Saat ”Panca Main” Jadi Alat Kenalkan Pancasila kepada Anak-anak
Indoktrinasi Pancasila sebagai model yang pernah diterapkan pemerintah Orde Baru melalui P4 jangan terulang kembali. Lewat permainan anak-anak, Panca Main, BPIP mencoba menguatkan ideologi dan nilai-nilai Pancasila.
Lima buah gasing berwarna merah, oranye, biru, hijau, dan kuning dipegang di telapak tangan kiri dan kanan. Buah gasing itu kemudian diputar dan dilempar pelan agar berputar-putar di permukaan lantai. Jika diartikan secara filosofis, tujuan permainan Panca Gasing ini adalah menggabungkan perbedaan untuk mencapai tujuan bersama seperti nilai-nilai dari sila ke-4 dan ke-5 Pancasila.
Ini merupakan bagian dari program Panca Main Indonesia yang diluncurkan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tepat pada Hari Anak, Jumat (20/11/2020), di Jakarta. Sejak lama, sebagai salah satu permainan tradisional, gasing sudah dikenal lekat di dunia anak-anak Indonesia. Hanya dengan sedikit modifikasi, gasing bisa digunakan sebagai media sosialisasi nilai-nilai luhur Pancasila. Inilah hal sederhana yang sudah jarang didapatkan anak-anak sejak era Reformasi 1998 silam.
Sejauh ini, di dunia pendidikan, mata pelajaran Pancasila telah dihapus dari mata pelajaran pokok sekolah dan perguruan tinggi. Apalagi, tumbangnya rezim otoriter Orde Baru ikut pula mencabut Ketetapan MPR Nomor II Tahun 1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa, yang menjabarkan kelima asas Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila.
Saat ini, produk hukum ini tidak berlaku lagi karena Ketetapan MPR No II/MPR/1978 telah dicabut dengan Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998. TAP MPR tersebut termasuk dalam kelompok Ketetapan MPR yang sudah bersifat final atau selesai dilaksanakan menurut Ketetapan MPR No I/MPR/2003. Dengan dihapuskanya TAP MPR No II/1978, BP7 pun dibubarkan. Dengan dilikuidasinya BP7, tak lagi diwajibkan bagi pegawai pemerintah, mahasiswa, dan pelajar mengikuti P4. Dulu, di tingkat sekolah, P4 lebih dulu diajarkan melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang pertama kali diatur dalam Kurikulum 1975.
Dengan adanya TAP MPR No II/1978 tersebut, pemerintah Soeharto sebelumnya membentuk Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) sebagai lembaga yang bertugas melakukan sosialisasi dan pemantapan ideologi. Untuk melakukan sosialisasi dan memantapkan Pancasila, BP7 melaksanakan dengan melakukan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). BP7 dalam pelaksanaannya dibantu Penasihat Presiden tentang Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P7).
Baca Juga: Nilai Pancasila Relevan dengan Kebutuhan Zaman
Kini, di era Presiden Joko Widodo, untuk menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila, khususnya pada anak-anak, BPIP mengeluarkan lima buah permainan tradisional yang telah dimodifikasi. Selain Panca Gasing, ada juga mainan Papancakan. Papancakan adalah menyusun potongan kayu berukuran dan bentuk berbeda-beda. Saat disusun, papan itu akan membentuk kata Pancasila. Menurut BPIP, mainan ini mengajarkan anak untuk mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban, tanpa membeda-bedakan. Ada pula permainan sederhana bola lima, yang terdiri dari lima buah bola kayu bergambar lambang lima sila Pancasila.
Di era Presiden Joko Widodo, untuk menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila, khususnya pada anak-anak, BPIP mengeluarkan lima buah permainan tradisional yang telah dimodifikasi. Selain Panca Gasing, ada juga mainan Papancakan.
Jika ingin lebih kekinian, anak-anak juga bisa bermain catur seperti di serial Netflix terbaru The Queen’s Gambit. Namun, permainannya tidak menggunakan papan dan pion catur internasional. Catur ini berbeda karena merupakan warisan lokal, yaitu catur jawa (balap jajar) dan catur teuku umar.
Di permainan catur teuku umar, papan catur tidak berbentuk kotak sempurna, tetapi ada sayap seperempat lingkaran di kiri-kanannya. Di dalam papan catur itu juga terdapat peta wilayah Indonesia. Dengan memainkan catur teuku umar, pendamping anak bisa menyisipkan pesan rasa cinta terhadap Tanah Air, persatuan Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
Ideologi hidup
Ketua BPIP Yudian Wahyudi menuturkan, peluncuran program Panca Main merupakan bukti bahwa Pancasila bukanlah monopoli dari penguasa. Pancasila bukan milik pemerintah, tetapi milik masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat bisa menanamkan dan menggali nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila bukanlah tafsir tunggal yang dipaksakan oleh pemerintah. Pancasila adalah ideologi yang hidup di tengah-tengah masyarakat (living ideology). Khusus untuk anak-anak, karena masih dalam proses pertumbuhan, menurut dia, perlu didekati dengan sesuatu yang menyenangkan. Salah satunya adalah dengan permainan.
”Dari permainan tradisional itulah bisa dimasukkan nilai-nilai luhur Pancasila dan ditanamkan kepada generasi penerus bangsa,” kata Yudian.
Deputi Bidang Pengendalian dan Evaluasi BPIP Rima Agustin mengatakan, program Panca Main Indonesia diluncurkan bekerja sama dengan Komite Permainan Rakyat dan Olahraga Tradisional Indonesia (KPOTI), lintas kementerian, dan organisasi masyarakat. Tujuan utamanya adalah agar anak-anak Indonesia bisa belajar Pancasila dengan cara menyenangkan. Produk mainan Panca Main dibuat oleh perajin di level usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ini juga untuk menggerakkan perekonomian masyarakat.
”Indonesia adalah pemilik permainan tradisional terbesar di dunia. Sekarang, saatnya dikembangkan dan diangkat. Selain untuk belajar Pancasila dengan menyenangkan, juga berdampak pada ekonomi,” kata Rima.
Agar nilai-nilai ideologi Pancasila dapat diyakini dan dipahami oleh anak-anak, kata Rima, saat bermain memang membutuhkan pendampingan dari orang dewasa. Orang dewasa itu bisa orangtua ataupun guru. Selain mainan, program juga dilengkapi dengan buku panduan untuk pendamping bagaimana menjelaskan hubungan antara permainan dan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, BPIP juga akan bekerja sama dengan sekolah-sekolah, dan perpustakaan dalam pembelajaran Pancasila melalui mainan itu. Dia juga berharap Panca Main ini bisa dimasukkan dalam program pembelajaran anak-anak di sekolah.
”Namun, sejatinya dengan bermain itu tanpa disadari anak-anak belajar prinsip sportivitas, kreativitas, toleransi yang itu juga termasuk nilai-nilai Pancasila,” kata Rima.
Ketua KPOTI Zaini Alif menambahkan, menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada anak memang lebih efektif jika dilakukan melalui permainan. Sebab, saat bermain, anak secara tidak langsung belajar tentang keberagaman, sikap sosial, kemanusian, empati, dan nasionalisme. Dengan membangun kebiasaan, anak pun diharapkan bisa memahami dan pada akhirnya bisa mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Saat bermain, anak secara tidak langsung belajar tentang keberagaman, sikap sosial, kemanusian, empati, dan nasionalisme. Dengan membangun kebiasaan, anak pun diharapkan bisa memahami dan pada akhirnya bisa mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan program Panca Main ini, mainan tradisional juga dikemas lebih modern agar anak lebih tertarik. Permainan gasing, misalnya, tidak hanya bisa diputar, tetapi juga bisa dibongkar-pasang seperti lego. Demikian juga dengan permainan papancakan yang dahulu hanya dikenal dengan batu, kini dibuat lebih berwarna dan modern. Meskipun dimodifikasi, mainan itu dibuat dengan bahan-bahan yang murah sehingga mudah dijangkau masyarakat.
Menurut Zaini, pemilihan lima jenis mainan dalam program Panca Main Indonesia tahap I itu didasarkan pada kajian yang telah dia lakukan. Menurut dia, Indonesia memiliki tak kurang dari 2.600 permainan tradisional di seluruh Indonesia. Untuk tahap pertama, dipilih mainan itu karena disesuaikan dengan nilai-nilai yang akan ditanamkan. Ke depan, tak menutup kemungkinan bisa dikembangkan lagi ke arah yang lebih luas.
Selain bekerja sama dengan BPIP, KPOTI yang berada di daerah-daerah juga akan ikut menyosialisasikan ini kepada masyarakat. Melalui organisasi dan komunitas permainan tradisional, program Panca Main Indonesia akan disosialisasikan. Ini agar program sosialisasi itu lebih efektif dan menyasar segmen yang luas.
Melalui kebudayaan
Rektor Universitas Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta Al Makin mengatakan, program BPIP untuk mengenalkan Pancasila secara rileks ini harus diapresiasi. Menurut dia, ini merupakan upaya yang harus terus-menerus dilakukan semua pihak untuk menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila. Sebab, dalam berbagai survei yang dilakukan oleh lembaga survei, anak-anak muda sudah tidak lagi mengenal dan hafal Pancasila. Jika tidak hafal, bagaimana mereka bisa memahami dan kemudian mengaktualisasikan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, ancaman ideologi transnasional yang ingin menggantikan Pancasila sebagai falsafah dasar bangsa terus bermunculan.
Di era sekarang memang sulit sekali mengenalkan Pancasila secara rasional dan rileks kepada generasi muda. Jadi, memang butuh wahana melalui pendidikan yang informal baik itu seni, budaya, termasuk permainan. Ini strategi yang baik sekali.
”Di era sekarang memang sulit sekali mengenalkan Pancasila secara rasional dan rileks kepada generasi muda. Jadi, memang butuh wahana melalui pendidikan yang informal baik itu seni, budaya, termasuk permainan. Ini strategi yang baik sekali,” kata Al Makin.
Baca Juga: Penanaman Nilai-nilai Pancasila Diperkuat di Kampus
Menurut dia, sejak era pasca-Reformasi, belum ada gaung Pancasila yang sifatnya sesuai dengan kebutuhan anak muda sekarang. Untuk merengkuh anak-anak muda, kata Al Makin, dibutuhkan tafsir yang muda dan segar terhadap Pancasila. Pancasila sudah tidak bisa lagi diajarkan semata dengan cara dogmatis. Sebab, belajar dari sejarah, tafsir Pancasila yang tunggal dan didominasi oleh negara hanya menjadi sebuah alat kekuasaan. Masyarakat perlu disadarkan kembali bahwa Pancasila adalah perekat bangsa Indonesia yang masyarakatnya beragam. Untuk melakukan itu dibutuhkan cara yang muda, segar, dan tidak memaksa.
”Penanaman kembali nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat sifatnya harus rileks, tidak memaksa, tidak dogmatis, dan bukan dilihat sebagai sebuah sistem kekuasaan,” kata Al Makin.
Al Makin menambahkan, tugas BPIP sebagai lembaga pembinaan ideologi Pancasila ke depan masih berat. Perlu dukungan dari semua elemen masyarakat untuk mengembalikan Pancasila sebagai ideologi hidup. Sebab, de-ideologi Pancasila sudah berlangsung cukup lama. Pancasila harus dikembalikan lagi di tengah-tengah masyarakat tanpa indoktrinisasi, dan paksaan. Juga bukan sebagai alat kekuasaan, tetapi justru alat kebudayaan….