Pemberhentian Kepala Daerah oleh Mendagri Membahayakan Demokrasi Lokal
Ancaman pemberhentian kepala daerah yang tidak menegakkan protokol kesehatan di wilayahnya dinilai tidak tepat. Sebagian pengamat menilai hal itu menunjukkan gejala resentralisasi dan berpotensi merusak demokrasi lokal.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
DOKUMENTASI KEMENDAGRI
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memberikan arahan kepada semua kepala daerah di Indonesia dalam rapat koordinasi dan sosialisasi protokol kesehatan untuk perubahan perilaku baru masa pandemi Covid-19 melalui telekonferensi di kantor Kemendagri, Jakarta, Senin (10/8/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Sanksi pemberhentian bagi kepala daerah yang tidak menegakkan aturan protokol kesehatan dapat memperburuk relasi pemerintah pusat dan daerah. Bahkan, ini akan membahayakan bagi demokrasi di tingkat lokal.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menginstruksikan kepala daerah agar menegakkan protokol kesehatan di wilayahnya masing-masing. Jika instruksi dilanggar, kepala daerah bisa diberhentikan. Instruksi itu tertuang dalam Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19 (Kompas, 19/11/2020).
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochammad Nurhasim, dalam diskusi bertema ”Bisakah Mendagri Berhentikan Kepala Daerah?”, Sabtu (21/11/2020), mengatakan, ancaman Mendagri itu bisa dikatakan gejala resentralisasi. Jika pemberhentian kepala daerah terjadi, tentu akan sangat berdampak pada demokrasi lokal. Sebab, kepala daerah dipilih melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung.
LIPI
Moch Nurhasim, Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI
”Tidak boleh kuat politisasinya. Juga harus adil secara proporsional, harus dilihat secara lebih utuh. Jangan sepihak-pihak saja karena bisa menciptakan kericuhan dalam konteks demokrasi tingkat lokal,” ujar Nurhasim.
Ancaman Mendagri itu bisa dikatakan gejala resentralisasi. Jika pemberhentian kepala daerah terjadi, tentu akan sangat berdampak pada demokrasi lokal.
Dalam diskusi tersebut, hadir pula narasumber lain, di antaranya Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan, pengamat dari Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, serta peneliti birokrasi dan pemerintahan di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Lya Anggraini.
Nurhasim menilai, Mendagri tak sepatutnya serta-merta menerapkan penjatuhan sanksi berupa pemberhentian kepala daerah. Seharusnya, kepala daerah yang didapati melanggar protokol kesehatan diajak berdialog untuk mencari akar masalah dan solusinya. Ancaman penjatuhan sanksi, menurut Nurhasim, malah memperburuk relasi pusat dan daerah.
”Jangan terlalu berbicara mengenai, pokoknya ini kewenangan saya. Kalau model pendekatan seperti itu, stabilitas politik yang sudah bagus, pola hubungan pusat dan daerah yang sudah mulai relatif tertata, nanti runyam lagi. Karena itu, perlu mekanisme yang lebih demokratis dan arif,” ucap Nurhasim.
Ancaman penjatuhan sanksi malah memperburuk relasi pusat dan daerah.
Tak elok
Djohermansyah Djohan sependapat dengan Nurhasim, ancaman pemberhentian kepala daerah dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidakharmonisan dalam relasi pusat dan daerah. Pola komunikasi antara pusat dan daerah harus diperbaiki agar terjadi sinergisitas dalam penanganan pandemi Covid-19.
KOMPAS/NINA SUSILO
Djohermansyah Djohan, Guru Besar IPDN
”Kalau terlalu keras ke daerah juga tak elok,” kata Djohermansyah.
Seharusnya, menurut Djohermansyah, teguran tidak dalam bentuk instruksi Mendagri. Mendagri, lanjutnya, bisa menyampaikan teguran ke kepala daerah yang melanggar aturan protokol kesehatan secara personal dengan bersurat atau menelpon langsung.
”Teguran lisan dulu. Jadi, tak usah pakai surat formal-formal banget. Kepemimpinan yang baik adalah momong,” kata Djohermansyah.
Seharusnya teguran tidak dalam bentuk instruksi Mendagri. Mendagri bisa menyampaikan teguran ke kepala daerah yang melanggar aturan protokol kesehatan secara personal dengan bersurat atau menelpon langsung.
Pembagian kewenangan
Sementara itu, Nurhasim mengatakan, dalam konteks menjaga ketertiban umum, sejatinya itu merupakan tanggung jawab pemerintah daerah sebagaimana diamanahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda. Namun, jika mengacu pada UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, peran menjaga ketertiban umum diberikan kepada institusi kepolisian.
Alhasil, lanjut Nurhasim, tak ada kejelasan dalam pembagian peran dan tanggung jawab. Padahal, seharusnya, dalam konteks menjaga ketertiban umum, terdapat batasan-batasan, pada level mana menjadi tanggung jawab siapa.
”Problem kita, batasan tentang penanganan ketertiban umum dan perlindungan masyarakat itu menjadi batasan yang sifatnya grey area. Jadi, seakan-akan semua masuk, Polri dan TNI. Ini agak berbeda konsepnya, konsep pembantuan,” ucap Nurhasim.
Kompas/Priyombodo
Personil TNI menertibkan spanduk tidak berizin saat patroli keamanan di Jalan Jati Baru Raya, Kota Bambu Selatan, Palmerah, Jakarta Barat, Jumat (20/11/2020).
Karena itu, menurut Nurhasim, semua harus didudukkan kembali agar tidak ada instansi yang saling campur kewenangan atau melebihi kewenangan. Ranah tanggung jawab antara Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sebagai unsur yang melekat di pemda dan kepolisian sebagai pihak yang bertugas memberi bantuan, harus jelas. Dalam konteks pencegahan, kepolisian juga harus bisa melakukan berbagai antisipasi terhadap potensi ketidaktertiban di tengah masyarakat.
”Nah, dalam konteks kemarin, TNI kok masuk dengan menurunkan baliho. Kalau mau menggunakan perspektif yang OMSP (Operasi Militer Selain Perang) juga tidak bisa karena itu wilayah sipil. Nah, ini yang perlu ditata supaya nanti clear dan koordinasi bisa semakin smooth. Karena, ini, kan, juga berkaitan dengan persoalan integrasi nasional,” ucap Nurhasim.