Kemendagri: Instruksi Mendagri Bertujuan sebagai Peringatan Moral
Instruksi Mendagri tentang Penegakan Protokol Covid-19 disebut untuk mengingatkan bahwa kepala daerah wajib mematuhi peraturan perundang-undangan. Kepala daerah diajak menghargai kerja keras tenaga medis yang gugur.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penjatuhan sanksi bagi kepala daerah yang tidak menegakkan protokol kesehatan diharapkan tidak dianggap sebatas peringatan hukum, tetapi juga peringatan moral. Kepala daerah tidak sepatutnya mengingkari peraturan yang disusun sendiri.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menginstruksikan kepada kepala daerah agar menegakkan protokol kesehatan di wilayahnya masing-masing. Jika instruksi dilanggar, kepala daerah bisa diberhentikan. Instruksi itu tertuang dalam Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19 (Kompas, 19/11/2020).
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik saat dihubungi di Jakarta, Kamis (19/11/2020), berharap instruksi tersebut mengingatkan kepala daerah bahwa mereka wajib mematuhi peraturan perundang-undangan. Jika mereka melanggar itu, ada sanksinya sesuai Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Pasal 78 UU Pemda berisi sanksi pemberhentian kepala daerah-wakil kepala daerah yang tidak menaati ketentuan perundang-undangan. Ketentuan yang dimaksud termasuk soal penegakan protokol kesehatan yang tak hanya tertuang di UU, tetapi juga peraturan daerah (perda) dan peraturan kepala daerah.
”Yang buat perda siapa? Yang melanggar siapa? Ya, itu bisa diterjemahkan sendiri. Selain ada sanksi, kami ingin mengingatkan, taatilah sumpahnya. Gerakan moralnya harus diikuti. Manusia harus ikuti moralitasnya. Kita yang bikin perda, kok,” ujar Akmal.
Akan tetapi, proses pemberhentian kepala daerah tidak bisa serta-merta dilakukan karena ada sejumlah proses yang harus dilewati. Di Pasal 43 UU Pemda, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat mengajukan hak interpelasi, dilanjutkan dengan hak menyatakan pendapat untuk menyatakan seorang kepala daerah melanggar UU.
Namun, keputusan DPRD itu tidak menjamin seorang kepala daerah langsung diberhentikan karena keputusan itu akan dibawa ke Mahkamah Agung (MA) terlebih dahulu.
Akmal menyampaikan, Mendagri juga dapat mengajukan usul pemberhentian kepala daerah, tetapi tetap harus melalui sidang MA. Dengan begitu, ia meyakini, jika didapatkan pelanggaran oleh kepala daerah, proses pemberhentian tidak perlu menunggu waktu lama.
”Bisa. Kami ajukan ke MA, kuncinya di MA. Kan, nanti diputuskan MA,” kata Akmal.
Hargai kerja keras
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri Safrizal menambahkan, beberapa daerah telah menetapkan strategi, di antaranya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang mencakup pencegahan terjadinya kerumunan berskala besar.
Menurut Safrizal, dalam Instruksi Mendagri No 6/2020 itu, Mendagri Tito mengingatkan kepala daerah untuk menghargai kerja keras dan dedikasi pejuang yang telah gugur, seperti dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya.
Kepala daerah, lanjut Safrizal, diinstruksikan untuk melakukan langkah-langkah proaktif dalam pencegahan penularan Covid-19. Kepala daerah diharapkan tidak hanya bertindak responsif atau reaktif.
”Mencegah lebih baik daripada menindak. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara humanis dan penindakan termasuk pembubaran kerumunan dilakukan secara tegas dan terukur sebagai upaya terakhir,” kata Safrizal.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, saat dihubungi, Kamis, mengatakan, sejak awal, pemerintah tidak konsisten dalam menangani pandemi Covid-19. Menurut dia, penegakan hukum yang dilakukan pemerintah terkesan reaktif dan hanya berorientasi jangka pendek. Belum ada penanganan yang konsisten, terus-menerus, dan berorientasi jangka panjang.
”Seharusnya, sejak awal pemerintah itu berfokus pada aspek pencegahan dulu, baru penegakan hukum. Soalnya, pelanggaran protokol kesehatan itu, kan, tidak bisa semata-mata dengan sanksi atau denda selesai. Ini berkaitan dengan penularan virus yang membahayakan nyawa orang lain,” tutur Trubus.
Karena tidak ada konsistensi dan kebijakan yang fokus terarah itu, kata Trubus, yang terlihat di masyarakat adalah tindakan diskriminatif. Pemerintah baru turun menindak pelanggaran protokol kesehatan ketika menjadi polemik di masyarakat. Akhirnya, penindakan hukum hanya menjadi upaya untuk menakut-nakuti masyarakat.
Inkonsistensi ini juga terlihat pada sikap pemerintah yang tetap menyelenggarakan pilkada meskipun pandemi Covid-19 belum teratasi. Akhirnya, masyarakat selalu menuding pemerintah tebang pilih. Sebab, pemerintah membuat aturan protokol kesehatan ketat, tetapi pemerintah sendiri juga berpotensi melanggar aturan tersebut. Akhirnya, tidak ada legitimasi dalam penegakan hukum protokol kesehatan. Masyarakat pun menjadi abai.
Untuk mengatasi hal itu, kata Trubus, kini pemerintah harus lebih konsisten dalam penegakan hukum dan tidak pandang bulu. Semua pelanggaran yang ditemukan, baik pilkada maupun dalam aktivitas sehari-hari harus ditindak secara adil. Karena itu, penegak hukum perlu dikonsolidasikan lagi. Konsolidasi dilakukan agar ada pemahaman yang sama soal penegakan protokol kesehatan.
”Untuk mencapai konsistensi penindakan hukum itu, harus ada pemahaman yang sama tentang aturan ataupun tupoksi aparat. Jangan sampai ada saling lempar tanggung jawab,” kata Trubus.
Dewan Pakar Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Hermawan Saputra mengatakan, penegakan hukum harus dilaksanakan konsisten karena ke depan ada banyak agenda sosial-politik maupun sosial-keagamaan. Di bulan Desember, ada pilkada serentak di 270 daerah, ada cuti bersama dan hari raya Natal dan Tahun Baru.
Menurut dia, hal itu harus diantisipasi dengan serius jika tidak ingin ada kluster baru penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, pemerintah pusat harus tegas tentang status kedaruratan yang ditetapkan.
”Hanya di Jakarta yang masih menerapkan pembatasan sosial berskala besar, tetapi pada tahap transisi. Di level nasional, tidak jelas sekarang ini apa kebijakannya. Padahal, angka penularan masih meningkat dan vaksin belum ada,” kata Hermawan.
Hermawan mengatakan, jika tidak mau ada lonjakan kasus di bulan Desember, instrumen hukum harus diperbaiki. Pemerintah tak bisa lagi menindak hukum secara parsial. Pemerintah harus memperbaiki instrumen hukum, misalnya mengembalikan maklumat keramaian Polri yang sebelumnya dicabut.
Perbaikan instrumen hukum ini diharapkan dapat digunakan untuk pencegahan. Selain itu, pemerintah agar meningkatkan pemahaman aparat penegak hukum di lapangan sehingga mereka tidak kebingungan dan membingungkan.
”Misalnya di pilkada ini, peraturan KPU secara jelas tidak memperbolehkan adanya massa atau kerumunan. Namun, kenyataannya banyak pelanggaran yang tidak ditindak hukum. Ini harus dievaluasi agar aktivitas padat masyarakat di bulan Desember terkontrol dan tidak menciptakan kluster baru Covid-19,” kata Hermawan.