Demokrasi di berbagai belahan dunia dinilai mengalami kemunduran. Pandemi Covid-19 bisa memperparah kondisi itu. Di Indonesia, meski terjadi hal negatif, terdapat pula hal positif terkait perkembangan demokrasi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kualitas demokrasi di Indonesia dinilai mengalami kemunduran, terlebih pada masa pandemi Covid-19. Meski sistem demokrasi tetap berjalan, praktik non-demokratis yang mengarah para otoritarianisme, yang melanggar hak asasi manusia atau HAM dinilai telah terjadi di Indonesia.
Hal itu terungkap dalam diskusi daring bertajuk ”Dinamika Demokrasi Indonesia di Era Demokrasi Langsung” yang diselenggarakan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Nagoya, Sabtu (28/11/2020). Panelis dalam diskusi itu ialah pengajar Hukum Tata Negara dan HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman; Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada Amalinda Savirani; pengajar Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro, Wijayanto; serta Profesor dari Nagoya University Yuzuru Shimada.
Menurut Herlambang, demokrasi pascareformasi telah mengalami perkembangan sejak pemilu saat Orde Baru. Saat itu, publik tidak percaya pada mekanisme pemilu yang hanya akan memenangkan Soeharto. Setelah Soeharto jatuh, pemilu menjanjikan kedaulatan rakyat. Namun, seiring berjalannya waktu yang terjadi adalah kartel, termasuk dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
”Yang bisa berkompetisi adalah mereka yang berkuasa dalam politik kartel. Tidak ada ideologisasi. Dari diktator ke demokrasi di mana dulu informasi terpusat, pada demokrasi saat ini menjadi terdistribusi,” kata Herlambang.
Hajatan Pilkada Serentak 2020, kata Herlambang, diputuskan dengan tidak transparan dan manipulatif. Meski dikatakan pilkada ini adalah demokrasi konstitusional, Pilkada 2020 adalah mekanisme untuk merawat sistem oligarki serta memperkuat politik kartel. Di daerah, Pilkada 2020 adalah rutinitas sirkulasi kuasa elite lokal.
Padahal, lanjut Herlambang, hajatan Pilkada 2020 telah memakan korban, antara lain enam calon kepala daerah telah meninggal. Sementara petugas atau penyelenggara pemilu juga banyak yang terinfeksi Covid-19.
”Tantangannya, hukum pemilu harus berani untuk membatasi oligarki itu bekerja. Lalu harus berani juga untuk menyaring kepemimpinan yang berintegritas. Tidak ragu seperti kemarin soal mantan narapidana bisa dipilih atau tidak,” ujar Herlambang.
Menurut Amalinda, tren kemunduran atau regresi demokrasi yang terjadi di Indonesia juga dialami banyak negara lain. Dari berbagai laporan tampak bahwa dunia sedang mengalami penurunan kualitas demokrasi.
Khusus di Indonesia, lanjut Amalinda, indikator penurunan kualitas demokrasi perlu dicermati secara lebih detail. Sebab, meski terjadi hal negatif, terdapat pula hal positif di sisi lain. Yang negatif, akhir-akhir ini terdapat indikasi bahwa ancaman penggunaan kekerasan oleh kelompok masyarakat terhadap kebebasan berpendapat kelompok masyarakat yang lain meningkat.
Terkait oligarki, lanjut Amalinda, semakin indikator demokrasi menyentuh oligarki, semakin rendah kualitasnya. Semakin dia tidak terkait dengan oligarki, termasuk korporasi, semakin tinggi.
Terdapat pula indikasi terkait isu-isu struktural, seperti sumber daya alam, maka negara semakin alergi. Itu berarti nilai hak asasi manusia, kata dia, diadopsi negara sejauh tidak menghambat kepentingan negara dan kelompok oligarki. Namun, tetap terdapat hal positif dari dinamika demokrasi di Indonesia, yakni munculnya pemimpin-pemimpin baru dari tingkat lokal menuju nasional.
”Saya tidak mengabaikan bahwa di situ ada praktik-praktik yang menyakiti demokrasi dan HAM. Akan tetapi, kalau tidak demikian, yang terjadi adalah Jakarta sentris. Muncul kesadaran masyarakat bahwa pemilu adalah momentum pemilih untuk memilih calon terbaik,” kata Amalinda.
Menurut Wijayanto, saat ini belum terjadi rezim otoriter di Indonesia. Namun, praktik otoritarianisme sudah terjadi. Beberapa contohnya adalah peretasan telepon seluler milik aktivis dan akademisi, penembakan mahasiswa, hingga mematikan jaringan internet di Papua.
Menurut Wijayanto, kemunduran demokrasi terjadi pada 2019 dan semakin parah pada 2020. Kemunduran terjadi karena struktur kekuasaan di Indonesia masih didominasi segelintir elite untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaannya. Kekuasaan eksekutif yang terpilih secara demokratis justru memunggungi nilai-nilai demokrasi.
Indikator lainnya adalah kaderisasi partai politik yang macet karena pimpinan partai hanya diisi tokoh yang sama. Demikian pula calon pemimpin daerah tetap diputuskan dari pusat atau Jakarta. Hal itu semakin parah dengan adanya pandemi Covid-19.
"Konsolidasi oligarki sudah gelap mata karena mereka yang kaya bersekongkol untuk mengamankan kepentingannya. Hal itu, misalnya penanganan Covid-19, nyawa manusia bukan yang utama. Nyawa publik tidak pernah menjadi yang utama dalam pikiran pemerintah," kata Wijayanto.
HAM dan demokrasi
Hubungan antara HAM dengan demokrasi, menurut Shimada, tidak tersambung lurus meski demokrasi dituntut untuk menegakkan HAM. Sebab, pengertian demokrasi yang dianut berbeda-beda, seperti demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno, demokrasi Pancasila oleh Presiden Soeharto, atau demokrasi liberal di Amerika Serikat.
”Jika demokrasi yang paling sederhana, yakni demokrasi mayoritas, itu tidak membawa pada penegakan HAM karena justru berujung pada tirani mayoritas,” kata Shimada.
Agar tidak jatuh pada tirani mayoritas, lanjut Shimada, demokrasi harus dikompensasi. Dulu Soekarno mengatakan, kepentingan politik berbeda dari kepentingan rakyat. Karena itu, seorang presiden harus mencerminkan kepentingan umum sehingga dipilih oleh majelis permusyawaratan rakyat yang tidak hanya berasal dari partai politik, tetapi juga kelompok masyarakat.
Kompensasi berikutnya adalah melalui hukum atau kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan keadilan. Namun, kekuasaan kehakiman dapat dipolitisasi untuk melanggengkan kekuasaan seperti terjadi di Thailand.