ia harus bertemu dengan ratusan pemilih saat pencoblosan yang akan berlangsung pada 9 Desember 2020. Terlebih, tidak ada jaminan bahwa semua pemilih yang datang tidak sedang terpapar Covid-19 karena sebagian besar pasien tidak memiliki gejala.
Jika melihat honor (Rp 850.000), pasti tidak sebanding dengan risikonya, tetapi saya merasa harus kembali menjadi KPPS agar pilkada di daerah saya bisa lancar (Mustofa)
Akan tetapi, kekhawatirannya itu berkurang setelah mendapat informasi bahwa pelaksanaan pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS) bakal dilakukan sesuai protokol kesehatan yang ketat. Petugas KPPS ataupun pemilih wajib menerapkan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan untuk mencegah munculnya kluster penularan saat pesta demokrasi berlangsung.
”Jika melihat honor (Rp 850.000), pasti tidak sebanding dengan risikonya, tetapi saya merasa harus kembali menjadi KPPS agar pilkada di daerah saya bisa lancar. Kasihan juga orang-orang tua jika harus bertugas di masa pandemi,” kata Mustofa.
Menjadi KPPS bukanlah pekerjaan baru bagi guru honorer di Madrasah Aliyah Al Manshur, Popongan, tersebut. Sebelumnya, ia pernah menjadi KPPS pada Pemilu 2019. Pada gelaran Pilkada 2020, dia juga menjadi Petugas Pemutakhiran Data Pemilih untuk tahapan pencocokan dan penelitian (coklit).
Akan tetapi, keputusan untuk kembali menjadi KPPS pada Pilkada 2020 melalui berbagai pertimbangan yang cukup banyak. Selain telah diyakinkan dengan protokol kesehatan yang ketat, ia akhirnya mau bergabung karena jumlah pendaftar KPPS tahun ini menurun. Sebagian anggota KPPS pada pemilu tahun lalu tidak bisa lagi mendaftar karena tidak memenuhi syarat usia. Ada pula yang takut harus mengikuti tes cepat Covid-19 karena khawatir jika hasilnya reaktif.
Jumlah pelamar anggota KPPS di sebagian daerah masih kurang dari personel yang dibutuhkan. Masa pendaftaran sempat diperpanjang lima hari agar bisa menjaring petugas lebih banyak.
Komisioner KPU, Ilham Saputra, mengatakan, jumlah pelamar anggota KPPS di sebagian daerah masih kurang dari personel yang dibutuhkan. Masa pendaftaran sempat diperpanjang lima hari agar bisa menjaring petugas lebih banyak.
Beberapa penyebab kurangnya pendaftar, antara lain, adalah pendaftar harus berusia 20 tahun hingga 50 tahun. Usia KPPS dibatasi untuk menghindari kelompok usia rentan, di atas 50 tahun. Selain itu, pendaftar juga diwajibkan tidak memiliki penyakit penyerta.
Baca juga: 770 Personel Polda Sulut Ikuti ”Rapid Test” Sebelum Amankan Pilkada 2020
Untuk mengantisipasi hal tersebut, KPU melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi dan tenaga pendidik untuk memenuhi kebutuhan KPPS. Anggota KPPS juga tidak harus berdomisili di wilayah TPS selama masih berada di satu kabupaten/kota. Pendaftar dari hasil kerja sama pun bisa langsung ditetapkan setelah lolos tahap verifikasi administrasi. ”Persyaratan itu untuk melindungi penyelenggara dari ancaman penularan Covid-19,” kata Ilham.
Pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Abdul Gaffar Karim, mengatakan, penyelenggara semestinya sudah memperhitungkan segala risiko ancaman penularan Covid-19 selama pelaksanaan pilkada. Pandemi yang telah berlangsung selama lebih dari delapan bulan seharusnya membuat penyelenggara, peserta, dan pemilih sudah terbiasa dengan normal baru.
Jaminan perlindungan
Pada penyelenggaraan Pilkada 2020, penyelenggara dihadapkan dengan sejumlah risiko. Risiko terbesar adalah ancaman penularan Covid-19. Oleh sebab itu, pemerintah memberikan tambahan anggaran khusus untuk pengadaan alat pelindung diri (APD) senilai Rp 5,23 triliun sehingga total anggaran untuk pelaksanaan pilkada mencapai Rp 20,46 triliun.
Baca juga: Siasat KPPS Jaga Kesehatan: Hindari Undangan Pesta hingga Bawa Kipas Angin ke TPS
APD menjadi alat keamanan untuk penyelenggara, terutama yang bertugas di lapangan. Bagi pengawas yang harus memantau pelaksanaan kampanye calon kepala daerah, artinya hampir setiap hari mereka harus mendatangi kerumunan orang yang ikut kampanye tatap muka.
Risiko lainnya adalah mendapatkan kekerasan fisik dan verbal, seperti yang dialami puluhan pengawas di beberapa daerah di Indonesia. Risiko itu harus diterima untuk memastikan tahapan kampanye yang aman bagi pemilih. Pada masa pandemi, kampanye tatap muka hanya boleh diikuti maksimal 50 peserta untuk meminimalkan potensi penularan Covid-19.
Selain itu, semua peserta dan pasangan calon harus mengikuti protokol kesehatan, seperti menggunakan masker, menjaga jarak fisik, dan menyiapkan sarana cuci tangan. Dalam hal ini, pengawas pemilu menjadi garda terdepan untuk mencegah munculnya kluster pilkada.
Risiko lainnya adalah mendapatkan kekerasan fisik dan verbal, seperti yang dialami puluhan pengawas di beberapa daerah di Indonesia
Anggota Bawaslu Kota Batam Divisi Pengawasan, Nopialdi, mengatakan, seharusnya para pengawas hingga tingkatan bawah mendapatkan perlindungan. Peristiwa intimidasi itu tak sekadar melecehkan kerja pengawasan, tetapi kelembagaan.
“Dalam konteks lembaga, tugas negara harusnya ini jadi perhatian. Dan harus ada sikap tegas terhadap hal ini. Kalau lembaga negara bisa dilecehkan, masyarakat bisa percaya kepada siapa lagi,” kata Nopialdi.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Abhan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di kompleks Senayan, Jakarta, Rabu (18/11/2020), mengatakan, selama masa kampanye 10 hari kelima (5-14 November), sebanyak 31 pengawas mengalami kekerasan. Jenis kekerasan yang dialami meliputi kekerasan fisik (12 pengawas) dan kekerasan verbal (19 pengawas). Pada 10 hari berikutnya (15-24 November), kekerasan kembali terulang kepada 24 penyelenggara pemilu.
”Untuk itu, kami meminta jaminan keamanan dan perlindungan hukum kepada jajaran kami yang sedang melakukan pengawasan di lapangan,” ujar Abhan.
Kami meminta jaminan keamanan dan perlindungan hukum kepada jajaran kami yang sedang melakukan pengawasan di lapangan (M Abhan)
Anggota Bawaslu RI, Fritz Edward Siregar, menambahkan, para pengawas yang diintimidasi dan dikeroyok itu diduga dilakukan oleh juru kampanye. Semua kasus itu pun telah diproses hukum di kepolisian.
Dalam kesimpulan rapat yang dipimpin Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Komisi II DPR pun mendesak agar penganiayaan terhadap pengawas pemilu tak terulang kembali. ”Komisi II DPR RI mendesak kepada Menteri Dalam Negeri untuk berkoordinasi dengan Kapolri dan Panglima TNI agar memberikan jaminan keamanan dan perlindungan hukum terhadap para penyelenggara pemilu,” ujarnya.
Menurut anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, partai politik dan pasangan calon memiliki tanggung jawab untuk mengendalikan tim pemenangan serta pendukungnya. Mereka harus menunjukkan komitmen untuk menciptakan pilkada yang damai dengan tidak mengedepankan aksi kekerasan, termasuk kepada para penyelenggara pemilu.
“Penyelenggara pun harus menjalankan tugas dengan penuh integritas karena sebagian aksi kekerasan timbul akibat ketidakpuasan terhadap kinerja penyelenggara,” katanya.
Pilkada berintegritas dan aman menjadi tanggung jawab semua pihak. Tak hanya penyelenggara, peserta dan pemilih pun memikul tanggung jawab yang sama.