Status Pandangan Politik sebagai Data Spesifik yang Dilindungi Masih Jadi Perdebatan
Rencana pemerintah memasukkan pandangan politik sebagai data spesifik yang dilindungi di RUU Perlindungan Data Pribadi diperdebatkan di DPR. Sementara peneliti menilai, data itu sepatutnya dimasukkan jadi data spesifik.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Melalui Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi, negara bermaksud melindungi data spesifik atau sensitif warga yang berpotensi membahayakan warga jika data itu terekspos tanpa izin warga pemilik data. Status ”pandangan politik” sebagai data spesifik yang dilindungi masih diperdebatkan oleh DPR.
Dalam draf RUU PDP, pemerintah mengusulkan data yang sifatnya sensitif sebagai data spesifik. Data spesifik itu ialah data dan informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, kehidupan/orientasi seksual, pandangan politik, catatan kejahatan, data anak, data keuangan pribadi, dan atau data lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pada pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) pekan lalu, beberapa jenis usulan data spesifik masih menjadi perdebatan dan belum dapat diambil kesimpulan. Jenis data yang masih diperdebatkan ialah data pandangan politik. Selain itu, data anak juga dilindungi dengan pemberian batasan bagi usia anak ialah 17 tahun. Adapun data kehidupan atau orientasi seksual diputuskan untuk tidak dicantumkan sebagai data spesifik.
Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika (Aptika) Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan, saat dihubungi, Minggu (22/11/2020), mengatakan, pembahasan lanjutan mengenai data spesifik akan dilakukan pekan ini. ”Rabu ini akan ada pembahasan lagi dengan DPR. Terkait data spesifik akan dibahas lagi pada saat kita masuk dalam pembahasan terkait pemrosesan data bersifat spesifik,” ujarnya.
Pekan lalu, pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) RUU PDP baru membahas jenis-jenis data spesifik, tetapi belum lebih jauh membahas tentang bagaimana perlindungan terhadap data spesifik itu akan dilakukan. Semuel menegaskan, data spesifik itu akan dilindungi dengan mekanisme yang lebih cermat dan hati-hati karena data spesifik itu bocor akan membahayakan warga negara. Kendati demikian, bukan berarti yang tidak termasuk data spesifik sebagai data yang tidak penting dilindungi.
”Semua data warga pada prinsipnya penting untuk dilindungi tanpa terkecuali. Hanya saja, antara data umum dan data spesifik ada perbedaan dalam pemrosesan datanya. Lebih jauh mengenai pemrosesan ini akan dibahas kembali bersama dengan DPR,” ujarnya.
Sementara itu, terkait dengan pandangan politik sebagai data spesifik, menurut anggota Panja RUU PDP, Bobby Adhityo Rizaldi, hal itu perlu dibahas kembali secara saksama. Sebab, kalau tetap didefinisikan sebagai pandangan politik, maknanya terlalu luas. Berbeda halnya jika definisi itu dipertegas menjadi pilihan politik.
”Soal data pandangan politik itu apakah masuk data spesifik ataukah tidak, itu kan masih pending. Nanti dalam pembahasan yang sedang berjalan, pembahasan mengenai data spesifik itu dapat dibuka kembali,” katanya.
Menurut Bobby, pandangan politik sebaiknya tidak dicantumkan sebagai data spesifik karena sulit diukur, dan data itu harus dikonfirmasi langsung kepada pemilik atau subyek data. Lain halnya dengan ”pilihan politik” yang dapat diartikan pilihan partai politik (parpol). Pilihan politik itu dapat secara jelas disebutkan karena ada parpol-parpol peserta pemilu yang bisa jadi preferensi politik warga. Preferensi itu dapat dikonfirmasi ke subyek data secara langsung.
Namun, dalam pembahasan panja, pekan lalu, usulan mengenai pilihan politik dikritisi. Sebab, penyebutan pilihan parpol justru membuka ruang diskriminasi baru kepada warga dengan afiliasi politik tertentu yang dinyatakan terbuka.
”Misalnya, partai berkuasa sekarang tidak masalah jika seseorang itu memilih parpol lain. Lalu, apakah ada jaminan parpol lain yang berkuasa berikutnya tidak akan melakukan diskriminasi jika mengetahui warganya tidak memilih parpol tersebut. Ini harus pula diperhatikan dan jangan sampai membuka potensi diskriminasi,” kata Abdul Kharis, Ketua Panja RUU PDP.
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan, soal data pandangan politik yang masih menjadi perdebatan di antara pembentuk UU sebaiknya hal itu tidak dikeluarkan dari data spesifik. Indonesia memiliki sejarah panjang tindakan diskriminatif berbasis pandangan politik, yakni seperti dialami eks tahanan politik pada era Orde Baru, yang diduga terkait dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965.
”Di sini pentingnya data pandangan politik itu dilindungi sebagai data spesifik, sehingga seorang warga negara tidak dibedakan perlakuannya berdasarkan pandangan politiknya,” kata Wahyudi.
Selain fokus pada jensi-jenis data spesifik, kata dia, pembentuk UU harus pula mengatur bagaimana data spesifik itu dilindungi. Sebagai contoh, perlindungan data anak. Menurut dia, mesti dirumuskan norma yang menegaskan peran perwalian orangtua. Sebab, dalam usia anak-anak, mereka masih berada di dalam pengampuan orangtuanya.
”Pada faktanya, pemrosesan data anak kan terjadi. Anak tidak terlepas dari berbagai macam platform. Oleh karena itu, selama dia masih anak-anak, semua persetujuan atas penggunaan data anak itu harus seizin orangtuanya,” kata Wahyudi.