KPK Tambah Jabatan Baru, Struktur Organisasi Jadi Gemuk
Pimpinan KPK menambah 19 jabatan baru melalui penerbitan Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2020. Struktur birokrasi KPK dinilai menjadi begitu gemuk. Dikhawatirkan, hal tersebut justru menimbulkan masalah di kemudian hari.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi telah mengeluarkan Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK. Dengan dikeluarkan peraturan tersebut, KPK menambah 19 posisi dan jabatan baru.
Peraturan tersebut ditetapkan pada 6 November 2020 oleh Ketua KPK Firli Bahuri dan diundangkan pada 11 November 2020. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, Rabu (18/11/2020), struktur sebuah organisasi sesuai dengan strategi yang dikembangkan.
”KPK kini mengembangkan pemberantasan korupsi dengan tiga metode, yaitu penindakan, pencegahan, serta pendidikan sosialisasi dan kampanye,” kata Ghufron.
Ia menuturkan, KPK memandang pemberantasan korupsi tidak bisa lagi didekati hanya sebagai kejahatan personal. Namun, perlu ditanggulangi secara komprehensif dan sistemik juga.
Melalui Peraturan KPK No 7/2020, KPK menambah 19 posisi dan jabatan yang tidak tercantum pada Peraturan KPK No 3/2018. Adapun 19 posisi tersebut, di antaranya, Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi, Staf Khusus, Pusat Perencanaan Strategis Pemberantasan Korupsi, serta Inspektorat.
Sementara itu, ada tiga jabatan dan posisi yang dihapus melalui Peraturan KPK No 7/2020, yaitu Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, Direktorat Pengawasan Internal, serta Unit Kerja Pusat Edukasi Antikorupsi atau Anti-Corruption Learning Center (ACLC).
Struktur tersebut terlihat boros dan tidak efektif dalam menggempur state capture corruption yang semakin sistemik dalam genggaman dominasi oligarki taipan dan politik.
Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan, dirinya dan beberapa mantan pimpinan KPK sudah mendiskusikan struktur baru tersebut dengan sejumlah pegawai KPK. ”Kami tidak heran dengan struktur yang super gemuk dan terindikasi berlemak itu karena itu bagian dari master plan pemerintah dan dampak destruktif UU KPK hasil revisi,” kata Busyro.
Menurut Busyro, tidak tampak naskah akademik dan riset yang akuntabel yang seharusnya menyertai struktur baru itu. Struktur tersebut terlihat boros dan tidak efektif dalam menggempur state capture corruption yang semakin sistemik dalam genggaman dominasi oligarki taipan dan politik.
Ia menegaskan, struktur baru tersebut memperlihatkan kepemimpinan top down komando. Selain itu, karakter independen KPK semakin terkikis.
Menurut Wakil Ketua KPK 2015-2019 Saut Situmorang, pandangan miskin struktur kaya fungsi masih relevan hingga saat ini. Nilai yang sudah tumbuh di KPK tersebut ditarik mundur sejak adanya UU No 19/2019. Akibatnya, potensi masalah ada pada nilai egalitarian dan integritas yang tercabik-cabik.
”Strategi, skills, staf, sistem, style, dan struktur boleh diubah-ubah, tetapi apakah itu akan membangun nilai-nilai pemberantasan korupsi yang jujur, benar, dan adil?” ujar Saut.
Nilai yang sudah tumbuh di KPK tersebut ditarik mundur sejak adanya UU No 19/2019. Akibatnya, potensi masalah ada pada nilai egalitarian dan integritas yang tercabik-cabik.
Penyidik senior KPK, Novel Baswedan, khawatir perubahan struktur ini dilakukan tanpa kajian mendalam dan naskah akademis yang memadai. Menurut Novel, perubahan tersebut justru akan membuat masalah di kemudian hari.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, ICW beranggapan, Peraturan KPK No 7/2020 bertentangan dengan UU KPK. Pasal 26 UU No 30/2002 tentang KPK tidak direvisi oleh UU No 19/2019. Hal tersebut menunjukkan, bidang-bidang yang ada di KPK masih seperti sediakala, yakni Bidang Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Akan tetapi, dalam Peraturan KPK No 7/2020 justru terdapat beberapa penambahan, seperti Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat serta Koordinasi dan Supervisi. Menurut Kurnia, hal tersebut bertentangan dengan UU KPK.
Produk hukum internal KPK tersebut sangat rentan untuk dibatalkan melalui uji materi.
Oleh karena itu, ICW menilai, produk hukum internal KPK tersebut sangat rentan untuk dibatalkan melalui uji materi. ”Mestinya saat ini KPK memfokuskan pada perbaikan kinerjanya sendiri, ketimbang merombak susunan internal yang sebenarnya bertentangan dengan UU dan efektivitasnya juga dipertanyakan,” kata Kurnia.