Pada 14 November lalu, Brimob Polri menginjak usia ke-75. Pasukan elite Polri itu, dituntut untuk semakin menghormati hak asasi manusia dan menghormati prinsip negara hukum saat melaksanakan tugasnya.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
Pada 14 November 2020, Korps Brigade Mobil Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Brimob Polri memperingati Hari Jadi Ke-75. Pasukan elite Polri itu dituntut untuk semakin menghormati hak asasi manusia dan menghormati prinsip negara hukum saat melaksanakan tugasnya, di antaranya saat mengatasi teroris atau mengendalikan unjuk rasa.
Di tengah pandemi Covid-19, peringatan hari jadi Brimob dilakukan secara virtual dengan dipusatkan di Gedung Satya Haprabu Markas Komando Korps Brimob Polri, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Peringatan dipimpin oleh Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis. Presiden Joko Widodo turut menyampaikan ucapan dan harapan dalam kesempatan tersebut.
Presiden mengatakan, Korps Brimob Polri memiliki andil yang besar dalam sejarah bangsa bersama-sama dengan TNI dan rakyat berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan. Brimob juga dinilai sebagai satuan pamungkas dalam menangani kejahatan berintensitas tinggi.
”Saya harap Korps Brimob semakin profesional, semakin modern, tepercaya dan selalu dicintai masyarakat,” tutur Presiden.
Brimob memang memiliki sejarah panjang. Dari laman resmi Brimob disebutkan, cikal bakal pasukan elite kepolisian itu berakar dari organisasi bentukan Jepang di masa perang kemerdekaan. Waktu itu terjadi beberapa kali perubahan nama, mulai dari Tokubetsu Keisatsu Tai, Polisi Istimewa, Mobrig atau singkatan dari Mobile Brigade, dan kemudian menjadi Brimob.
Sebagaimana dicatat Lorenzo Yauwerissa dalam buku Pasukan Polisi Istimewa (Yogyakarta: 2013), Tokubetsu Keisatsu Tai atau Pasukan Polisi Istimewa dibentuk Jepang pada 1944. Saat itu, pembentukan pasukan untuk menyiapkan personel yang tidak hanya bertugas mengamankan keamanan dan ketertiban, tetapi juga sebagai pasukan yang siap di front pertempuran.
Karena fungsinya itu, Jepang menerapkan syarat bagi orang yang ingin menjadi anggota Polisi Istimewa, yaitu usia muda, memiliki disiplin tinggi, dan fisik yang mendukung.
Pada saat kemerdekaan, Polisi Istimewa memproklamirkan dirinya sebagai bagian dari Republik Indonesia. Hal itu dilakukan Moehammad Jasin pada 21 Agustus 1945 di Surabaya.
Masih di era kemerdekaan, dalam rangka menyempurnakan organisasi kepolisian, dibentuklah Mobile Brigade (Mobrig). Para anggota Mobrig direkrut dari kesatuan Polisi Istimewa, Pasukan Perjuangan Polisi (P3), dan Pasukan Gerak Cepat Polisi. Reorganisasi itu bertujuan agar pasukan ini menjadi inti kepolisian dan sekaligus merupakan pasukan mobil.
Pembentukan Mobrig diperkuat dengan surat instruksi Wakil Kepala Kepolisian Negara RI Soemarto pada 14 November 1946. Tanggal itu kemudian ditetapkan sebagai tanggal pendirian Mobrig. Mobrig inilah yang sekarang dikenal sebagai Brigade Mobil atau Brimob.
Korps Brimob Polri kini berpusat di Korbrimob Polri Kelapa Dua, Depok, yang membawahi Pasukan Gegana, Pasukan Pelopor, Satuan Intelijen dan Resimen IV Demlat. Adapun di kewilayahan, Brimob berkedudukan di bawah Kepala Kepolisian Daerah.
Dalam perkembangan zaman, kemampuan setiap personel Brimob terus ditingkatkan. Sebagaimana ditulis dalam buku Kepolisian Negara Republik Indonesia (1993), Brimob harus memiliki lima kemampuan, yaitu sebagai anggota pasukan antiteror, pengendali massa, penjinak bahan peledak, reserse mobil, dan search and rescue (SAR). Khusus untuk menghadapi terorisme, dibentuk Gegana yang berintikan anggota Pasukan Pelopor Brimob.
Idham mengatakan, Korps Brimob lahir, tumbuh, dan berkembang tidak lepas dari sejarah perjalanan Polri dan bangsa. Sejak dari zaman pra-kemerdekaan sampai pascareformasi, Brimob menjadi pasukan yang dapat diandalkan, terutama untuk tugas-tugas berintensitas tinggi.
Hal tersebut salah satunya dibuktikan dengan dianugerahkannya Pataka Nugraha Cakanti Yana Utama oleh Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno pada 14 November 1961. Itu merupakan bentuk penghargaan pemerintah atas pengabdian dan kesetiaan Brimob.
Hingga saat ini, kata Idham, terdapat unsur Brimob yang ditugaskan di beberapa satuan tugas, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Penugasan itu antara lain dalam Satuan Tugas (Satgas) Nemangkawi di Papua, Satgas Tinombala di Sulawesi Tengah, dan Satgas FPU MINUSCA di Afrika Selatan untuk misi pemeliharaan perdamaian.
Hadir di masyarakat
Menurut Idham, Korps Brimob telah terlibat aktif dalam berbagai kegiatan masyarakat. Brimob hadir dalam berbagai tugas baik berupa tugas kemanusiaan maupun tugas untuk mengatasi gangguan keamanan.
”Brimob adalah salah satu pasukan Polri yang ada di tengah-tengah masyarakat dari Sabang sampai Merauke melakukan aksi kemanusiaan, baik bencana alam, penanganan teroris, kelompok kriminal bersenjata (KKB), maupun kegiatan lainnya,” kata Idham.
Dalam memperingati 75 tahun, Idham berharap agar Korps Brimob selalu melaksanakan tugas dengan hati-hati dan memberikan yang terbaik. Korps Brimob pun diminta untuk selalu menjaga keutuhan bangsa dan negara.
Komandan Korps Brimob Polri Inspektur Jenderal Anang Revandoko meminta kepada seluruh personel Brimob agar tidak ragu-ragu dalam melaksanakan tugas menjaga keutuhan bangsa dan negara.
”Saya bersama jajaran berkomitmen untuk Satya Haprabu, yakni setia kepada pimpinan dan negara. Dan kami pastikan negara hadir dan negara tidak boleh kalah, Brimob untuk Indonesia,” kata Anang.
Ancaman lokal
Secara terpisah, Direktur Imparsial dan Pegiat IDeKa Indonesia Al Araf mengatakan, di Indonesia, tantangan keamanan dalam konteks kekinian lebih banyak berasal dari dalam negeri. Ancaman tersebut berupa konflik bersenjata, ancaman kesehatan atau pandemi, serta ancaman terkait radikalisme, intoleransi, dan terorisme.
”Itu adalah tantangan yang secara nyata mesti dihadapi dan tantangan itu relevan dengan tugas Brimob,” kata Al Araf.
Dalam menghadapi tantangan itu, Brimob hendaknya tetap berpijak pada penegakan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan tak melanggar prinsip negara hukum.
Berkaitan dengan hal itu, menurut Al Araf, penanganan unjuk rasa oleh beberapa satuan Brimob beberapa waktu lalu mesti menjadi bahan evaluasi. Sebab, terdapat banyak laporan bahwa unjuk rasa dihadapi secara represif atau dengan kekerasan. Mestinya, satuan yang diturunkan dalam menghadapi aksi unjuk rasa masyarakat lebih mengedepankan pola penanganan yang persuasif dengan metode yang humanis.
”Manajemen Brimob dalam penanganan aksi harus ada evaluasi dan perlu dilakukan dengan prinsip negara hukum dan prinsip HAM. Polri telah memiliki prosedur soal ini melalui Peraturan Kepala Polri. Namun perlu dilakukan internalisasi melalui pelatihan,” ujar Al Araf.