Jika ruang perdebatan soal isu-isu krusial di RUU Pemilu beralih ke Baleg DPR, lobi antarfraksi dianggap tetap diperlukan guna mencegah kebuntuan. Sebab, seperti halnya Komisi II, Baleg juga terdiri atas fraksi-fraksi.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan draf Rancangan Undang-Undang Pemilu yang 177 pasalnya masih berupa varian terbuka bisa dilakukan di Badan Legislasi DPR sepanjang ada persetujuan dari Komisi II DPR selaku pengusul RUU Pemilu. Persetujuan dan kesepakatan internal di Komisi II DPR harus dilakukan terlebih dahulu sebelum menyepakati Baleg sebagai wadah pembulatan norma yang masih diperdebatkan di antara sembilan fraksi.
Ketua Panitia Kerja (Panja) Harmonisasi RUU Pemilu Willy Aditya saat dihubungi, Jumat (20/11/2020), mengatakan, lobi-lobi internal antarfraksi di dalam Komisi II DPR akan menentukan nasib penyusunan draf RUU Pemilu. Perdebatan terkait dengan enam isu krusial yang tecermin di pasal-pasal yang berupa alternatif sesuai dengan sikap setiap fraksi itu, menurut Willy, akan ketat sekalipun jika akhirnya keputusan pembulatan atas pasal-pasal tersebut diserahkan kepada Baleg DPR.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dalam draf RUU Pemilu yang diserahkan Komisi II kepada Baleg DPR, terdapat 177 pasal yang rumusan normanya berupa alternatif-alternatif. Norma-norma dalam bentuk alternatif itu lahir karena tidak tercapai kata sepakat di dalam Panja Penyusunan RUU Pemilu.
Fraksi-fraksi berbeda pandangan terkait dengan enam isu krusial, yakni keserentakan pemilu (Pasal 4, 5, dan 6), sistem pemilu (Pasal 201 dan 206), besaran kursi daerah pemilihan (Pasal 207 dan 208), ambang batas pencalonan presiden/presidential threshold (Pasal 187), ambang batas penghitungan kursi (Pasal 217), serta konversi suara hasil pemilu (Pasal 218). Adanya norma alternatif dalam sejumlah pasal itu mengakibatkan Baleg belum dapat melakukan harmonisasi karena belum memenuhi kaidah UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Willy mengatakan, Baleg DPR dalam waktu dekat akan mengundang pimpinan Komisi II DPR untuk membahas jalan keluar atas draf RUU yang masih berbentuk alternatif itu. ”Kami juga tahu diri atas kewenangan yang kami miliki. Kami bisa saja mengubah substansi, tetapi kami bisa digugat atau dilaporkan ke MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan). Jadi, nanti kami panggil dulu pimpinan Komisi II, akan kami minta mereka bersurat kepada Baleg DPR secara resmi jika menginginkan kami yang mengeksekusi pasal-pasal alternatif itu,” katanya.
Surat resmi dari pimpinan Komisi II DPR itu sekaligus menunjukkan niatan politis dari komisi bersangkutan selaku pengusul untuk menyerahkan kepada Baleg dalam menyelesaikan pasal-pasal alternatif itu. Sebab, jika tidak ada permintaan dan surat resmi dari pimpinan Komisi II, menurut Willy, di kemudian hari dapat terjadi pertentangan atau protes. ”Kami tidak mau ada dispute (keberatan/pertentangan) di kemudian hari,” ujarnya.
Niat awal pimpinan Baleg DPR bahkan mengembalikan draf RUU itu kepada Komisi II DPR agar dirumuskan secara internal terlebih dulu. Namun, dalam rapat Panja Harmonisasi RUU Pemilu, Kamis, muncul sejumlah usulan dari anggota Baleg DPR agar pimpinan Baleg berdialog dengan pimpinan Komisi II. Di sisi lain, opsi mengembalikan draf RUU Pemilu ke Komisi II DPR kemungkinan akan kembali mengalami jalan buntu.
Sebelumnya, dalam paparannya di hadapan Baleg, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia dan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa mengatakan, pihaknya lebih setuju jika Baleg melanjutkan harmonisasi draf RUU Pemilu. Terhadap pasal-pasal yang masih berbentuk varian atau alternatif, pimpinan Komisi II DPR meminta agar diselesaikan oleh Baleg DPR.
Sekalipun telah ada permintaan secara lisan dari pimpinan Komisi II DPR, menurut Willy, pertemuan tetap perlu dilakukan untuk memastikan hal itu. Lebih baik lagi jika ada permintaan dalam bentuk surat tertulis kepada Baleg menyangkut hal itu. Namun, apa pun hasilnya dalam pertemuan itu, substansi draf RUU Pemilu tetap bergantung kepada lobi-lobi antarfraksi.
”Itu, kan, artinya mereka (pimpinan Komisi II DPR) ingin ruang ’perkelahiannya’ atau dialog dilakukan di Baleg. Maka, secara institusional yang harus dilakukan Komisi II ialah berkirim surat kepada Baleg DPR yang isinya meminta Baleg menyelesaikan norma alternatif tersebut,” katanya.
Namun, menurut Willy, kalaupun ruang perdebatan soal isu-isu krusial itu beralih ke Baleg, lobi-lobi antarfraksi tetap diperlukan guna mencegah kebuntuan. Sebab, sama halnya di Komisi II DPR, Baleg juga terdiri atas fraksi-fraksi yang merupakan perwakilan dari partai politik.
”Harus ada lobi antarfraksi. Pimpinan parpol harus turun tangan karena isu-isu ini, kan, masa depan partai dan hidup matinya partai. Tentu tidak terelakkan kalau di sana ada lobi-lobi. Di Baleg juga tidak ada mekanisme voting sehingga kalau mau diselesaikan di sini harus ada kesepakatan dulu di antara fraksi-fraksi,” ujarnya.
Inisiatif DPR
Saan mengatakan, RUU Pemilu kali ini agak berbeda dengan RUU Pemilu sebelumnya yang datang dari usulan pemerintah. Pengalaman dalam RUU Pemilu sebelumnya, perdebatan terjadi di akhir, yakni saat pembahasan dengan DPR, karena DPR hanya mengajukan daftar inventarisasi masalah dan membahas RUU Pemilu yang naskahnya disiapkan pemerintah.
Namun, kali ini RUU Pemilu diajukan oleh DPR sehingga perdebatan pun terjadi sejak di awal pembahasan, bahkan saat dalam tahap menyusun draf RUU. Setiap fraksi memiliki kepentingan sesuai dengan amanat parpol.
”Kalau draf datang dari pemerintah, mereka, kan, tidak ada kepentingan subyektif atas RUU ini. Namun, bagi kami di DPR, ini tentu sarat dengan kepentingan setiap fraksi. Wajar jika sejak awal ada perdebatan mengenai isu-isu krusial,” ungkapnya.
Saan memastikan pihaknya akan menghadiri undangan rapat Baleg DPR. Namun, ia belum dapat menerangkan langkah selanjutnya dari Komisi II DPR. Menurut dia, Komisi II DPR siap berdiskusi dengan pimpinan Baleg.
”Apa pun hasilnya, apakah akan diserahkan ke Baleg, termasuk jika memang sesuai kaidah UU harus merumuskan satu norma, maka itu akan diserahkan ke Baleg. Kalaupun Baleg mau menyerahkan kembali kepada Komisi II DPR, kami akan mengambil sikap untuk menjadikan draf itu satu draf utuh,” katanya.
Anggota Baleg yang juga anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Guspardi Gaus, mengatakan, upaya DPR menginisiasi RUU Pemilu adalah bagian dari penataan dan reformasi sistem kepemiluan yang merupakan koreksi dan perbaikan dari berbagai kelemahan penyelenggaraan pemilu sebelumnya. Inisiasi yang datang dari DPR juga patut diapresiasi karena ini merupakan sejarah baru. Oleh karena itu, insiatif ini sebisa mungkin dijaga.
”Perlu kami informasikan, RUU ini terdiri atas 741 pasal, dan yang dianggap belum memenuhi kaidah UU No 12/2011 ada 177 pasal sehingga sebenarnya Baleg masih dapat melakukan harmonisasi terhadap pasal-pasal lain yang tidak bermasalah. Sembari proses berlanjut, Baleg dapat menyurati Komisi II DPR dan meminta komitmen mereka menyelesaikan pasal-pasal alternatif itu sebelum ada keputusan dalam tahapan harmonisasi,” tuturnya.
Menurut Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana, munculnya perdebatan dalam draf RUU Pemilu adalah hal wajar. Akan tetapi, DPR harus memastikan pembahasan draf RUU itu tidak bertele-tele, apalagi sampai menyebabkan RUU Pemilu kembali disahkan terlalu mepet dengan persiapan tahapan pemilu.
”Bahwa ada pandangan beragam dari fraksi-fraksi, itu wajar. Tetapi, kalau bisa, draf itu diselesaikan pada akhir Desember ini. Sebab, praktis kita hanya punya waktu pada 2021 saja untuk membahas RUU Pemilu. Setelahnya, tahun 2022, sudah harus ada pemilihan anggota KPU baru dan mekanisme perekrutannya tentu mengikuti UU Pemilu yang baru,” katanya.
Aditya mengingatkan, belajar dari pengalaman penyusunan UU No 7/2017 tentang Pemilu, RUU Pemilu kali ini harus dibahas jauh-jauh hari sehingga tidak timbul ketergesaan dan ketidakcermatan dalam proses pembahasan ataupun substansinya. UU Pemilu kali ini pun diharapkan dapat berlaku lebih lama daripada UU Pemilu sebelumnya.