Sikap Hakim soal Pengujian UU MK Akan Tentukan Marwah Lembaga di Mata Publik
Di saat MK sedang memeriksa uji materi dan uji formil UU, hakim yang sedang menangani perkara harus menjalankan UU yang berlaku itu. Marwah lembaga di mata publik akan ditentukan bagaimana para hakim memosisikan diri.
Oleh
RINI KUSTIASIH/DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Suasana sidang pengucapan ketetapan terhadap sejumlah uji formil dan materi undang-undang, salah satunya UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (28/9/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Berlakunya norma Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi, termasuk perpanjangan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, dikhawatirkan memicu konflik kepentingan dan mengganggu independensi hakim. Bagaimana hakim konstitusi memosisikan diri akan menentukan marwah MK di mata publik.
Di saat MK sedang memeriksa uji materi dan uji formil UU, hakim yang sedang menangani perkara harus menjalankan UU yang berlaku tersebut. UU No 24/2003 tentang MK yang telah diubah dengan UU No 4/2014 mengatur masa jabatan pimpinan MK 2,5 tahun. Jika merujuk UU MK yang lama itu, masa jabatan Ketua MK Anwar Usman seharusnya berakhir 2 Oktober 2020 karena ia terpilih sebagai ketua MK pada 2 April 2018.
Namun, karena UU MK berlaku, maka mengikuti ketentuan peralihan dalam Pasal 87 UU MK yang baru, Anwar melanjutkan jabatannya sebagai ketua MK hingga lima tahun. Hal yang sama berlaku untuk Wakil Ketua MK Aswanto yang terpilih sebagai wakil ketua pada 26 Maret 2019 dan sesuai UU MK yang lama berakhir pada 26 September 2021. Dengan UU MK baru, masa jabatan Aswanto akan diperpanjang hingga genap lima tahun.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Khairul Fahmi, Senin (23/11/2020), mengatakan, uji materi revisi UU MK menjadi pertaruhan bagi marwah MK. Sikap negarawan dari para hakim konstitusi akan terlihat ketika memeriksa perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Bagaimana hakim memosisikan diri ketika memeriksa perkara yang berkaitan dengan kepentingan mereka sendiri akan menentukan marwah MK di mata masyarakat.
Hal-hal yang dikhawatirkan, seperti adanya potensi konflik kepentingan, menurut dia, akan terjawab di sini, termasuk rumor yang mengatakan bahwa keinginan perpanjangan masa jabatan itu berasal dari internal MK. Semua akan terjawab dalam hasil uji materi revisi UU MK.
ARSIP PRIBADI
Khairul Fahmi
”Memang dari dulu problem pengujian UU MK di situ. Bagaimana MK bersikap sebagai negarawan dalam mengadili perkara terkait dirinya. Dulu, perkara-perkara yang diadili di UU MK hanya seputar batas usia calon hakim konstitusi. Sekarang, karena berkaitan dengan jabatan, dilematis,” tutur Khairul.
Oleh karena itu, masyarakat diminta terus mengawasi MK dalam menangani pengujian UU MK. Dalam konteks perpanjangan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, misalnya, apakah MK akan kembali pada prinsip bahwa agar tidak ada konflik kepentingan, UU sebaiknya diberlakukan ke depan (prospektif). Atau justru, katanya, MK akan mengamini sikap pembentuk UU dan memberlakukan perpanjangan masa jabatan itu untuk hakim yang sekarang (retroaktif).
”Ini adalah ujian besar bagi MK. Bagaimana mereka melakukan kontrol kepada pembentuk UU dengan kembali kepada prinsip-prinsip pembentukan perundang-undangan yang baik,” kata Khairul.
Apa pun yang menjadi keputusan MK kelak, menurut Khairul, akan sangat memengaruhi kepercayaan publik terhadap marwah MK sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi.
”Apa pun hasil putusan MK nanti akan sangat memengaruhi marwah MK ke depan. MK akan dilihat sebagai institusi yang pro terhadap elite politik atau di belakang warga sebagai pelindung hak konstitusional mereka,” ucapnya.
Perpanjangan masa jabatan
Pasal mengenai perpanjangan jabatan pimpinan MK adalah salah satu pasal yang diajukan uji materi ke MK. Kuasa hukum pemohon uji materi UU MK, Violla Reininda, mengatakan, dalam pengujian konstitusionalitas UU MK, pihaknya meminta penundaan keberlakuan revisi UU MK, khususnya untuk norma perpanjangan jabatan ketua dan wakil ketua MK.
Alasannya, pemohon ingin mengeluarkan ketua dan wakil ketua MK dari pusaran konflik kepentingan. Selain itu, ujarnya, tidak etis juga bagi ketua dan wakil ketua menerima perpanjangan masa jabatan di saat mereka sedang memeriksa perkara terkait.
Menurut dia, frasa ”masa jabatannya” dalam Pasal 87 Huruf a UU No 7/2020 sangat rancu. Dalam pasal itu disebutkan bahwa hakim konstitusi yang saat ini menjabat ketua atau wakil ketua MK tetap menjabat ketua dan wakil ketua MK sampai dengan masa jabatannya berakhir. ”Yang dimaksud masa jabatan itu apakah masa jabatan sebagai ketua dan wakil ketua atau sebagai hakim konstitusi. Ini tidak jelas,” kata Violla.
Jika frasa ”masa jabatan” dianggap masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, tambah Violla, ketua dan wakil ketua MK berlanjut masa jabatannya hingga lima tahun ke depan. Namun, jika masa jabatan diartikan sebagai hakim konstitusi, artinya yang bersangkutan akan menjadi ketua dan wakil ketua sampai pensiun di usia 70 tahun. Ini membuat jabatan ketua dan wakil ketua bisa lebih dari lima tahun. Norma itu jadi salah satu yang diuji secara materi oleh pemohon.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Violla Reininda (kedua dari kanan)
Kuasa hukum pemohon uji formil UU MK, Victor Santoso Tandiasa, mengatakan, norma perpanjangan jabatan ketua dan wakil Ketua MK sebenarnya bisa berdampak positif bagi kelembagaan MK. Dengan perpanjangan masa jabatan, hakim MK akan lebih independen karena tak terpengaruh ayunan politik lima tahunan. Namun, dengan syarat, hal itu diberlakukan untuk hakim periode berikutnya.
Akan tetapi, karena norma tersebut berlaku surut, yang terjadi justru munculnya kekhawatiran terhadap independensi MK. Apalagi, saat ini MK menangani banyak perkara uji konstitusionalitas UU problematik, misalnya UU Penanganan Covid-19, UU Mineral dan Batubara, UU Cipta Kerja, dan revisi UU MK.
”Sulit untuk tidak mengaitkan norma perpanjangan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK dengan penanganan perkara di MK. Dalam praktiknya, dalam Rapat Permusyawaratan Hakim, ketua memiliki wewenang mengambil kebijakan. Ini bisa membuat ketua kurang progresif dalam memutuskan perkara,” kata Victor.
Victor mencatat, pada masa kepemimpinan Ketua MK Anwar Usman, MK terlihat kurang progresif. Grafik putusan yang dikabulkan oleh MK pun menurun. Bahkan, MK terkesan kini mempersulit kedudukan hukum para pemohon perkara. Padahal, MK seharusnya bertindak sebagai pelindung hak konstitusional warga negara. Apalagi jika yang digugat adalah UU yang berlaku terhadap semuanya (erga omnes).
Kompas/Heru Sri Kumoro
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020).
Dalam pengalamannya beracara di MK, ujar Victor, dahulu MK terlihat berada di belakang warga dan melindungi hak konstitusionalitasnya. Bahkan, tak jarang MK memberikan saran perbaikan kepada pemohon agar perkaranya dapat dikabulkan oleh mahkamah. Namun, kini, menurut dia, MK jauh berbeda.
”Sekarang, banyak perkara yang dipersulit oleh MK, terutama dari aspek kedudukan hukum. Kami melihat kini MK justru bertindak sebagai pengawal kebijakan hukum negara, bukan sebagai pelindung hak konstitusional warga,” kata Victor.
Independensi institusi dijaga
Kepala Bagian Humas dan Hubungan Dalam Negeri MK Fajar Laksono menyampaikan, MK tidak dapat mengelak dari kewajiban untuk mengikuti UU. Karena telah diundangkan, UU MK memiliki daya laku dan daya ikat, termasuk untuk hakim MK. Perpanjangan masa jabatan pimpinan MK tidak lain karena adanya UU MK yang baru.
Terkait dengan munculnya kekhawatiran publik atas independensi hakim MK dalam memeriksa uji konstitusionalitas UU MK, Fajar mengatakan, independensi itu mesti dilihat secara kelembagaan maupun personal.
”Secara personal, ya memang hanya Tuhan dan hakim konstitusi itu sendiri yang tahu dan dapat memastikan. Itu otoritas sekaligus tanggung jawab penuh yang dimiliki hakim. Itu semua akan tecermin dan dapat dinilai oleh publik dalam putusan, terutama dengan mencermati pertimbangan hakim,” ujarnya.
KOMPAS/INGKI RINALDI
Kepala Bagian Humas dan Hubungan Dalam Negeri Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono
Namun, secara institusional, upaya menjaga independensi itu telah dilakukan oleh MK. MK memiliki Dewan Etik yang menjaga perilaku hakim agar tidak melanggar ketentuan etik. Selain itu, publik juga dapat mengakses setiap persidangan di MK.
”Persidangan ialah peristiwa publik. Publik punya hak untuk mengetahui apa yang sedang dan telah dilakukan pengadilan sekaligus memastikan perangkat pengadilan mengemban amanah dengan sebaik-baiknya dan selurus-lurusnya. MK terus berupaya memenuhi hak publik itu. Jadi, mari publik turut mencermati dan memonitor setiap penanganan perkara,” katanya.