Tugas dan fungsi 10 lembaga nonstruktural yang dibubarkan akan dikerjakan oleh sejumlah kementerian. Langkah perampingan birokrasi dinilai sebagai sinyal positif bagi masyarakat dan dunia usaha.
Oleh
FX LAKSANA AS/IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo membubarkan 10 lembaga nonstruktural. Selanjutnya, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ditugaskan untuk mengoordinasikan pengalihan pegawai, pendanaan, aset, dan arsip dari 10 lembaga itu ke kementerian terkait.
Keputusan ini dituangkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2020 yang ditetapkan per 26 November 2020. Adapun 10 lembaga nonstruktural yang dibubarkan meliputi Dewan Riset Nasional, Dewan Ketahanan Pangan, Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura, Badan Standardisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan, Komisi Pengawas Haji Indonesia, Komite Ekonomi dan Industri Nasional, Badan Pertimbangan Telekomunikasi, Komisi Nasional Lanjut Usia, Badan Olahraga Profesional Indonesia, dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia.
Tujuan pembubaran, mengutip pertimbangan perpres, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan urusan pemerintah serta untuk mencapai rencana strategis pembangunan nasional. Selanjutnya, tugas dan fungsi yang selama ini diselenggarakan 10 lembaga nonstruktural tersebut diserahkan ke kementerian terkait. Demikian pula dengan urusan pendanaan, pegawai, aset, dan arsip diserahkan ke kementerian terkait.
Pengalihan dikoordinasikan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Ini akan melibatkan Kementerian Keuangan, Badan Kepegawaian Negara, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Arsip Nasional Republik Indonesia, dan/atau kementerian atau lembaga terkait lainnya.
Proses pengalihan, masih mengacu pada perpres, diselesaikan paling lama setahun sejak tanggal perpers diundangkan. Selama proses pengalihan, kementerian terkait wajib mengamankan aset dan arsip. Urusan pendanaan untuk pelaksanaan proses pengalihan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Dengan pembubaran 10 lembaga nonstruktural tersebut, berarti sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 2014, sudah ada 37 lembaga nonstruktural yang dibubarkan.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo melalui pesan singkat, Minggu (29/11/2020), mengatakan, pihaknya baru akan menjelaskan pembubaran 10 lembaga tersebut pada selasa (1/12/2020). ”Selasa pagi ada konferensi pers resmi, memberikan penjelasan-penjelasan detail,” katanya.
Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi II DPR, Kamis (19/11/2020), Tjahjo mengungkapkan, ada 29 lembaga nonstruktural yang akan dibubarkan. Kemudian 15 hari berselang, 26 November 2020, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres Nomor 112 Tahun 2020 yang berisi pembubaran 10 lembaga nonstruktural.
Sinyal dari pemerintah
Direktur Apindo Research Institute Agung Pambudhi menyatakan, pembubaran 10 lembaga nonstruktural tersebut tidak terkait langsung dengan bidang investasi. Meski demikian, paling tidak kebijakan itu diharapkan bisa meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja pemerintah dalam melayani masyarakat dan dunia usaha.
”Meski tidak terkait secara langsung dengan investasi, ini memberikan sinyal bahwa pemerintah ingin melaksanakan tugas dan fungsi secara efisien. Artinya ini sejalan dengan prinsip di dunia usaha,” kata Agung.
Agung juga melihat pembubaran 10 lembaga nonstruktural itu didasarkan atas adanya tumpang tindih tugas dan fungsi di beberapa institusi. Dengan demikian, pembubaran lembaga yang kemudian tugas dan fungsinya dialihkan ke kementerian terkait akan menghemat anggaran negara. Pembubaran tersebut juga meminimalkan kompleksitas pola hubungan antarlembaga.
Meskipun demikian, Agung mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dan cermat dalam membubarkan lembaga, terutama yang pembentukannya didasarkan atas perintah undang-undang. ”Kalau lembaga itu dibentuk atas keputusan eksekutif, tentu sepenuhnya otoritas Presiden. Tapi, kalau ini perintah undang-undang, maka mesti menimbang lebih jauh dan melibatkan pihak yang lebih luas, termasuk konsultasi dengan DPR,” kata Agung.
Pengajar Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Agustinus Subarsono, menyatakan, kebijakan pembubaran 10 lembaga nonstruktural itu didasarkan atas evaluasi dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Oleh sebab itu, dasarnya mesti kuat.
”Saya pikir bagus. Dari sudut keuangan negara, ini merupakan penghematan keuangan negara. Dari sudut pemberdayaan kementerian, maka kementerian yang diberi tugas pelimpahan, akan terjadi pemberdayaan karena harus melakukan pekerjaan yang tadinya tidak dilakukan sepenuhnya. Jadi, ini merupakan tantangan kementerian untuk melakukan pekerjaan baru atau yang sebelumnya tidak dilakukan secara penuh,” kata Subarsono.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Agus Pambagio, menuturkan, pemerintah memang perlu meninjau ulang lembaga nonstruktural yang telah dibuat. Jika dianggap tidak efektif, lembaga nonstruktural tersebut sebaiknya dibubarkan karena tidak mampu menjalankan tugas serta justru membebani keuangan negara. ”Indikator efektif salah satunya adalah mampu menjembatani kepentingan publik dengan pemerintah,” katanya.
Agus menuturkan, pembentukan lembaga nonstruktural dimulai sejak era reformasi karena ada semangat untuk membentuk lembaga independen yang bukan menjadi bagian dari kementerian atau lembaga tinggi negara. Pasalnya pemerintah saat itu dianggap tidak efektif. Oleh sebab itu, hampir setiap ada undang-undang baru, biasanya selalu ada lembaga independen yang lahir. Namun, pada perjalanannya, lembaga nonstruktural tidak mampu menjalankan tugasnya secara efektif. Bahkan, keberadaannya justru membebani keuangan negara.