Tak Tegakkan Aturan Protokol Kesehatan, Kepala Daerah Bisa Diberhentikan
Dalam rapat dengan Komisi II DPR, Mendagri Tito Karnavian mengingatkan kepala daerah untuk menegakkan aturan protokol kesehatan Covid-19. Jika tidak, kepala daerah bisa diberhentikan. Sanksi itu mengacu pada UU Pemda.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta kepada semua kepala daerah untuk menegakkan aturan protokol kesehatan Covid-19. Jika itu tidak ditaati, kepala daerah bisa diberhentikan.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Senayan, Jakarta, Rabu (18/11/2020), Tito Karnavian menyampaikan, instruksi tersebut dikeluarkan karena melihat belakangan ini masih terjadi kerumunan besar di beberapa daerah dan seolah-olah kepala daerah tidak mampu menanganinya.
Instruksi Mendagri tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19 akan ditandatangani pada Rabu ini. Dengan begitu, instruksi itu bisa langsung disampaikan kepada semua kepala daerah yang juga bertugas sebagai Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 di daerah.
”Di instruksi tersebut menindaklanjuti arahan Presiden pada rapat terbatas kabinet pada Senin (16/11/2020), yang menegaskan konsistensi kepatuhan protokol kesehatan Covid-19 dan mengutamakan keselamatan rakyat,” kata Tito.
Pandemi Covid-19, lanjut Tito, merupakan bencana global dan nasional. Seluruh pihak telah bekerja keras selama delapan bulan dalam menangani pandemi ini.
Bahkan, sejumlah peraturan perundang-undangan sudah dikeluarkan, baik peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan daerah, maupun peraturan kepala daerah, untuk penanganan Covid-19, di antaranya masalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Adapun yang dimaksud PSBB itu adalah mencegah terjadinya kerumunan masyarakat dalam jumlah besar.
Oleh karena itu, Tito menginstruksikan kepada semua kepala daerah agar menegakkan secara konsisten protokol kesehatan guna mencegah penyebaran Covid-19, di antaranya mencegah terjadinya kerumunan yang berpotensi melanggar protokol Covid-19. Kedua, kepala daerah harus mampu melakukan langkah-langkah proaktif untuk mencegah penularan Covid-19.
”Jadi, tidak hanya bertindak responsif, reaktif. Karena, mencegah lebih baik daripada menindak. Pencegahan dapat dilakukan secara humanis. Penindakan dilakukan termasuk dengan cara membubarkan kerumunan secara tegas dan terukur sebagai upaya terakhir,” ucap Tito.
Tito juga meminta kepada kepala daerah agar menjadi teladan bagi masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan Covid-19. Di antaranya, mereka tak boleh ikut dalam kerumunan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan.
Atas dasar itu, Tito mengingatkan kembali kepada kepala daerah pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Di dalamnya, ada norma yang mengatur kewajiban dan sanksi bagi kepala daerah yang tak menaati ketentuan peraturan perundang-undangan, tak terkecuali peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
”Kalau itu dilanggar, sanksinya, di antaranya, dapat diberhentikan sesuai dengan Pasal 78 (UU Pemda). Pasal itu menyebutkan kepala daerah, wakil kepala daerah, berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan," tutur Tito.
Pasal 78 Ayat 1 Huruf C UU Pemda, menyatakan, kepala daerah berhenti, di antaranya tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b UU Pemda. Di dalam Pasal 67 Huruf b itu, kepala daerah wajib menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan.
”Nah ini, saya hanya ingin menyampaikan kepada seluruh gubernur, wali kota, bupati, untuk mengindahkan instruksi ini. Karena ada risiko menurut undang-undang, kalau ketentuan yang sudah diundang-undangkan dilanggar, itu dapat dilakukan pemberhentian," kata Tito.
Penganiayaan pengawas pemilu
Di dalam rapat yang sama, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengungkapkan, terjadinya penganiayaan terhadap pengawas pemilu saat menindak pelanggaran protokol kesehatan oleh peserta Pemilihan Kepala Daerah 2020.
Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, penganiayaan dialami jajaran Bawaslu hingga tingkat kelurahan dan desa saat menindak pelanggaran protokol kesehatan.
Ia menyebut, hingga hari ini, sebanyak 31 pengawas pemilu mengalami kekerasan. Jenis kekerasan yang dialami meliputi kekerasan fisik (12 pengawas) dan kekerasan verbal (19 pengawas).
”Untuk itu, kami meminta jaminan keamanan dan perlindungan hukum kepada jajaran kami yang sedang melakukan pengawasan di lapangan,” ujar Abhan.
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, menambahkan, para pengawas yang diintimidasi dan dianiaya itu diduga dilakukan oleh juru kampanye. Semua kasus itu pun telah diproses hukum di kepolisian. ”Mudah-mudahan proses ini berlanjut agar adanya keadilan dalam proses dugaan tindakan kekerasan,” ucap Fritz.
Dalam kesimpulan rapat yang dipimpin oleh Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Komisi II DPR mendesak agar insiden penganiayaan terhadap pengawas pemilu tak terulang kembali.
”Komisi II DPR mendesak kepada Menteri Dalam Negeri untuk berkoordinasi dengan Kapolri dan Panglima TNI agar memberikan jaminan keamanan dan perlindungan hukum terhadap para penyelenggara pemilu,” ujar Ahmad Doli.
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Safrizal menyampaikan, komisioner Bawaslu dapat meminta bantuan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dalam penegakan aturan jika dalam pelaksanaan tugasnya berisiko.
Safrizal pun mendukung langkah Bawaslu yang segera melaporkan tindakan dugaan penganiayaan kepada Polda setempat. ”Jika kekerasan sudah terjadi, maka pelaku bisa dipidanakan,” kata Safrizal.